Bahan Kuliah / Makalah : SEJARAH RETORIKA


SEJARAH RETORIKA
Objek studi retorika setua kehidupan manusia. Kefasihan bicara mung¬kin pertama kali dipertunjukkan dalam upacara adat: kelahiran, kema¬tian, lamaran, perkawinan, dan sebagainya. Pidato disampaikan oleh orang yang mempunyai status tinggi. Dalam perkembangan peradaban pidato melingkupi bidang yang lebih luas. “Sejarah manusia”, kata Lewis Copeland dalam kata pengantar bukunya tentang pidato tokoh-tokoh besar dalam sejarah, “terutama sekali adalah catatan peristiwa penting yang dramatis, yang seringkali disebabkan oleh pidato-pidato besar. Sejak Yunani dan Roma sampai zaman kita sekarang, kepandaian pidato dan kenegarawanan selalu berkaitan. Banyak jago pedang juga ter¬kenal dengan kefasihan bicaranya yang menawan”.
Uraian sistematis retorika yang pertama diletakkan oleh orang Syracuse, sebuah koloni Yunani di Pulau Sicilia. Bertahun-tahun koloni itu diperintah para tiran. Tiran, di mana pun dan pada zaman apa pun, senang menggusur tanah rakyat. Kira-kira tahun 465 SM, rakyat melancarkan revolusi. Diktator ditumbangkan dan demokrasi ditegakkan. Pemerintah mengembalikan lagi tanah rakyat kepada pemiliknya yang sah. Di sinilah kemusykilan terjadi. Untuk mengambil haknya, pemilik tanah harus sanggup meyakinkan dewan juri di pengadilan. Waktu itu, tidak ada pengacara dan tidak ada sertifikat tanah. Setiap orang harus meyakinkan mahkamah dengan pembicaraan saja. Sering orang tidak berhasil memperoleh kembali tanahnya, hanya karena ia tidak pandai bicara.
Untuk membantu orang memenangkan haknya di pengadilan, Corax menulis makalah retorika, yang diberi nama Techne Logon (Seni Kata-¬kata). Walaupun makalah ini sudah tidak ada, dari para penulis se-zaman, kita mengetahui bahwa dalam makalah itu ia berbicara tentang “teknik kemungkinan”. Bila kita tidak dapat memastikan sesuatu, mulailah dari kemungkinan umum. Seorang kaya mencuri dan dituntut di pengadilan untuk pertama kalinya. Dengan teknik kemungkinan, kita bertanya, “Mungkinkah seorang yang berkecukupan mengorbankan kehormatannya dengan mencuri? Bukankah, sepanjang hidupnya, ia tidak pernah diajukan ke pengadilan karena mencuri”. Sekarang, seorang miskin mencuri dan diajukan ke pengadilan untuk kedua kalinya. Kita bertanya, “la pernah mencuri dan pernah dihukum. Mana mungkin ia berani melakukan lagi pekerjaan yang sama”. Akhirnya, retorika me¬mang mirip “ilmu silat lidah”.
Di samping teknik kemungkinan, Corax meletakkan dasar-dasar organisasi pesan. Ia membagi pidato pada lima bagian: pembukaan, uraian, argumen, penjelasan tambahan, dan kesimpuln. Dari sini, para ahli retorika kelak mengembangkan organisasi pidato. Walaupun demokrasi gaya Syracuse tidak bertahan lama, ajaran Corax tetap berpengaruh. Konon, Gelon, penguasa yang mengguling¬kan demokrasi dan menegakkan kembali tirani, menderita halitosis (bau mulut). Karena ia tiran yang kejam, tak seorang pun berani mem¬beritahukan hal itu kepadanya. Sampai di negeri yang asing, seorang perempuan asing berani menyebutkannya. Ia terkejut. Ia memarahi istrinya, yang bertahun-tahun begitu dekat dengannya, tetapi tidak memberitahukannya. Istrinya menjawab bahwa karena ia tidak pernah dekat dengan laki-laki lain, ia mengira semua laki-laki sama. Gelon tidak jadi menghukum istrinya. Tampaknya, sang istri sudah belajar retorika dari Corax.
Masih di Pulau Sicilia, tetapi di Agrigenturn, hidup Empedocles (490-430 SM), filosof, mistikus, politisi, dan sekaligus orator. Ia cerdas dan menguasai banyak pengetahuan. Sebagai filosof, ia pernah berguru kepada Pythagoras dan menulis The Nature of Things. Sebagai mistikus, ia percaya bahwa setiap orang bisa bersatu dengan Tuhan bila ia men¬jauhi perbuatan yang tercela. Sebagai politisi, ia memimpin pemberon¬takan untuk menggulingkan aristokrasi dan kekuasaan diktator. Se¬bagai orator, menurut Aristoteles, “ia mengajarkan prinsip-prinsip retorika, yang kelak dijual Gorgias kepada penduduk Athena”.
Tahun 427 SM Gorgias dikirim sebagai duta ke Athena. Negeri itu sedang tumbuh sebagai negara yang kaya. Kelas pedagang kosmopolitan selain memiliki waktu luang lebih banyak, juga terbuka pada gagasan-¬gagasan baru. Di Dewan Perwakilan Rakyat, di pengadilan, orang memerlukan kemampuan berpikir yang jernih dan logis serta berbicara yang jelas dan persuasif. Gorgias memenuhi kebutuhan “pasar” ini dengan mendirikan sekolah retorika. Gorgias menekankan dimensi bahasa yang puitis dan teknik berbicara impromtu (kita bahas pada Bab II). Ia meminta bayaran yang mahal; sekitar sepuluh ribu drachma ($ 10.000) untuk seorang murid saja. Bersama Protagoras dan kawan¬-kawan, Gorgias berpindah dari satu kota ke kota yang lain. Mereka adalah “dosen-dosen terbang”.
Protagoras menyebut kelompoknya sophistai, “guru kebijaksanaan” Sejarahwan menyebut mereka kelompok Sophis. Mereka berjasa mengembangkan retorika dan mempopulerkannya. Retorika, bagi mereka bukan hanya ilmu pidato, tetapi meliputi pengetahuan sastra, gramatika, dan logika. Mereka tahu bahwa rasio tidak cukup untuk meyakinkan orang. Mereka mengajarkan teknik-teknik memanipulasi emosi dan menggunakan prasangka untuk menyentuh hati pendengar. Berkat kaum Sophis, abad keempat sebelum Masehi adalah abad retorika. Jago-jago pidato muncul di pesta Olimpiade, di gedung perwakilan dan pengadilan. Bila mereka bertanding, orang-orang Athena berdatangan dari tempat-tempat jauh; dan menikmati “adu pidato” seperti menikmati pertandingan tinju. Kita hanya akan menyebutkan dua tokoh saja sebagai contoh: Demosthenes dan Isocrates.
Berbeda dengan Gorgias, Demosthenes mengembangkan gaya bicara yang tidak berbunga-bunga, tetapi jelas dan keras. Dengan cerdik, ia menggabungkan narasi dan argumentasi. Ia juga amat memperhatikan cara penyampaian (delivery). Menurut Will Durant, “ia meletakkan rahasia pidato pada akting (hypocrisis). Berdasarkan keyakinan ini, ia berlatih pidato dengan sabar. Ia mengulang-ulangnya di depan cermin. Ia membuat gua, dan berbulan-bulan tinggal di sana, berlatih dengan diam-diam. Pada masa-masa ini, ia mencukur rambutnya sebelah, su¬paya ia tidak berani keluar dari persembunyiannya. Di mimbar, ia melengkungkan tubuhnya, bergerak berputar, meletakkan tangan di atas dahinya seperti berpikir, dan seringkali mengeraskan suaranya seperti menjerit.
Demosthenes pernah diusulkan untuk diberi mahkota atas jasa-¬jasanya kepada negara dan atas kenegarawanannya. Aeschines, orator lainnya, menentang pemberian mahkota dan memandangnya tidak konstitusional. Di depan Mahkamah yang terdiri dari ratusan anggota juri, ia melancarkan kecamannya kepada Demosthenes. Pada gilirannya, Demosthenes menyerang Aeschines dalam pidatonya yang terkenal Perihal Mahkota. Dewan juri memihak Demosthenes dan menuntut Aeschines untuk membayar denda. Aeschines lari ke Rhodes dan hidup dari kursus retorika yang tidak begitu laku. Konon, Demosthenes mengirimkan uang kepadanya untuk membebaskannya dari kemiskinan. Persaudaraan karena profesi!
Duel antara dua orator itu telah dikaji sepanjang sejarah. Inilah buah pendidikan yang dirintis oleh kaum Sophis. Tetapi ini juga yang membentuk citra negatif tentang kaum Sophis. Seorang tokoh yang berusaha mengembangkan retorika dengan menyingkirkan Sophisme negatif adalah Isocrates. Isocrates percaya bahwa retorika dapat meningkatkan kualitas masyarakat; bahwa retorika tidak boleh dipisahkan dari politik dan sastra. Tetapi ia menganggap tidak semua orang boleh diberi pelajaran ini. Retorika menjadi sebuah pelajaran elit, hanya untuk mereka yang berbakat.
Ia mendirikan sekolah retorika yang paling berhasil tahun 391 SM. Ia mendidik muridnya menggunakan kata-kata dalam susunan yang jernih tetapi tidak berlebih-lebihan, dalam rentetan anak kalimat yang seimbang dengan pergeseran suara dan gagasan yang lancar. Karena ia tidak mempunyai suara yang baik dan keberanian untuk tampil, ia hanya menuliskan pidatonya. Ia menulis risalah-risalah pendek dan menyebarkannya. Sampai sekarang risalah-risalah ini dianggap waris¬an prosa Yunani yang menakjubkan. Gaya bahasa Isocrates telah mengilhami tokoh-tokoh retorika sepanjang zaman: Cicero, Milton, Massillon, Jeremy Taylor, dan Edmund Burke.
Salah satu risalah yang ditulisnya mengkritik kaum Sophis. Risalah ini ikut membantu berkembangnya kebencian kepada kaum Sophis. Di samping itu, kaum Sophis kebanyakan para pendatang asing di Athena. Orang selalu mencurigai yang dibawa orang asing. Apalagi mereka mengaku mengajarkan kebijaksanaan dengan menuntut bayaran. Yang tidak sanggup membayar tentu saja melepaskan kekecewaannya dengan mengecam mereka.
Socrates, misalnya, hanya sanggup membayar satu drachma untuk kursus yang diberikan Prodicus. Karena itu, ia hanya memperoleh dasar-dasar bahasa yang sangat rendah saja. Socrates mengkritik kaum Sophis sebagai para prostitut. Orang yang menjual kecantikan untuk memperoleh uang, kata Socrates, adalah prostitut. Begitu juga, orang yang menjual kebijaksanaan. Murid Socrates yang menerima pendapat gurunya tentang Sophisme adalah Plato.
Plato menjadikan Gorgias dan Socrates sebagai contoh retorika yang palsu dan retorika yang benar, atau retorika yang berdasarkan pada Sophisme dan retorika yang berdasarkan pada filsafat. Sophisme mengajarkan kebenaran yang relatif. Filsafat membawa orang kepada pengetahuan yang sejati. Ketika merumuskan retorika yang benar – yang membawa orang kepada hakikat – Plato membahas organisasi, gaya, dan penyampaian pesan. Dalam karyanya, Dialog, Plato meng¬anjurkan para pembicara untuk mengenal “jiwa” pendengarnya. Dengan demikian, Plato meletakkan dasar-dasar retorika ilmiah dan psikologi khalayak. Ia telah mengubah retorika sebagai sekumpulan teknik (Sophisme) menjadi sebuah wacana ilmiah.
Aristoteles, murid Plato yang paling cerdas melanjutkan kajian re¬torika ilmiah. Ia menulis tiga jilid buku yang berjudul De Arte Rhetorica. Dari Aristoteles dan ahli retorika klasik, kita memperoleh lima ta¬hap penyusunan pidato: terkenal sebagai Lima Hukum Retorika (The Five Canons of Rhetoric). Inventio (penemuan). Pada tahap ini, pembicara menggali topik dan meneliti khalayak untuk mengetahui metode persuasi yang paling tepat. Bagi Aristoteles, retorika tidak lain daripada “kemampuan untuk menentukan, dalam kejadian tertentu dan situasi tertentu, metode persuasi yang ada”. Dalam tahap ini juga, pembicara merumuskan tujuan dan mengumpulkan bahan (argumen) yang sesuai dengan kebutuhan khalayak.
Aristoteles menyebut tiga cara untuk mempengaruhi manusia. Pertama, Anda harus sanggup menunjukkan kepada khalayak bahwa Anda memiliki pengetahuan yang luas, kepribadian yang terpercaya, dan status yang terhormat (ethos). Kedua, Anda harus Menyentuh hati khalayak perasaan, emosi, harapan, kebencian dan kasih sayang mereka (pathos). Kelak, para ahli retorika modern menyebutnya imbauan emotional (emotional appeals). Ketiga, Anda Meyakinkan khalayak dengan mengajukan bukti atau yang kelihatan sebagai bukti. Di sini Anda mendekati khalayak lewat otaknya (logos).
Di samping ethos, pathos, dan logos, Aristoteles menyebutkan dua cara lagi yang efektif untuk mempengaruhi pendengar: entimem dan contoh. Entimem (Bahasa Yunani: “en” di dalam dan “thymos” pikiran) adalah sejenis silogisme yang tidak lengkap, tidak untuk menghasilkan pembuktian ilmiah, tetapi untuk menimbulkan keyakinan. Disebut tidak lengkap, karena sebagian premis dihilangkan.
Sebagaimana Anda ketahui, silogisme terdiri atas tiga premis: ma¬yor, minor, dan kesimpulan. Semua manusia mempunyai perasaan iba kepada orang yang menderita (mayor). Anda manusia (minor). Tentu Anda pun mempunyai perasaan yang sama (kesimpulan). Ketika saya ingin mempengaruhi Anda untuk mengasihi orang-orang yang menderita, saya berkata, “Kasihanilah mereka. Sebagai manusia, Anda pasti mempunyai perasaan iba kepada orang yang menderita “. Ucapan yang ditulis miring menunjukkan silogisme, yang premis mayornya dihilangkan.
Di samping entimem, contoh adalah cara lainnya. Dengan menge¬mukakan beberapa contoh, secara induktif Anda membuat kesimpulan umum. Sembilan dari sepuluh bintang film menggunakan sabun Lnx. Jadi, sabun Lux adalah sabun para bintang fihn.
Dispositio (penyusunan). Pada tahap ini, pembicara menyusun pidato atau mengorganisasikan pesan. Aristoteles menyebutnya taxis, yang berarti pembagian. Pesan harus dibagi ke dalam beberapa bagian yang berkaitan secara logis. Susunan berikut ini mengikuti kebiasaan berpikir manusia: pengantar, pernyataan, argumen, dan epilog. Menurut Aristoteles, pengantar berfungsi menarik perhatian, menumbuhkan kredibilitas (ethos), dan menjelaskan tujuan.
Elocutio (gaya). Pada tahap ini, pembicara memilih kata-kata dan menggunakan bahasa yang tepat untuk “mengemas” pesannya. Aristo¬teles memberikan nasihat ini: gunakan bahasa yang tepat, benar, dan dapat diterima; pilih kata-kata yang jelas dan langsung; sampaikan kalimat yang indah, mulia, dan hidup; dan sesuaikan bahasa dengan pe¬san, khalayak, dan pembicara.
Memoria (memori). Pada tahap ini, pembicara harus mengingat apa yang ingin disampaikannya, dengan mengatur bahan-bahan pem¬bicaraannya. Aristoteles menyarankan “jembatan keledai” untuk me-mudahkan ingatan. Di antara semua peninggalan retorika klasik, me¬mori adalah yang paling kurang mendapat perhatian para ahli retorika modern.
Pronuntiatio (penyampaian). Pada tahap ini, pembicara menyampai¬kan pesannya secara lisan. Di sini, akting sangat berperan. Demos¬thenes menyebutnya hypocrisis (boleh jadi dari sini muncul kata hipo-krit). Pembicara harus memperhatikan olah suara (vocis) dan gerakan¬gerakan,anggota badan (gestus moderatio cum venustate).
RETORIKA ZAMAN ROMAWI
Teori retorika Aristoteles sangat sistematis dan komprehensif. Pada satu sisi, retorika telah memperoleh dasar teoretis yang kokoh. Namun, pada sisi lain, uraiannya yang lengkap dan persuasif telah membungkam para ahli retorika yang datang sesudahnya. Orang-orang Romawi selama dua ratus tahun setelah De Arte Rhetorica tidak menambahkan apa-apa yang berarti bagi perkembangan retorika.
Buku Ad Herrenium, yang ditulis dalam bahasa Latin kira-kira 100 SM, hanya mensistematisasikan dengan cara Romawi warisan retorika gaya Yunani. Orang-orang Romawi bahkan hanya mengambil segi-se-gi praktisnya saja. Walaupun begitu, kekaisaran Romawi bukan saja subur dengan sekolah-sekolah retorika; tetapi juga kaya dengan orator¬-orator ulung: Antonius, Crassus, Rufus, Hortensius. Yang disebut terakhir terkenal begitu piawai dalam berpidato sehingga para artis berusaha mempelajari gerakan dan cara penyampaiannya.
Kemampuan Hortensius disempurnakan oleh Cicero. Karena di¬besarkan dalam keluarga kaya dan menikah dengan istri yang mem¬berinya kehormatan dan uang, Cicero muncul sebagai negarawan dan cendekiawan. Pernah hanya dalam dua tahun (45-44 SM), ia menulis banyak buku filsafat dan lima buah buku retorika. Dalam teori, ia tidak banyak menampilkan penemuan baru. Ia banyak mengambil gagasan dari Isocrates. Ia percaya bahwa efek pidato akan baik, bila yang ber¬pidato adalah orang baik juga. The good man speaks well. Dalam praktek, Cicero betul-betul orator yang sangat berpengaruh.
Caesar, penguasa Romawi yang ditakuti, memuji Cicero, “Anda telah menemukan semua khazanah retorika, dan Andalah orang per¬tama yang menggunakan semuanya. Anda telah memperoleh keme¬nangan yang lebih disukai dari kemenangan para jenderal. Karena se¬sungguhnya lebih agung memperluas batas-batas kecerdasan manusia daripada memperluas batas-batas kerajaan Romawi”.
Kira-kira 57 buah pidatonya sampai kepada kita sekarang ini. Will Durant menyimpulkan kepada kita gaya pidatonya:
Pidatonya mempunyai kelebihan dalam menyajikan secara bergelora satu sisi masalah atau karakter; dalam menghibur khalayak dengan humor dan anekdot; dalam menyentuh kebanggaan, prasangka, perasaan, patriotisme dan kesalehan; dalam mengungkapkan secara keras kelemahan lawan – yang sebenarnya atau yang diberitakan, yang tersembunyi atau yang terbuka; dalam mengalihkan perhatian secara terampil dari pokok-pokok pembicaraan yang kurang menguntungkan; dalam memberondong pertanyaan retoris yang sulit dijawab; dalam menghimpun serangan-serangan, dengan kalimat-kalimat periodik yang anak-anaknya seperti cambukan dan yang badainya membahana….

Dari tulisan-tulisannya yang sampai sekarang bisa dibaca, kita mengetahui bahwa Cicero sangat terampil dalam menyederhanakan pembicaraan yang sulit. Bahasa Latinnya mudah dibaca. Melalui pena¬nya, bahasa mengalir dengan deras tetapi indah. Puluhan tahun sepeninggal Cicero, Quintillianus mendirikan se-kolah retorika. Ia sangat mengagumi Cicero dan berusaha merumuskan teori-teori retorika dari pidato dan tulisannya. Apa yang dapat kita pelajari dari Quintillianus? Banyak. Secara singkat, Will Durant menceritakan kuliah retorika Quantillianus, yang dituliskannya dalam buku Institutio Oratoria:
Ia mendefinisikan retorika sebagai ilmu berbicara yang baik. Pendidikan orator harus dimulai sebelum dia lahir: Ia sebaiknya berasal dari keluarga terdidik, sehingga ia bisa menerima ajaran yang benar dan akhlak yang baik sejak napas yang ia hirup pertama kalinya. Tidak mungkin menjadi terpelajar dan terhormat hanya dalam satu generasi. Calon orator harus mempelajari musik supaya ia mempunyai telinga yang dapat mendengarkan harmoni; tarian, supaya ia memiliki keanggunan dan ritma; drama, untuk menghidupkan kefasihannya dengan gerakan dan tindakan; gimnastik, untuk memberinya kesehatan dan kekuatan; sastra, untuk membenhik gaya dan melatih memorinya, dan memperlengkapinya dengan pemikiran¬-pemikiran besar; sains, untuk memperkenalkan dia dengan pemahaman mengenai alam; dan filsafat, untuk membentuk karakternya berdasarkan petunjuk akal dan bimbingan orang bijak. Karena semua persiapan tidak ada manfaatnya jika integritas akhlak dan kemuliaan rohani tidak melahirkan ketulusan bicara yang tak dapat ditolak. Kemudian, pelajar retorika harus menulis sebanyak dan secermat mungkin.
Sebuah saran yang berlebihan. Tetapi kita diingatkan lagi pada Cicero. The good man speaks well.
RETORIKA ABAD PERTENGAHAN
Sejak zaman Yunani sampai zaman Romawi, retorika selalu berkaitan dengan kenegarawanan. Para orator umumnya terlibat dalam kegiatan politik. Ada dua cara untuk memperoleh kemenangan politik: talk it out (‘membicarakan sampai tuntas) atau shoot it out (menembak sampai ha¬bis). Retorika subur pada cara pertama, cara demokrasi. Ketika demokrasi Romawi mengalami kemunduran, dan kaisar demi kaisar memegang pemerintahan, “membicarakan” diganti dengan “menembak”. Retorika tersingkir ke belakang panggung. Para kaisar tidak senang mendengar orang yang pandai berbicara.
Abad pertengahan sering disebut abad kegelapan, juga buat retorika. Ketika agama Kristen berkuasa, retorika dianggap sebagai kesenian jahiliah. Banyak orang Kristen waktu itu melarang mempelajari retorika yang dirumuskan oleh orang-orang Yunani dan Romawi, para penyembah berhala. Bila orang memeluk agama Kristen, secara otomatis ia akan memiliki kemampuan untuk nmnyampaikan kebenaran. St. Agustinus, yang telah mempelajari retorika sebelum masuk Kristen tahun 386, adalah kekecualian pada zaman itu.
Dalam On Christian Doctrine (426), ia menjelaskan bahwa para pengkhotbah harus sanggup mengajar, menggembirakan, dan meng¬gerakkan – yang oleh Cicero disebut sebagai kewajiban orator. Untuk mencapai tujuan Kristen, yakni mengungkapkan kebenaran, kita harus mempelajari teknik penyampaian pesan. Satu abad kemudian, di Timur muncul peradaban baru. Seorang Nabi menyampaikan firman Tuhan, “Berilah mereka nasihat dan berbicaralah kepada mereka dengan pembicaraan yang menyentuh jiwa mereka” (Alquran 4:63). Muhammad saw. bersabda, memperteguh firman Tuhan ini, “Sesungguhnya dalam kemampuan berbicara yang baik itu ada sihirnya”.
Ia sendiri seorang pembicara yang fasih – dengan kata-kata singkat yang mengandung makna padat. Para sahabatnya bercerita bahwa ucapannya sering menyebabkan pendengar berguncang hatinya dan berlinang air matanya. Tetapi ia tidak hanya menyentuh hati, ia juga mengimbau akal para pendengarnya. Ia sangat memperhatikan orang¬-orang yang dihadapinya, dan menyesuaikan pesannya dengan keadaan mereka. Ada ulama yang mengumpulkan khusus pidatonya dan me¬namainya Madinat al-Balaghah (Kota Balaghah). Salah seorang sahabat yang paling dikasihinya, Ali bin Abi Thalib, mewarisi ilmunya dalam berbicara. Seperti dilukiskan Thomas Carlyle, “every antagonist in the combats of tongue or of sword was subdited by his eloquence and valor”. Pada Ali bin Abi Thalib, kefasihan dan kenegarawanan bergabung kembali. Khotbah-khotbahnya dikumpulkan dengan cermat oleh para peng¬ikutnya dan diberi judul Nahj al-Balaghah (Jalan Balaghah).
Balaghah menjadi disiplin ilmu yang menduduki status yang mulia dalam peradaban Islam. Kaum Muslim menggunakan balaghah sebagai pengganti retorika. Tetapi, warisan retorika Yunani, yang dicampakkan di Eropa Abad Pertengahan, dikaji dengan tekun oleh para ahli ba¬laghah. Sayang, sangat kurang sekali studi berkenaan dengan kontribusi Balaghah pada retorika modern. Balaghah, beserta ma’ani dan bayan, masih tersembunyi di pesantren-pesantren dan lembaga-lembaga pen¬didikan Islam tradisional.
RETORIKA MODERN
Retorika modern diartikan sebagai seni berbicara atau kemampuan untuk
berbicara dan berkhotbah (Hendrikus, 1991); sehingga efektivitas penyampaian
pesan dalam retorika sangat dipengaruhi oleh teknik atau keterampilan berbicara
komunikator.
Abad Pertengahan berlangsung selama seribu tahun (400-1400). Di Eropa, selama periode panjang itu, warisan peradaban Yunani diabai¬kan. Pertemuan orang Eropa dengan Islam – yang menyimpan dan mengembangkan khazanah Yunani – dalam Perang Salib menimbulkan Renaissance. Salah seorang pemikir Renaissance yang menarik kembali minat orang pada retorika adalah Peter Ramus. Ia membagi retorika pada dua bagian. Inventio dan dispositio dimasukkannya sebagai bagian logika. Sedangkan retorika hanyalah berkenaan dengan elocutio dan pronuntiatio saja. Taksonomi Ramus berlangsung selama beberapa generasi.
Renaissance mengantarkan kita kepada retorika modern. Yang membangun jembatan, menghubungkan Renaissance dengan retorika modern adalah Roger Bacon (1214-1219). Ia bukan saja memperkenalkan metode eksperimental, tetapi juga pentingnya pengetahuan tentang proses psikologis dalam studi retorika. Ia menyatakan, “… kewajiban retorika ialah menggunakan rasio dan imajinasi untuk menggerakkan kemauan secara lebih baik”. Rasio, imajinasi, kemauan adalah fakultas-¬fakultas psikologis yang kelak menjadi kajian utama ahli retorika modern.
Aliran pertama retorika dalam masa modern, yang menekankan proses psikologis, dikenal sebagai aliran epistemologis. Epistemologi membahas “teori pengetahuan”; asal-usul, sifat, metode, dan batas-batas pengetahuan manusia. Para pemikir epistemologis berusaha mengkaji retorika klasik dalam sorotan perkembangan psikologi kognitif (yakni, yang membahas proses mental).
George Campbell (1719-1796), dalam bukunya The Philosophy of Rhetoric, menelaah tulisan Aristoteles, Cicero, dan Quintillianus dengan pendekatan psikologi fakultas (bukan fakultas psikologi). Psikologi fakultas berusaha menjelaskan sebab-musabab perilaku manusia pada empat fakultas – atau kemampuan jiwa manusia: pemahaman, memori, imajinasi, perasaan, dan kemauan. Retorika, menurut definisi Campbell, haruslah diarahkan kepada upaya “mencerahkan pemahaman, menyenangkan imajinasi, menggerakkan perasaan, dan mempengaruhi kemauan”.
Richard Whately mengembangkan retorika yang dirintis Campbell. Ia mendasarkan teori retorikanya juga pada psikologi fakultas. Hanya saja ia menekankan argumentasi sebagai fokus retorika. Retorika harus mengajarkan bagaimana mencari argumentasi yang tepat dan meng¬organisasikannya secara baik. Baik Whately maupun Campbell me¬nekankan pentingnya menelaah proses berpikir khalayak. Karena itu, retorika yang berorientasi pada khalayak (audience-centered) berutang budi pada kaum epistemologis – aliran pertama retorika modern.
Aliran retorika modern kedua dikenal sebagai gerakan belles lettres (Bahasa Prancis: tulisan yang indah). Retorika belletris sangat meng¬utamakan keindahan bahasa, segi-segi estetis pesan, kadang-kadang dengan mengabaikan segi informatifnya. Hugh Blair (1718-1800) me¬nulis Lectures on Rhetoric and Belles Lettres. Di sini ia menjelaskan hu¬bungan antara retorika, sastra, dan kritik. Ia memperkenalkan fakultas citarasa (taste), yaitu kemampuan untuk memperoleh kenikmatan dari pertemuan dengan apa pun yang indah. Karena memiliki fakultas cita¬rasa, Anda senang mendengarkan musik yang indah, membaca tulisan yang indah, melihat pemandangan yang indah, atau mencamkan pidato yang indah. Citarasa, kata Blair, mencapai kesempurnaan ketika kenikmatan inderawi dipadukan dengan rasio – ketika rasio dapat menjelaskan sumber-sumber kenikmatan.
Aliran pertama (epistemologi) dan kedua (belles lettres) terutama memusatkan perhatian mereka pada persiapan pidato – pada penyu¬sunan pesan dan penggunaan bahasa. Aliran ketiga – disebut gerakan elokusionis – justru menekankan teknik penyampaian pidato. Gilbert Austin, misalnya memberikan petunjuk praktis penyampaian pidato, “Pembicara tidak boleh melihat melantur. Ia harus mengarahkan mata¬nya langsung kepada pendengar, dan menjaga ketenangannya. Ia tidak boleh segera melepaskan seluruh suaranya, tetapi mulailah dengan nada yang paling rendah, dan mengeluarkan suaranya sedikit saja; jika ia ingin mendiamkan gumaman orang dan mencengkeram perhatian mereka”. James Burgh, misal yang lain, menjelaskan 71 emosi dan cara mengungkapkannya.
Dalam perkembangan, gerakan elokusionis dikritik karena per¬hatian – dan kesetiaan – yang berlebihan pada teknik. Ketika mengikuti kaum elokusionis, pembicara tidak lagi berbicara dan bergerak secara spontan. Gerakannya menjadi artifisial. Walaupun begitu, kaum elokusionis telah berjaya dalam melakukan penelitian empiris sebelum merumuskan “resep-resep” penyampaian pidato. Retorika kini tidak lagi ilmu berdasarkan semata-mata “otak-atik otak” atau hasil perenungan rasional saja. Retorika, seperti disiplin yang lain, dirumuskan dari hasil penelitian empiris.
Pada abad kedua puluh, retorika mengambil manfaat dari perkem¬bangan ilmu pengetahuan modern – khususnya ilmu-ilmu perilaku seperti psikologi dan sosiologi. Istilah retorika pun mulai digeser oleh speech, speech communication, atau oral communication, atau public speak¬ing. Di bawah ini diperkenalkan sebagian dari tokoh-tokoh retorika mutakhir:
1. James A Winans
Ia adalah perintis penggunaan psikologi modern dalam pidatonya. Bukunya, Public Speaking, terbit tahun 1917 mempergunakan teori psikologi dari William James dan E.B. Tichener. Sesuai dengan teori James bahwa tindakan ditentukan oleh perhatian, Winans, men¬definisikan persuasi sebagai “proses menumbuhkan perhatian yang memadai baik dan tidak terbagi terhadap proposisi-propo¬sisi”. Ia menerangkan pentingnya membangkitkan emosi melalui motif-motif psikologis seperti kepentingan pribadi, kewajiban sosial dan kewajiban agama. Cara berpidato yang bersifat percakapan (conversation) dan teknik-teknik penyampaian pidato merupakan pembahasan yang amat berharga. Winans adalah pendiri Speech Communication Association of America (1950).
2. Charles Henry Woolbert
Ia pun termasuk pendiri the Speech Communication Association of America. Kali ini psikologi yang amat mempengaruhinya adalah behaviorisme dari John B. Watson. Tidak heran kalau Woolbert memandang “Speech Communication” sebagai ilmu tingkah laku. Baginya, proses penyusunan pidato adalah kegiatan seluruh orga¬nisme. Pidato merupakan ungkapan kepribadian. Logika adalah da¬sar utama persuasi. Dalam penyusunan persiapan pidato, menurut Woolbert harus diperhatikan hal-hal berikut: (1) teliti tujuannya, (2) ketahui khalayak dan situasinya, (3) tentukan proposisi yang cocok dengan khalayak dan situasi tersebut, (4) pilih kalimat-ka¬limat yang dipertalikan secara logis. Bukunya yang terkenal adalah The Fundamental of Speech.
3. William Noorwood Brigance
Berbeda dengan Woolbert yang menitikberatkan logika, Brigance menekankan faktor keinginan (desire) sebagai dasar persuasi. “Keyakinan”, ujar Brigance, “jarang merupakan hasil pemikiran. Ki¬ta cenderung mempercayai apa yang membangkitkan keinginan kita, ketakutan kita dan emosi kita”. Persuasi meliputi empat unsur: (1) rebut perhatian pendengar, (2) usahakan pendengar untuk mempercayai kemampuan dan karakter Anda, (3) dasarkanlah pemikiran pada keinginan, dan (4) kembangkan setiap gagasan sesuai dengan sikap pendengar.
4. Alan H. Monroe
Bukunya, Principles and Types of Speech, banyak kita pergunakan dalam buku ini. Dimulai pada pertengahan tahun 20-an Monroe beserta stafnya meneliti proses motivasi (motivating process). Jasa, Monroe yang terbesar adalah cara organisasi pesan. Menurut Monroe, pesan harus disusun berdasarkan proses berpikir manusia yang disebutnya motivated sequence.
Beberapa sarjana retorika modern lainnya yang patut kita sebut antara lain A.E. Philips (Effective Speaking, 1908), Brembeck dan Howell (Per¬suasion: A Means of Social Control, 1952), R.T. Oliver (Psychology of Per¬suasive Speech, 1942). Di Jerman, selain tokoh “notorious” Hitler, dengan bukunya Mein Kampf, maka Naumann (Die Kunst der Rede, 1941), Dessoir (Die Rede als Kunst, 1984) dan Damachke (Volkstumliche Redekunst, 1918) adalah pelopor retorika modern juga.
Dewasa ini retorika sebagai public speaking, oral communication, atau speech communication -diajarkan dan diteliti secara ilmiah di lingkungan akademis. Pada waktu mendatang, ilmu ini tampaknya akan diberikan juga pada mahasiswa-mahasiswa di luar ilmu sosial. Dr. Charles Hurst mengadakan penelitian tentang pengaruh speech courses terhadap pres¬tasi akademis mahasiswa. Hasilnya membuktikan bahwa pengaruh itu cukup berarti. Mahasiswa yang memperoleh pelajaran speech (speech group) mendapat skor yang lebih tinggi dalam tes belajar dan berpikir, lebih terampil dalam studi dan lebih baik dalam hasil akademisnya dibanding dengan mahasiswa yang tidak memperoleh ajaran itu. Hurst menyimpulkan:
Data penelitian ini menunjukkan dengan jelas bahwa kuliah speech tingkat dasar adalah agen synthesa, yang memberikan dasar skematis bagi mahasiswa untuk berpikir lebih teratur dan memperoleh penguasaan yang lebih baik terhadap aneka fenomena yang membentuk kepribadian.
Penelitian ini menjadi penting bagi kita, bukan karena dilengkapi dengan data statistik yang meyakinkan atau karena berhasil memberikan gelar doktor bagi Hurst, tetapi karena erat kaitannya dengan prospek retorika di masa depan.
Pengertian
Retorika adalah kecakapan berpidato di depan umum (study retorika di Sirikkusa ibu kota Sislia Yunani abab ke 5 SM). Retorika (dari bahasa Yunani ῥήτωρ, rhêtôr, orator, teacher) adalah sebuah teknik pembujuk-rayuan secara persuasi untuk menghasilkan bujukan dengan melalui karakter pembicara, emosional atau argumen (logo), awalnya Aristoteles mencetuskan dalam sebuah dialog sebelum The Rhetoric dengan judul ‘Grullos’ atau Plato menulis dalam Gorgias, secara umum ialah seni manipulatif atau teknik persuasi politik yang bersifat transaksional dengan menggunakan lambang untuk mengidentifikasi pembicara dengan pendengar melalui pidato, persuader dan yang dipersuasi saling bekerja sama dalam merumuskan nilai, keprcayaan dan pengharapan mereka. Ini yang dikatakan Kenneth Burke (1969) sebagai konsubstansialitas dengan penggunaan media oral atau tertulis, bagaimanapun, definisi dari retorika telah berkembang jauh sejak retorika naik sebagai bahan studi di universitas. Dengan ini, ada perbedaan antara retorika klasik (dengan definisi yang sudah disebutkan diatas) dan praktek kontemporer dari retorika yang termasuk analisa atas teks tertulis dan visual.
Retorika adalah memberikan suatu kasus lewat bertutur (menurut kaum sofis yang terdiri dari Gorgias, Lysias, Phidias, Protagoras dan Socrates akhir abad ke 5 SM). Retorika adalah ilmu yang mengajarkan orang tentang keterampilan, tentang menemukan sarana persuasif yang objectif dari suatu kasus (Aristoteles) Study yang mempelajari kesalahpahaman serta penemuan saran dan pengobatannya (Richard awal abad ke 20-an) Retorika adalah yang mengajarkan tindak dan usaha yang efektif dalam persiapan, penetaan dan penampilan tutur untuk membina saling pengertian dan kerjasama serta kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat.
Tujuan retorika adalah persuasi, yang di maksudkan dalam persuasi dalam hubungan ini adalah yakinnya penanggap penutur (pendengar) akan kebenaran gagasan topic tutur (hal yang di bicarakan) si penutur (pembicara). Artinya bahwa tujuan retorika adalah membina saling pengertian yang mengembangkan kerjasama dalam menumbuhkan kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat lewat kegiatan bertutur
Beberapa dimensi ideologi retorika
1. Dimensi filosofis kemanusiaan, dari dimensi ini, kita mengedepankan pemahaman dari sudut identitas (ciri pembeda) antara eksistensi. Identitas pembedanya:
• antara makhluk manusia dengan selain manusia
• antara manusia yang berbudaya
• antara yang mempunyai pengetahuan, keterampilan, pandangan hidup
2. Dimensi teknis, berbicara adalah sebuah teknik penggunaan symbol dalam proses interaksi informasi.
3. Dimensi proses penampakan diri atau aktualisasi diri. Berbicara itu adalah salah satu keperluan yang tidak bisa ditinggalkan
4. Dimensi teologis, menyampaikan ajaran agama sesuatu yang wajib (dakwah)
Bicara juga ada seninya. Pernahkah anda mengamati seorang penjual obat di pasar, ketika sedang menawarkan dagangannya? Atau, pernahkah anda ikut demonstrasi di kampus anda? Kalau pernah coba amati gaya bicara sang korlap!
Retorika bukan cuma menekankan pada output verbal seseorang ketika berbicara, namun juga output non verbalnya. Percaya atau tidak, gerakan bola mata kita atau arah pandangan mata kita, bahkan benda apa yang kita pegang saat berbicara, berpengaruh pada dipercaya tidaknya ucapan kita oleh orang lain. Seni berbicara memang erat kaitannya dengan seni mempengaruhi orang lain. Salah satu kuncinya adalah kenali audiens anda. Dengan mengenali siapa yang anda ajak bicara, anda bisa memprediksi apa dan bagaimana anda harus bicara, agar ucapan anda bisa dipercaya.
LATAR BELAKANG YANG BERBEDA
Proses komunikasi pada intinya adalah proses yang berusaha mencari mutual understanding di antara dua pihak yang berkomunikasi itu. Proses itu bisa gampang, bisa jadi sulit. Mutual understanding bisa tercipta jika ada kemiripan antara frame of reference dan field of experience kedua belah pihak.
Dua pihak yang berkomunikasi membawa latar belakang pemahaman yang berbeda pula. Di benak setiap orang yang berkomunikasi, umumnya telah tercipta image, persepsi dan gambaran tentang lawan komunikasinya. Dalam banyak kasus, image bahkan dapat tercipta sebelum bertemu muka dengan si-obyek image.
Image sendiri bukanlah suatu fenomena yang buruk. Image yang tepat, dapat membantu kita dalam proses komunikasi, namun demikian, kita harus menyadari bahwa Image dapat dimanipulasi atau dikondisikan, secara sadar maupun tidak sadar, oleh diri kita sendiri, atau obyek lain diluar diri kita.

Suatu proses komunikasi akan menghasilkan mutual understanding jika ada kedekatan antara frame of reference dan field of experience dari para peserta proses komunikasi.
Untuk menjadi komunikator yang efektif, anda sedapat-dapatnya harus mengenali karakteristik audiens anda, untuk menentukan tehnik komunikasi apa yang harus anda gunakan untuk menyampaikan pesan anda.

PENTINGNYA RETORIKA
Persepsi adalah proses yang terintegrasi dalam individu, yang terjadi sebagai reaksi atas stimulus yang diterimanya (bersifat individual). Sebuah konsensus (kesamaan persepsi kolektif pada satu isu tertentu) yang tercapai melalui diskusi sosial akan menimbulkan opini publik. Sedangkan pada diri individu sendiri, opini bisa bersifat laten atau manifes. Opini yang bersifat laten disebut sikap. Sikap adalah suatu predisposisi terhadap sesuatu obyek, yang didalamnya termasuk sistem kepercayaan, perasaan, dan kecenderungan perilaku terhadap obyek tersebut.
Sikap bisa dipelajari, bersifat stabil, melibatkan aspek kognisi dan afeksi, dan menunjukkan kecenderungan perilaku.

AL QUR’AN : PENGERTIAN, SEJARAH TURUN DAN KEMUKJIZATANNYA (Makalah Mata Kuliah Studi Islam)


AL QUR’AN  :   PENGERTIAN, SEJARAH TURUN DAN KEMUKJIZATANNYA

Disusun Oleh : Rinawati, STKIP Muhammadiyah Bogor

BAB I  PENGERTIAN  AL QUR’AN

     A. Pengertian Al-Quran Secara Etimologi ( Bahasa )

  1. Al-Lihyani

Al- Quran merupakan nama bagi firman Allah yang diturunkan Kepada nabi kita Muhammada SAW

  1.  Az-Zujaj

Al-Quran merupakan nama bagi firman Allah yang diturunkan  kepada Nabi yang menghimpun surat-surat , dan kisah-kisah, juga  perintah dan larangan atau   menghimpun intisari kitab-kitab suci sebelumnya,

  1.  Al-asya`ri
    Al-Quran adalah kumpulan yang terdiri atas ayat-ayat yangsaling menguatkan danterdapat kepemimpinan antara ayat satu dengan ayat lainnya.
  2.  Al- Farra
    Al-Quran dalah kumpulan yang terdiri atas ayat-ayat yang saling menguatkan dan

dan terdapat klemiripan antara yang satu dengan yang lainnya
e. Pendapat Lain
Al-Quran adalah himpunan intisari kitab-kitab Allah yang lain bahkan

seluruh ilmu  yang ada
 B.Pengertian Al-Quran Secara Terminologi ( Istilah )

  1. a. Al- Jurajani :
    Al- Quran adalah kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw ditulis dalam mushaf dan diriwayatkan secara mutawatir tanpa keraguan
  2. Manna al-Qatthan :
    Al-Quran adalah kiatb ynag diturunkan Allah kepada Nabi uhammad SAW dan orang    yang membacanya akan memperoleh pahal
  3.  Abu Syahbah :
    Al-Quran adalah kitab yang diturunkan baik lafaz atau makna kepada Nabi terakhir, diriwayatkan secara mutawatir (penuh kepastian dan keyakinan)  ditulis pada mushaf dari surah Al- Fatihah sampai surah An-Nas.
  4. Pakar Ushul Fiqh, dan Bahasa Arab :
    Al-Quran adalah kitab yang diturunkan kepada Nabi Nya, lafaznya dengan  mengandung mukjizat , membacannya mepunyai nilai ibadah, diturunkan secara  mutawatir dan ditulis pada mushaf

BAB II  SEJARAH TURUNNYA AL QUR’AN

a.      Metode Turunnya Wahyu Al Qur’an 
Al-Quran turun selama 22 tahun 2 bulan 22 hari, dari 17 Ramazan tahun 41 dari kelahiran Nabi sampai 9 Zulhijjah Haji wada`tahun 63 dari kelahiran Nabi atau 10 H Al-Quran turun melalui tiga tahap  yaitu :

  1. Al Quran turun sekaligus dari Allah ke Lukh mahfudh
  2. Al- Quran turun dari laukh mahfudh ke bait Al- izzah (tempat yang berada dilangit dunia
  3. Al-Quran turun dari bait Al- izzah ke hati Nabi melalui perantara Jibril dengan berangsur-angsur, kadang satu ayat, dua ayat, bahkaan satu surat

Hikmah Diturunkan Al-Quran Secara Berangsur-Angsur yaitu :

Memantapkan Hati Nabi

  1. Menentang dan melemahkan para penantang Al-Quran
  2. Memudahkan untuk di hafal dan di pahami
  3. Mengikuti setiap kejadian (yang menyebabkan turunnya Al-Quran)
  4. Membuktikan dengan pasti bahwa Al-Quran turun dari Allah yang Maha Bijaksana

   

b. Metode Penulisan Al Qur’an  

Pada masa nabi, wahyu yang diturnakan oleh Allah kepadanya tidak hanya di eksprersikan dalam betuk hafalan tapi juga dalam bentuk tulisan.
Sekretaris pribadi nabi yang bertugas mencatat wahyu yaitu Abu Bakar, Umar bin Kahtab, Khalid Bin Walid dan Mua`wiyah Bin Abi Sofyan. Mereka menggunakan alat tulis sederhana yaitu lontaran kayu, pelepah kurma., tulang-belulang, dan batu.
Faktor yang mendorong penulisan Al-Quran pada masa Nabi yaitu membukukan hafalan yang telah dilakukan oleh Nabi dan para Sahabat dan mempersentasikan wahyu dengan cara yang paling sempurna

  1. 1.         Penulisan Al Qur’an Pada Masa Khulafaurrasyidin

Pada masa Khalifah Abu Bakar beliau memerintahkan untuk mengumpulkan wahyu-wahyu yang tersebar, kedalam satu mushaf, Usaha pengumpulan ini dilakukan setelah terjadi perang Yamamah pada 12 H yang telah menggugurkan nyawa 70 orang penghafal Al-Quran.  Akibat dari kekhawatiran atas kelestarian Al-Quran , maka dipercayakan Zaid bin tsabit untuk mengumpulkan wahyu tersebut. Usaha pengumpulan tersebut selesai dalam waktu ± 1 tahun yaitu pada 13 H.
Kemudian pada masa khalifah Usman bin Affan terjadi perselisihan paham tentang perbedaan cara baca Al-Quran yang sudah berada pada titik yang menyebabkab umat Islam saling menyalahkan yang pada akhirnya menyebabkan perselisihan . Akibat peristiwa tersebut , timbul lah inisiatif khaalifah Usman untuk mengumpulkan Al-Quran. Orang yang melakukan resensi Al-Quran adalah ; Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said bin Alsh dan Abdurrahman bin Al- Harish .
Dengan demikian suatu naskah absah Al-Quran yang disebut Mushaf Usmani telah diterapakan dan salinan nya di bagi beberapa wilayah utama daerah Islam

  1. 2.      Penyempurnaan Penullisan Al Qur’an Setelah  Masa Khalifah

Mushaf yang ditulis pada masa khalifah Usman tidak memiliki harakat dan tanda titik, sehingga orang non arab yang memeluk Islam merasa kesulitan membaca mushaf tersebut
Oleh karena itu pada masa khalifah Abd Al-Malik ( 685-705 ) dilakukan penyempurnaan oleh dua tokoh berikut :

  1.  Ubaidilllah bin ziyad, beliau melebihkan alif sebagai pengganti dari huruf yang di buang
  2.  Al-Hajjad bin yusuf Ats- Tsaqafi, beliau  menyempurnakan mushaf Usmani pada sebelas tempat yang memudahkan pembaca mushaf,
  3.  Abu Al-Aswad Ad- Du`Ali , Yahya Bin Ya`Mar, Nashr Bin Asyim Al-Laits  sebagai orang yang pertama kali meletakkan tanda titik pada mushaf Usmani.
  4. al-Khalid bin Ahmad Al- Farahidi Al-Azdi , beliau orang yang pertama kali meletakkan hamzah , tasdid, arrum dan Al-Isyamah adalah .

 

  1. 3.      Proses Pencetakan Al-Quran

Berikut ini urutan proses pencetakan Al Qur’an  ;
1.  Pertama kali di cetak di Bundukiyyah pada 1530 M
2. Hinkalman pada masa 1694 M di Hamburg ( jerman )
3. Meracci pada 1698 M di paduoe
4. Maulaya Usman di sain Peter buorgh, Uni Sovyet ( Label Islami )
5. Terbit cetakan di Kazan
6. Iran pada 1248 H / 1828 kota Taheran
7. Ta`di Tabriz pada 1833
8. Ta`di leipez, Jerman pada 1834


BAB III   KEMUKJIZATAN AL QUR’AN

 

Al-Qur`an sebagai kitab samawi terakhir yang diberikan kepada Muhammad sebagai penuntun dalam rangka pembinaan umatnya sangatlah fenomenal. Lantaran di dalamnya sarat nilai-nilai yang unik, pelik dan rumit sekaligus luar biasa. Hal ini lebih disebabkan karena eksistensinya yang tidak hanya sebagai ajaran keagamaan saja, melainkan ajaran kehidupan yang mencakup total tata nilai semenjak hulu peradaban umat manusia hingga hilirnya.  Diantara nilai-nilai tersebut adalah pada aspek kebahasaannya, isyarat-isyarat ilmiyah dan muatan hukum yang terkandung didalamnya. Saking pelik, unik, rumit dan keluar biasanya tak pelak ia menjadi objek kajian dari berbagai macam sudutnya, yang darinya melahirkan ketakkjuban bagi yang beriman dan cercaan bagi yang ingkar.

Namun demikian, seiring dengan waktu dan kemajuan intelkstualitas manusia yang diikuti dengan perkembangan ilmu pengetahuan modern, sedikit demi sedikit nilai-nilai tersebut dapat terkuak dan berpengaruh terhadap kesadaran manusia akan keterbatasan dirinya, sebaliknya mengokohkan posisi Al-Qur`an sebagai kalam Tuhan yang Qudus yang berfungsi sebagai petunjuk dan bukti terhadap kebenaran risalah yang dibawa Muhammad. Serentetan nilai Al-Qur`an yang unik, pelik, rumit sekaligus luar biasa hingga dapat menundukkan manusia dengan segala potensinya itulah yang lazimnya disebut dengan MUKJIZAT.

  1. 1.       Pengertian Mukjizat

 

Kata “Mukjizat” menurut Quraish Shihab berasal dari bahasa Arabأعجز yang berarti “melemahkan atau menjadikan tidak mampu”, sedangkan ة“” ta’ marbutah pada kata معجزة menunjukkan makna mubalaghoh (superlative)

1. Menurut kamus besar Purwo Darminto adalah “kejadian ajaib/luar bisaa yang sukar dijangkau oleh kemampuan manusia”2. Sedangkan menurut pakar agama Islam adalah “suatu hal atau peristiwa luar bisaa yang terjadi melalui seorang yang disebut Nabi, sebagai bukti kenabiannya yang di tantangkan pada yang meragukan, untuk melakukan atau mendatangkan hal serupa, namun mereka tidak mampu melayani tantangan tersebut”.3 Manna’ Khalil Al-Qattan menjelaskan bahwa pengertian “Kelemahan” secara umum ialah ketidakmampuan mengerjakan sesuatu, sehingga nampaklah kemampuan dari “mu’jis”(sesuatu yang melemahkan). Dan kata I’jas dalam konteks ini adalah menampakkan kebenaran Nabi dalam pengakuannya sebagai seorang Rasul dengan menampakkan kelemahan orang Arab beserta generasi-generasi setelahnya untuk menghadapi mu’jizatnya yang abadi( Al-Qur`an).4

Dari definisi tersebut di atas dapat diturunkan beberapa pengertian diantaranya:

  1. Kejadian luar bisaa yang “sukar” dijangkau oleh kemampuan manusia, pertanyaan yang muncul adalah sejauh mana ke-luar bisaaan mukjizat? Dan kata “sukar” pada definissi diatas menimbulkan probability tentang adanya kemungkinan bahwa manusia akan bisa sampai pada maqom sukar tersebut, bila demikian masihkah disebut mu’jizat?. Dalam bukunya yang berjudul “Mukjizat Al-Qur`an” Quraish Shihab menjelaskan bahwa kejadian luar bisaa yang dimaksud adalah sesuatu yang berada diluar jangkauan sebab dan akibat yang terdapat secara umum pada hukum-hukum alam (sunatullah) yang diketahui oleh manusia5. Namun demikian penulis lebih berpendapat bahwa semua keajaiban yang terjadi di alam termasuk mukjizat semuanya adalah rasional artinya bahwa sebenarnya akal mampu menerima kebenaran logis terhadap mukjizat. Hal ini didasarkan pada beberapa ayat dalam Al-Qur`an yang menjelaskan tentang peristiwa-peristiwa yang gaib termasuk konsekuensi dari pahala dan dosa yang akan diterima oleh manusia besuk di hari pembalasan tetapi kenyataannya banyak manusia tidak percaya, tepatnya dalam QS: Yunus: 39 6 .  Dalam pengertian lain bahwa pengetahuan manusia tentang hukum sebab-akibat yang terdapat di alam hanyalah sebagian kecil dari hukum-hukum sebab akibat yang ada dalam pengetahuan Tuhan. Sebagai contoh adalah untuk mendapatkan hasil angka 7 bisa melalui 4+3 = 7 (hukum alam yang dapat diketahui manusia), sedangkang masih banyak sebab-akibat dari hasil angka 7 yang tidak dapat diketahui manusia karena keterbatasan pengindraan. Misalnya 3+3+1=7, (2×2)+3=7, 10-3=7, 100-99+(2×2)+2=7 dst, yang semua sebab-akibat tersebut ditunjukkan oleh Tuhan maka manusia akan mampu memahaminya. Oleh karena itu termasuk kata “sukar” di atas kurang tepat. Karena yakin bahwa manusia dibatasi oleh hukum-hukum alam yang melekat pada dirinya. Tetapi seandainya Allah memberikan penjelasan maka akal akan mampu menerima kebenaran tersebut, namun kenyataannya Allah tak memberikan penjelasan karena ada tujuan-tujuan tertentu yang tak mudah kita pahami.
  2. Melemahkan, istilah ini juga menggoda pada kita untuk mengkaji ulang. Diantara pendapat datang kaum Sirfah Abu Ishaq Ibrahim An-Nizam dan pengikutnya dari kaum syi’ah seperti al-Murtadha mengatakan bahwa kemukjizatan Al-Qur`an adalah dengan cara shirfah (pemalingan). Artinya bahwa Allah memalingkan orang-orang Arab untuk menantang Qur’an, padahal sebenarnya mereka mampu, maka pemalingan inilah yang luar bisaa yang selanjutnya pendapat ini di habisi oleh Qadi Abu bakar al-Baqalani ia berkata: “kalau yang luar bisaa itu adalah shirfah maka kalam Allah bukan mukjizat melainkan Shirfah itu sendiri yang mukjizat” dengan berlandasan pada QS. Al-Isra’:88. 7. Berbeda dengan pendapat kaum sirfah, penulis lebih memandang melalui kaca mata dilalah siyaqiyah, bahwa makna “melemahkan-dilemahkan ” cenderung mengarah pada konteks menang dan kalah. Hal inilah yang menurut penulis kurang etis. Dan ternyata kata melemahkan معجزة) يعجز–(أعجز tidak terdapat dalam Al-Qur`an. kalimat yang digunakan adalah أيت (tanda-tanda) dan بينات (penjelasan) yang dari kedua kata tersebut menurut Prof. DR. H. Said Aqil Munawar, MA. mempunyai dua pengertian pertama; pengkabaran Ilahi (QS.3:118, 252/QS.6:4/ QS10:7dan QS.2:159/ QS 3:86/ QS 10:150). Kedua; tanda-bukti yang termasuk digolongkan mukjizat (QS.3:49/ QS.7:126/ QS.40:78/ QS.27:13 dan QS.7:105/ QS.16:44/ QS.20:72)8. yang menurut penulis sebenarnya jauh dari makna melemahkan atau bahkan mengalahkan.
  3. Dibawa oleh seorang nabi. Seandainya peristiwa luar bisaa tersebut terjadi bukan pada nabi meskipun secara fungsi ada kesamaan dengan mukjizat, bisakah disebut mukjizat?. Dalam buku yang sama Quraish Shihab menjelaskan, selain yang membawa nabi kejadian luar bisaa tersebut bukan dinamakan mukjizat. Beliau menambahkan kalau terjadi pada seseorang yang kelak akan menjadi nabi maka disebut Irhash, adakalanya terjadi pada hamba Allah yang taat yang disebut karomah, dan apabila terjadi pada hamba yang durhaka disebut Istidroj (rangsangan untuk lebih durhaka) atau Ihanah (penghinaan)9. Semua peristiwa tersebut adalah merupakan tanda-tanda dan bukti atas kebesaran Allah agar siapapun yang menyaksikannya baik melalui akal maupun hatinya dapat beriman kepada Allah.
  1. Sebagai Bukti Kerasulan.  Kata “bukti” menyangkut percaya dan tidak percaya, seandainya seseorang telah percaya pada rasul bahwa Ia adalah utusan Allah, adakah masih disebut mukjizat?. Dari definisi mukkjizat, makna “bukti atau tanda” inilah yang paling utama bukan lemah dan melemahkan karena tujuan risalah (kerasulan) adalah agar seseorang mampu memahami dan meyakini bahwa risalah tersebut benar-benar dari Zat yang Maha Kuasa yaitu Allah SWT. Adapaun bagi mereka yang sudah percaya terhadap kerasulan Nabi beserta apa yang disampaikannya yang berupa wahyu dari Tuhan maka peristiwa luar bisaa tersebut tetap disebut mukjizat. Sebab dimensi lain makna mukjizat(ketidak mampuan akal) tetap berlaku pada orang yang sudah percaya tersebut. Oleh karena itu fungsinya disamping sebagai “bukti” juga merupakan penjelasan dan pemantapan terhadap keyakinan seseorang.
  2. Mengandung Tantangan.  Memang kebanyakan ulama diantara misalnya Syahrur juga melihat QS. Al-Isra’: 88 mengandung tantangan dan tantangan tersebut berakhir pada kelemahan mu’jas10, namun hemat penulis bahwa sebenarnya Allah tidak hendak menantang orang-orang kafir. Bagaimana bisa Tuhan menantang mahluknya jelas inpossible, karena maksud dan tujuannya bukan untuk menantang. Dalam ilmu dilaliyah, conten analisis perlu meneropong gaya penuturan Autor, misalnya kalimat ” ayo kalau berani !” ( kondisi marah) mempunyai makna tantangan, sedangkan ” ayo kalau berani ” (kodisi tersenyum) bermakana menguji.
  1. 2.       Makna Kemujizatan Al-Qur`an

Berdasarkan sifatnya, mukjizat (Al-Qur`an) yang diberikan kepada nabi Muhammad SAW. sangatlah berbeda dengan mukjizat-mukjizat yang diberikan kepada nabi-nabi terdahulu. Jika para nabi sebelumnya bersifat hissiy-matrial sedangkan Al-Qur`an bersifat maknawi / immateri. Perbedaan tersebut bertolak pada dua hal mendasar yaitu pertama, para nabi sebelum Muhammad SAW. ditugaskan pada masyarakat dan masa tertentu. Oleh karenanya mukjizat tersebut hanya sementara. Sedangkan Al-Qur`an tidak terbatas pada masyrakat dan masa tertentu sehingga berlaku sepanjang masa. Kedua, secara historis-sosiologis dalam pemikirannya manusia mengalami perkembangan. Auguste Comte(1798-1857) –sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab- ia berpendapat bahwa pikiran manusia dalam perkembangannya mengalami tiga fase. Pertama Fase keagamaan, dikarenakan keterbatasan pengetahuan manusia ia mengembalikan penafsiran semua gejala yang terjadi pada kekuatan Tuhan atau dewa yang diciptakan dari benaknya. Kedua fase metafisika, yaitu manusia berusaha menafsirkan gejala yang ada dengan mengembalikan pada sumber dasar atau awal kejadiannya. Ketiga fase ilmiah, dimana manusia dalam menafsirkan gejala atau fenomena berdasarkan pengamatan secara teliti dan eksperimen sehingga didapatkan hukum-hukum yang mengatur fenomena tersebut11. Posisi Al-Qur`an sebagai mukjizat adalah pada fase ketiga dimana ditengarahi bahwa potensi pikir-rasa manusia sudah luar biasa sehingga bersifat universal dan eternal.

Umumnya mukjizat para rasul berkaitan dengan hal yang dianggap bernilai tinggi dan sebagai keunggulan oleh masing-masing umatnya pada masa itu. Misalnya pada zaman nabi Musa lagi ngeternnya tukang sihir, maka mukjizatnya sebagaimana tertera dalam QS. Al-a’raf: 103-126, As-Su’ara’: 30-51, dan Thoha: 57-73. pada nabi Isa adalah zaman perdukunan / tabib maka mukjizatnya adalah seperti pada QS. Ali Imran: 49 dan Al-Maidah: 110. Dan pada zaman Muhammad lagi marak-maraknya sastra sehingga mukjizat yang mach adalah Al-Qur`an12. Dari sinilah sebagian ulama berpendapat bahwa kemukjizatan Al-Qur`an yang utama saat itu adalah kebahasaan dan kesastraannya di samping isi yang terkandung di dalamnya.

  1. 3.       Kemukjizatan Al-Qur`an dari aspek Bahasa dan Sastra

 

Dari segi kebahasaan dan kesastraannya Al-Qur`an mempunyai gaya bahasa yang khas yang sangat berbeda dengan bahasa masyarakat Arab, baik dari pemilihan huruf dan kalimat yang keduanya mempunyai makna yang dalam. Usman bin Jinni(932-1002) seorang pakar bahasa Arab -sebagaimana dituturkan Quraish Shihab- mengatakan bahwa pemilihan kosa kata dalam bahasa Arab bukanlah suatu kebetulan melainkan mempunyai nilai falsafah bahasa yang tinggi13. Kalimat-kalimat dalam Al-Qur`an mampu mengeluarkan sesuatu yang abstrak kepada fenomena yang konkrit sehingga dapat dirasakan ruh dinamikanya, termasuk menundukkan seluruh kata dalam suatu bahasa untuk setiap makna dan imajinasi yang digambarkannya. Kehalusan bahasa dan uslub Al-Qur`an yang menakjubkan terlihat dari balgoh dan fasohahnya, baik yang konkrit maupun abstrak dalam mengekspresikan dan mengeksplorasi makna yang dituju sehingga dapat komunikatif antara Autor(Allah) dan penikmat (umat)14.

Kajian mengenai Style Al-Qur`an, Shihabuddin menjelaskan dalam bukunya Stilistika Al-Qur`an, bahwa pemilihan huruf dalam Al-Qur`an dan penggabungannya antara konsonan dan vocal sangat serasi sehingga memudahkan dalam pengucapannya. Lebih lanjut –dengan mengutip Az-Zarqoni- keserasian tersebut adalah tata bunyi harakah, sukun, mad dan ghunnah(nasal). Dari paduan ini bacaan Al-Qur`an akan menyerupai suatu alunan musik atau irama lagu yang mengagumkan. Perpindahan dari satu nada ke nada yang lain sangat bervariasi sehingga warna musik yang ditimbulkanpun beragam. Keserasian akhir ayat melebihi keindahan puisi, hal ini dikarenakan Al-Qur`an mempunyai purwakanti beragam sehingga tidak menjemukan. Misalnya dalam surat Al-Kahfi(18: 9-16) yang diakhiri vocal “a” dan diiringi konsonan yang berfariasi, sehingga tak aneh kalau mereka (masyarakat Arab) terenyuh dan mengira Muhammad berpuisi. Namun Walid Al-mughiroh membantah karena berbeda dengan kaidah-kaidah puisi yang ada, lalu ia mengira ucapan Muhammad adalah sihir karena mirip dengan keindahan bunyi sihir (mantra) yang prosais dan puitis. Sebagaimana pula dilontarkan oleh Montgomery Watt dalam bukunya “bell’s Introduction to the Qoran” bahwa style Quran adalah Soothsayer Utterance (mantera tukang tenung), karena gaya itu sangat tipis dengan ganyanya tukang tenung, penyair dan orang gila.15 Terkait dengan nada dan lagam bahasa ini, Quraish Shihab mngutip pendapat Marmaduke -cendikiawan Inggris- ia mengatakan bahwa Al-Qur`an mempunyai simponi yang tidak ada taranya dimana setiap nada-nadanya bisa menggerakkan manusia untuk menangis dan bersuka cita. Misalnya dalam surat An-Naazi’at ayat 1-5. Kemudian dilanjutkan dengan lagam yang berbeda ayat 6-14, yang ternyata perpaduan lagam ini dapat mempengaruhi psikologis seseorang.16

Selain efek fonologi terhadap irama, juga penempatan huruf-huruf Al-Qur`an tersebut menimbulkan efek fonologi terhadap makna, contohnya sebagaimana dikutip Shihabuddin Qulyubi dalam bukunya Najlah “Lughah Al-Qur`an al-karim fi Juz ‘amma”, bunyi yang didominasi oleh jenis konsonan frikatif (huruf sin) memberi kesan bisikan para pelaku kejahatan dan tipuan, demikian pula pengulangan dan bacaan cepat huruf ra’ pada QS. An-Naazi’at menggambarkan getaran bumi dan langit. Contoh lain dalam surat Al-haqqah dan Al-Qari’ah terkesan lambat tapi kuat, karena ayat ini mengandung makna pelajaran dan peringatan tentang hari kiyamat.17

Dari pemilihan kata dan kalimat misalnya, Al-Qur`an mempunyai sinonim dan homonym yang sangat beragam. contohnya kata yang berkaitan dengan perasaan cinta. علق diungkapkan saat bertatap pandang atau mendengar kabar yang menyenangkan, kemudian jika sudah ada perasaan untuk bertemu dan mendekat menggunakan ميل, seterusnya bila sudah ada keinginan untuk menguasai dan memiliki dengan ungkapan مودة, tingkat berikutnya محبة, dilanjutkan dengan خلة, lalu الصبابة , terus الهوى , dan bila sudah muncul pengorbanan meskipun membahayakan diri sendiri namanya العشق , bila kadar cinta telah memenuhi ruang hidupnya dan tidak ada yang lain maka menjadi التتيم , yang semua itu bila berujung pada tarap tidak mampu mengendalikan diri, membedakan sesuatu maka disebut وليه .18 yang semua kata-kata tersebut mempunyai porsi dan efek makna masing-masing. Meminjam bahasanya Sihabuddin disebut lafal-lafal yang tepat makna artinya pemilihan lafal-lafal tersebut sesuai dengan konteksnya masing-masing. Misalanya, dalam menggambarkan kondisi yang tua renta (Zakaria) dalam QS. Maryam: 3-6, Wahanal ‘Azmu minni bukan Wahanal lahmu minni. Juga Wasyta’alar-ra’su syaiba (uban itu telah memenuhi kepala) bukan Wasyta’alas- syaibu fi ra’si (uban itu ada di kepala).19

Masih dalam konteks redaksi bahasa Al-Qur`an berlaku pula deviasi(penyimpangan untuk memperoleh efek lain) misalnya dalam QS. Asy-Su’ara’, ayat 78-82. Pada ayat 78, 79 dimulai dengan lafal allazi, pada ayat 80 dimulai waidza, namun pada ayat 81, 82 kembali dengan allazi, dan fail pada ayat 78,79,81,82 adalah Allah, sedang pada ayat 80 faiilnya orang pertama (saya) tentu kalau di’atofkan pada ayat 78,79,81,82 maka terjadi deviasi pemanfaatan pronomina hua (هو). Lafal yahdiin, yumiitunii wa yasqiin dan yasfiin tanpa didahului promnomina tersebut. Pengaruh dan efek deviasi yang ditimbulkan adalah munculnya variasi struktur kalimat sehingga kalimat-kalimat tersebut tersa baru dan tidak menjemukan20.

Selain itu keseimbangan redaksi Al-Qur`an telah membuat takjub para pemerhati bahasa, baik keseimbangan dalam jumlah bilangan kata dengan antonimnya, jumlah bilangan kata dengan sinonimnya, jumlah kata dengan penyebabnya, jumlah kata dengan akibatnya, maupun keseimbangan-keseimbangan yang lain(khusus). Misalnya الحياة dan الموت masing-masing sebanyak 145 kali. النفع dan الفساد sebanyak 50 kali dan seterusnya. Kata dan sinonimnya misalnya, الحرث dan الزراعة sebanyak 14 kali,العقل dan النور sebanyak 49 kali dan lain sebagainya. Kata dengan penyebabnya misalnya, الاسرى (tawanan) dan الحرب sebanyak 6 kali, السلام dan الطيبات sebanyak 60 kali dan lain-lainnya. Kata dan akibatnya contohnya, الزكاة dan البركات sebanyak 32 kali,الانفاق dan الرضا sebanyak 73 kali.21

Secara umum Said Aqil merangkum keistimewaan Al-Qur`an sebagai berikut:

  1. Kelembutan Al-Qur`an secara lafziyah yang terdapat dalam susunan suara dan keindahan bahasa.
  2. Keserasian Al-Qur`an baik untuk orang awam maupun cendekiawan.
  3. Sesuai dengan akal dan perasaan, yakni Al-Qur`an memberi doktrin pada akal dan hati, serta merangkum kebenaran serta keindahan sekaligus.
  4. Keindahan sajian serta susunannya, seolah-olah suatu bingkai yang dapat memukau akal dan memusatkan tanggapan dan perhatian.
  5. Keindahan dalam liku-liku ucapan atau kalimat serta beraneka ragam dalam bentuknya.
  6. Mencakup dan memenuhi persyaratan global(ijmali) dan terperinci (tafsily).
  7. Dapat memahami dengan melihat yang tersurat dan tersirat.22

Semua data-data yang penulis paparkan, hanyalah sekelumit kandungan kemukjizatan dari sisi kebahasaan dan tentunya masih banyak hal terkait dengan kontek ini yang tak mungkin penulis bahas. Singkat kata bahwa ditinjau dari kebahasaan Al-Qur`an mempunyai kandungan makna luar bisa baik pemilihan kata, kalimat dan hubungan antar keduanya, efek fonologi terhadap nada dan irama yang sangat berpengaruh terhadap jiwa penikmatanya atau efek fonologi terhadap makna yang ditimbulkan serta deviasi kalimat yang sarat makna. Sehingga tak heran bila Al-Qur`an menempatkan dirinya sebagai seambrek simbul yang sangat komunikatif lagi fenomenal. Eksistensinya yang sedemikian luarbisa, membuat bangsa Arab khususnya saat itu bertekuk lutut dan tak mampu berbuat apa-apa.

4. Kemukjizatan Al-Qur`an dari Aspek Isyarat Ilmiah

 

Selain keistimewaan pada kebahasaan, Al-Qur`an juga mempunyai isyarat-isyarat ilmiyah yang sebagian ulama menganggap sebagai bentuk kemukjizatan Al-Qur`an. Diantara isyarat-isyarat itu adalah bagaimana Al-Qur`an berbicara tentang reproduksi manusia. Setidaknya ada beberapa ayat yang menjelaskan proses kejadian manusia yang berasal dari Nutfah (air mani), yaitu surat Al-Qiyamah (75:36 -39):

Artinya :

(36) Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)?  (37) Bukankah dia dahulu setetes mani yang ditumpahkan (ke dalam rahim) (38) Kemudian mani itu menjadi segumpal darah, lalu Allah menciptakannya, dan menyempurnakannya (39) Lalu Allah menjadikan daripadanya sepasang: laki-laki dan perempuan.

Surat An-. Najm (53: 45-46):

¼çm¯Rr&ur t,n=y{ Èû÷üy_÷r¨“9$# tx.©%!$# 4Ós\RW{$#ur ÇÍÎÈ `ÏB >pxÿôܜR #sŒÎ) 4Óo_ôJè? ÇÍÏÈ

Artinya :

(45)  Dan bahwasanya Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan pria dan wanita. (46) Dari air mani, apabila dipancarkan

Surat Al-Waqi’ah (56: 58-59)

Artinya :

58. Maka Terangkanlah kepadaku tentang nutfah yang kamu pancarkan.

59. Kamukah yang menciptakannya, atau kamikah yang menciptakannya?

Ayat-ayat di atas pada zaman modern sesuai dengan penemuan para ahli genetika bahwa air mani yang menyembur dari laki-laki mengandung 200.000.000 lebih sel sperma yang salah satu darinya akan menembus rahim dan membuahi ovum. Dalam konsep tersebut bahwa sel sperma mempunyai kromosum yang dilambangkan hurup XY, sedangkan perempuan XX. Apabila sel sperma yang berkromosum X lebih dominan maka akan lahir perempuan sedang apabila yang lebih dominan Y maka akan lahir laki-laki. Barang kali inilah penjelasan sementara tentang informasi ayat ke 39 surat Al-Qiyamah. Kemudian setelah ovum terbuahi akan menjadi zigot atau yang dalam ayat ke 38 disebut ‘Alaqoh.23

Selain itu, Al-Qur`an juga mengisyaratkan tentang kejadian alam semesta, bahwa langit dan bumi tadinya merupakan satu gumpalan seperti digambarkan dalam QS. Al-Anbiya`21: 30.

Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, Kemudian kami pisahkan antara keduanya. dan dari air kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?

Pada tahun 1929 Edwin P. Hubbel (1889-1953) mengadakan observasi yang menunujukkan adanya pemuaian alam semesta. Hal ini sesuai dengan QS. Azdariyat ayat 57 bahwa alam semesta berekspansi bukan statis sebagaimana diduga Enstin. Ekspansi itu melahirkan sekitar seratur milyar galaksi yang masing-masing mempunyai 100 milyar bintang. Pada awalnya semua benda-benda langit tersebut merupakan gumpalan gas padat terdiri dari proton dan neutron yang mempunyai kisaran secara teratur, dan pada derajat temperature tertentu gumpalan tersebut meledak yang proses ini lazimnya disebut Big Bang.24

Diantara isyarat ilmiyah lain adalah gunung. Secara eksplisit kata gunung dalam Al-Qur`an disebutkan sebanyak 39 kali dan secara implisit terdapat 10 kali. Dari 49 ayat tersebut 22 diantaranya menggambarkan gunung sebagai pasak atau pancang bumi. Misalnya dalam surat An Naba` 78:7

Artinya : Dan gunung-gunung sebagai pasak.

Begitu juga dalam QS. 13:3, 15:19, 16:15, 21:31, 27:61, 31:10, 50:7, 77:27 dan 79:32.

Fakta-fakta mengenai gunung, baru tersingkap oleh para pakar pada akhir tahun 1960-an, bahwa gunung mempunyai akar, dan peranannya dalam menghentikan gerakan menyentak horizontal lithosfer, baru dapat difahami dalam kerja teori lempengan tektonik(plate tetonics). Hal ini dapat dimengerti karena akar gunung mencapai 15 kali ketinggian di permukaan bumi sehingga mampu menjadi stabilisator terhadap goncangan dan getaran.25

Lebih lanjut Airy(1855) mengatakan bahwa lapisan di bawah gunung bukanlah lapisan yang kaku melainkan gunung itu mengapung pada lautan bebatuan yang lebih rapat. Namun demikian massa gunung yang besar tersebut diimbangi defisiensi massa dalam bebatuan sekelilingnya di bawah gunung dalam bentuk akar. Akar gunung memberikan topangan buoyancy serupa dengan semua benda yang mengapung. Ia menggambarkan kerak bumi yang berada di atas lava dapat dibandingkan dengan kenyataan sehari-hari yaitu seperti rakit kayu yang mengapung di atas air, dimana permukaan rakit yang mengapung lebih tinggi dari permukaan lainnya juga mempunyai permukaan yang lebih dalam. Dengan demikian permukaan bumi tetap dalam Equilibrium Isostasis, artinya bawa permukaan bumi berada dalam titik keseimbangan akibat perbedaan antara Volume dan daya grafitasi.26

Masih banyak lagi isyarat-isyarat ilmiyah yang disinggung Al-Qur`an misalnya tentang kejadian awan, sistem kehidupan lebah, tumbuhan-tumbuhan yang berklorofil dan seterusnya, yang semua itu merangsang terhadap adanya pembuktian-pembuktian secara empiris dan rasionalis. Dan semakin bukti-bukti itu terkuak semakin nyatalah kebenaran Al-Qur`an bahwa ia bukan buatan Muhammad. Bagaimana mungkin seorang Muhammad yang 14 abad silam tak mengenal pendidikan tidak bisa baca-tulis mampu menjelaskan hal itu semua.

Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana posisi kebenaran ilmiyah terhadap isyarat-isyarat ilmiyah Al-Qur`an?. Satu hal yang harus dipahami adalah bahwa Al-Qur`an bukanlah buku kumpulan teori ilmiyah, ia lebih merupakan suatu petunjuk untuk menuju pada tujuan yang benar. Apabila kita menganalisa sedikit ayat-ayat diatas bahwa Al-Qur`an tidak hanya berhenti pada isyarat ilmiyah tetapi lebih pada bagaimana setelah manusia itu memahami dan mengerti terhadap isyarat-isyarat ilmiyah tersebut. Adapun ke-ilmiyah-an Al-Qur`an hanya sebatas juklak agar tujuan-tujuan Tuhan lebih komunikatif dan efektif. Sehingga ada perbedaan mendasar atas ke-ilmiyah-an Al-Qur`an dan “ke-ilmiyah-an” dalam pengetahuan manusia. Sehingga dapat di analogkan ke-ilmiyah-an Al-Qur`an adalah peta dan “ke-ilmiyah-an” manusia adalah proses penelusuran jejak-jejak tersebut, oleh karenanya hanya bersifat justifikasi andaikata benar. Sebab sevalid apapun ke-ilmiyah-an manusia ia tetap tunduk pada hukum-hukum dan teori-teori ke-probabilitas-an manusia yang notabene bersifat serba terbatas.

5. Kemukjizatan Al-Qur`an Dari Aspek Kisah-kisah Purba

Diantara hal yang menarik dari Al-Qur`an adalah bahwa Al-Qur`an memuat beberapa cerita kaum-kaum terdahulu, hingga jauh ke hulu sejarah peradaban umat manusia yang tak mungkin buku sejarah manapun mampu mengcover secara akurat. Memang Al-Qur`an tidak memaparkan secara kronologis-histories, karena memang Al-Qur`an bukanlah buku sejarah. Al-Qur`an menggunakan sejarah purba tersebut hanya sebagai icon terhadap sebuah fenomena tertentu dengan maksud dan tujuan tertentu. Sehingga starting pointnya dalam memahami kisah-kisah yang terdapat dalam Al-Qur`an bukan dari dimensi histories ansih, melainkan dari dimensi agama kisah merupaka metode Tuhan dalam rangka menyampaikan ajaran yang terkandung di dalamnya. Bahkan Al-Qur`an juga memberi informasi terhadap kejadian-kejadian yang bakal terjadi, misalnya kemenangan bangsa Romawi atas bangsa Persia pada masa sekitar sembilan tahun sebelum peristiwa tersebut terjadi. Juga cerita tentang datangnya seekor binatang yang dapat bercakap-cakap menjelang hari kiyamat, yang terdapat dalam surat An-Naml 27: 82.27

Artinya : Dan apabila perkataan Telah jatuh atas mereka, kami keluarkan sejenis binatang melata dari bumi yang akan mengatakan kepada mereka, bahwa Sesungguhnya manusia dahulu tidak yakin kepada ayat-ayat Kami.

Manna’Kholil Khattan menyebutkan macam-macam kisah yang terdapat di Al-Qur`an. Pertama, kisah-kisah para Nabi dan segala hal yang menyangkut perjuangannya. Seperti Nabi Nuh AS, Ibrahim AS, Musa AS, Isa AS, Muhammad SAW. dan seterusnya. Kedua, kisah-kisah yang berhubungan dengan masa lulu dan orang-orang yang belum bias dipastikan kenabiaanya. Misalnya kisah beribu-ribu orang yang pergi dari kampungnya karena takut mati, kisah Talut dan Jalut, dua orang putra Adam, Ashaabul kahfi, Zulkarnain, ashaabul Sabt, Karun dan lain-lainnya. Ketiga, kisah yang berhubungan dengan peristiwa yang terjadi pada Nabi Muhammad SAW. seperti perang badar, prang uhud, perang Hunain, perang Ahzab, tentang Isra` dan Mi’raj dan lain-lain.28

Sementra diantara kritikus baik dari orientalis maupun oksidentalis ada yang meragukan. Salah satunya seperti yang dikutip Manna’Kholil Khattan, bahwa salah satu kandidat doctor di Mesir mengajukan judul Al Fannul Qasasiy fil Qur`an, yang intinya dalam disertasi tersebut menyatakan bahwa kisah-kisah dalam Al-Qur`an merupakan karya seni yang tunduk kepada daya cipta dan kreatifitas kaidah-kaidah seni, tanpa harus memegangi sisi kebenaran sejarah. Dari pernyataan ini jelas sekali bahwa ia meragukan kebenaran terhadap kisah-kisah dalam Al-Qur`an.29

Dalam Al-Qur`an surat Al-Hadid (57) :26 disebutkan:

Artinya : “Dan Sesungguhnya kami Telah mengutus Nuh dan Ibrahim dan kami jadikan kepada keturunan keduanya kenabian dan Al kitab, Maka di antara mereka ada yang menerima petunjuk dan banyak di antara mereka fasik”.

Barang kali kita merasa tertohok jika ada orang bertanya kapan dan dimana Nabi Nuh itu hidup adakah bukti-bukti secara empiris terhadap hal itu?. Untuk menelusuri pertanyaan ini kita dapat murujuk pada tradisi Islam yaitu Al-Qur`an-hadis dan sebagainya, tradisi Semitis yang meliputi injil, data arkeologis dan antropologis.

Al-Qur`an surat 11:44, mengisahkan bahwa perahu Nabi Nuh terdampar di gunung Judy. Maulana Yusuf menafsirkan, gunung Judy terletak di daerah yang meliputi distrik Bohran di Turki; yaitu dekat perbatasan Turki sekarang dan Irak dan Syiria. Yakni pegunungan besar Plateau Ararat yang mendomonasi distrik ini.

Dalam teradisi Islam dari Imam Abu al-Fida’ Al-Tadmuri (Mattewhs 1949) dapat disimpulkan bahwa sejarah Nabi Nuh AS mulai sekitar 6000 tahun yang lalu atau 4000 SM. Sementara daerah sekitar seperti ayat di atas di huni oleh penduduk lembah Trigis Hulu atau keturunan mereka. Di samping itu pertemuan tadisi Islam dan Injil menguatkan hal tersebut. Menurut Al-Tadmuri nabi Nuh mempunyai tiga putra yaitu Sam, Ham dan Yafat. Menurut tradisi Injil dan Yahudi putra Nabi Nuh adalah Shem, Ham dan Japhet. Sementara Kanaan masih polemic ada yang mengatakan termasuk putranya atau cucunya dari Ham, yang jelas masih keluarga Nabi Nuh.30

Para sarjan Yahudi percaya bahwa Sam adalah cikal-bakal kelompok ras yang umumnya sekarang disebut Timur Tengah. Ham dianggap sebagai nenek moyang oaring yang tinggal di Afrika Utara sedangkan kanaan sebagai asal-usul Canaanites yaitu Hittites, Amorites, Jebusites, Hivites, Girghasites dan Perrizites. Dan Yafat dianggap sebagai bapak dari bangsa yang mendiami daerah utara dan barat Palestina.

Keterangan yang mirip di tuturkan oleh Al-Tadmuri dalam bukunya Muthir Al-Gharam Fi Fadl Zuyarat Al-Khalili dengan mengutip riwayat At-Tha’labi bahwa Sam adalah bapak dari orang Arab, Parsi dan Yunani, Ham adalah bapaknya orang Negro dan Yafat adalah bapaknya orang Turki, Barbar dan Ya’juj dan Ma’juj.31

Dari perkawinan tradisi di atas nampak formasi kehidupan Nabi Nuh sekaligus mempertegas terhadap kisah yang ada dalam Al-Qur`an bukanlah mengada-ada. Meskipun dari sudut latar, setting, plot dan alur tidak jelas. Karena Al-Qur`an tidak hendak me-narasi-kan suatu peristiwa dengan pendekatan sastra. Dan menurut penulis eksistensinya Al-Qur`an sebagai satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan -terkait dengan masalah kisah-kisah ini- maka bila satu kisah sudah dapat dibuktikan secara empiris maka ini sekaligus membuktikan bahwa seluruh kisah dalam Al-Qur`an adalah benar dan non fiktif adanya.

 

6. Kemukjizatan Al-Qur`an dari aspek Tasyri’ (hukum)

Tak kalah menakjubkan lagi ketika Al-Qur`an berbicara tentang hukum(tasyri’) baik yang bersifat individu, sosial(pidana, perdata, ekonomi serta politik) dan ibadah. Sepanjang sejarah peradaban umat, manusia selalu berusaha membuat hukum-hukum yang mengatur sekaligus sebagai landasan hidup mereka dalam kehidupan mereka. Namun demikian hukum-hukum tersebut selalu direkonstruksi diamandement bahkan dihapuskan sesuai dengan tingkat kemajuan intelekstualitas dan kebutuhan dalam kehidupan sosial yang semakin kompleks. Perkara ini tak berlaku pada Al-Qur`an. Hukum-hukum Al-Qur`an selalu kontekstual berlaku sepanjang hayat, dimanapun dan kapanpun karena Al-Qur`an datang dari Zat yang Maha Adil lagi Bijaksana.

Dalam menetapkan hukum Al-Qur`an menggunakan cara-cara sebgai berikut; pertama, secara mujmal. Cara ini digunakan dalam banyak urusan ibadah yaitu dengan menerangkan pokok-pokok hukum saja. Demikian pula tentang mu’amalat badaniyah Al-Qur`an hanya mengungkapkan kaidah-kaidah secara kuliyah.sedangkang perinciannya diserahkan pada As-Sunah dan ijtihad para mujtahid. Kedua, hukum yang agak jelas dan terperinci. Misalnya hukum jihad, undang-undang peranghubungan umat Islam dengan umat lain, hukum tawanan dan rampasan perang. Seperti QS. At-Taubah 9:41. Ketiga, jelas dan terpeinci. Diantara hukum-hukum ini adalah masalah hutang-piutang QS. Al-Baqarah,2:282. Tentang makanan yang halal dan haram, QS. An-Nis` 4:29. Tentang sumpah, QS. An-Nahl 16:94. Tentang perintah memelihara kehormatan wanita, diantara QS. Al-Ahzab 33:59. dan perkawinan QS. An-Nisa` 4:22.32

Yang menarik diantara hukum-hukum tersebut adalah bagaimana Tuhan memformat setiap hukum atas dasar keadilan dan keseimbangan baik untuk jasmani dan rohani, individu maupun sosial sekaligus ketuhanan. Misalnya shalat yang hukumnya wajib bagi setiap muslim yang sudah aqil-balig dan tidak boleh ditinggalkan atau diganti dengan apapun. Dari segi gerakan banyak penelitian yang ternyata gerakan shalat sangat mempengaruhi saraf manusia, yang intinya kalau shalat dilakukan dengan benar dan khusuk (konsentrasi) maka dapat menetralisir dari segala penyakit yang terkait dengan saraf, kelumpuhan misalnya. Juga shalat yang kusuk merupakan bentuk meditasi yang luar biasa, sehingga apabila seseorang melakukan dengan baik maka jiwanya akan selamat dari goncangan-goncangan yang mengakibatbatkan sters hingga gila.

Dalam konteks sosial shalat mampu mencegah perbuatan keji dan mungkar seperti dalam QS. Al-‘Ankabut 29: 45,

Artinya :

45. Bacalah apa yang Telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan Dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.

yang kedua perbuatan tersebut merupakan biang kerok penyakit sosial. Semua bentuk kejahatan sosial seperti politik kotor, korupsi, kriminalitas pelecehan seksual yang semua itu disebabkan oleh nafsu (potensi) syaitoniyah dan shalat adalah obat mujarab untuk itu. Contoh lain misalnya Al-Qur`an Ali iIran 2:159 yang menanamkan sistem hukum sosial dengan berdasar pada azas musyawarah.

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah Lembut terhadap mereka. sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu[33]. Kemudian apabila kamu Telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.

Ayat diatas menganjurkan untuk menyelesaikan semua problem sosial dengan azaz musyawarah agar dapat memenuhi keadilan bersama dan tidak ada yang dirugikan. Nilai yang dapat diambil adalah bagaimana manusia harus mampu bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan kelompoknya, karena hasil keputusan dengan musyawarah adalah keputusan bersama. Dengan demikian keutuhan masyarakat tetap terjaga. Ayat selanjutnya apabila sudah sepakat dan saling bertanggung jawab maka bertawakkal kepada Allah. Hal ini mengindikasikan harus adanya kekuasaan mutlak yang menjadi sentral semua hukum dan sistem tata nilai manusia.

Demikianlah karakteristik sekaligus rahasia hukum-hukum Tuhan yang selalu menjaga keadilan dan keseimbangan baik individu, sosial dan ketuhanan yang tak mungkin manusia mampu menciptakan hukum secara kooperatif dan holistic. Oleh karena itu tak salah bila seorang Rasyid Rida -sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab- mengatakan dalam Al-Manarnya bahwa petunujuk Al-Qur`an dalam bidang akidah, metafisika, ahlak, dan hukum-hukum yang berkaitan dengan agama, sosial, politik dan ekonomi merupakan pengetahuan yang sangat tinggi nilainya. Dan jarang sekali yang dapat mencapai puncak dalam bidang-bidang tersebut kecuali mereka yang memusatkan diri secara penuh danmempelajarinya bertahun-tahun. Padahal sebagaimana maklum Muhammd sang pembawa hukum tersebut adalah seorang Ummy dan hidup pada kondisi dimana ilmu pengetahuan pada masa kegelapan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB IV  KESIMPULAN

 

Al-Quran turun selama 22 tahun 2 bulan 22 hari, dari 17 Ramazan tahun 41 dari kelahiran Nabi sampai 9 Zulhijjah Haji wada`tahun 63 dari kelahiran Nabi atau 10 H Al-Quran turun melalui tiga tahap  yaitu  Al Quran turun sekaligus dari Allah ke Lukh mahfudh, Al- Quran turun dari laukh mahfudh ke bait Al- izzah dan Al-Quran turun dari bait Al- izzah ke hati Nabi melalui perantara Jibril dengan berangsur-angsur, kadang satu ayat, dua ayat, bahkan satu surat

Berbagai metode penulisan Al Qur’an  dari masa ke masa dilakukan untuk menjaga keaslian Al Qur’an hingga akhir zaman.

Menanggapi masalah definisi mukjizat yang telah dihadirkan para ulama, penulis lebih cenderung pada makna “bukti”, hal ini didasarkan pada bahwa kata “mukjizat” tidak ditemukan dalam al-quran melainkan kata “ayat”. Bukti-bukti inilah yang luar biasa sehingga manusia khusunya masyarakat Arab ketika itu bertekuk lutut atau paling tidak sebenarnya mereka mengakuinya. Diantara bukti-bukti yang luar biasa tersebut adalah pada aspek kebahasaannya, isyarat-isyarat ilmiyah dan muatan hukum yang terkandung didalamnya.

Ditilik dari kebahasaan, Al-Qur`an mempunyai kandungan makna luar biasa baik yang dihasilkan dari pemilihan kata, kalimat dan hubungan antar keduanya, efek fonologi terhadap nada dan irama yang sangat berpengaruh terhadap jiwa penikmatanya atau efek fonologi terhadap makna yang ditimbulkan serta deviasi kalimat yang sarat makna. Ditambah lagi adanya keseimbangan redaksinya serta keseimbangan antara jumlah bilangan katanya. Sehingga tak heran bila Al-Qur`an menempatkan dirinya sebagai seambrek simbul yang sangat kominikatif lagi fenomenal.

Tak kalah serunya Al-Qur`an dilihat dari demensi ilmiyah. Bagaimana Al-Qur`an mendiskripsikan tentang reproduksi manusia, hal ihwal proses penciptaan alam beserta frora dan faunanya tentang awan peredaran matahari dan seterusnya yang semua itu dapat dibuktikan keabsahannya melalui kacamata ilmiyah, sehingga menujukkan bahwa Al-Qur`an sejalan dengan rasio dan akal manusia.

Adanya kisah-kisah misterius dalam Al-Qur`an, menempatkannya sebagai ajaran kehidupan yang mencakup total tata nilai mulai hulu peradaban umat manusia hingga hilirnya. Bahwa peristiwa-peristiwa tersebut sengaja dihadirkan oleh Tuhan agar manusia mampu menjadikannya sebagai ‘ibrah kehidupan. Ia merupakan sebuah metode yang dipilih Tuhan untuk menuangkan nilai yang terkandung didalamnya.

Keistimewaan Al-Qur`an yang paling esensi adalah petunjuk hukum secara kooperatif, komprehensif dan holistik baik yang berkenaan masalah akidah, agama, sosial, pilitik dan ekonomi yang secara umum bertolak pada azaz keadilan dan keseimbangan, baik secara jasmani dan rohani, dunia dan akhirat atau manusia sebagai indifidu, social masyarakat atau dengan Tuhannya. Demikianlah yang dapat penulis paparkan dan akhirnya wallahu ‘alam bish-shawab.

DAFTAR PUSTAKA

Rosihan Anwar. 2004. Ulumul Quran . Bandung : Pustaka Setia Al- Shalih Subhi. 1990.  Mabahis Fi Uluimil Quran . Jakarta: Tim Pustaka

Al-Qur`an Terjemah versi مجمع الملك المدينة المنورة 1418 H

Dekdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, hal 596, Balai Pustaka Jakarta, Cet. Ke II 1989

M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qur`an, Misan Bandung, cetakan V April 1999

Manna’ Khalil al_Qattan, Studi Ilmu Qur’an ( terjamahan dariمباحث في علوم القرآن ), Litera Antar Nusa dan Pustaka Ilmiyah, IKAPI Yogyakarta, cetakan V 1998

Prof. DR. H. Said Aqil Munawar, MA, Al-Qur`an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Ciputat Press Jakarta, Cetakan ke 2 Agustus 2002

Shihabuddin Qulyubi, Stilistika Al-Qur`an, Titan Ilahi Perrs yogyakarta cetakan 1 November 1997

M. Syahrur, al-Kitab wa Al-Qur`an (qiraatun mu’asharatun), Syarikah Al-matbuu’ah littauzii’ wa an-nasyr Beirut Libanon cetakan ke VI 2000.

Ahmad Ash Showy (et.al) Mukjizat Al-Qur`an dan As-Sunah tentang IPTEK, GP Jakarta cet. Ke IV 1999

1 M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Quran, Misan Bandung, cetakan V April 1999, hal 23

2 Dekdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, hal 596, Balai Pustaka Jakarta, Cet. Ke II 1989

3 M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Quran, Misan Bandung, cetakan V April 1999, hal 23

4 Manna’ Khalil al_Qattan, Studi Ilmu Qur’an ( terjamahan dariمباحث في علوم القرآن ), Litera Antar Nusa dan Pustaka Ilmiyah, IKAPI Yogyakarta, cetakan V 1998 hal. 371

5 M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Quran, Misan Bandung, cetakan V April 1999, hal. 24

6 Dalam Al-quran versi مجمع الملك المدينة المنورة diterjemahan . Padahal belum datang kepada mereka penjelasannya , hal ini mengandung arti bahwa sebenarnya akal manusia mampu menerima kebenaran atas ayat-ayat Allah khususnya yang terkait dengan al-quran sebagai mukjizat atas isi dan susunan bahasanya. Karena dalam hal ini bahwa keluarbiasaan tersebut berlaku di alam untuk manusia.

7 Manna’ Khalil al_Qattan, (Studi Ilmu Qur’anterjemahan dari مباحث في علوم القرآن ), Litera Antar Nusa dan Pustaka Ilmiyah, IKAPI Yogyakarta, cetakan V 1998 hal. 375

8 Prof. DR. H. Said Aqil Munawar, MA, Al-Quran Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Ciputat Press Jakarta, Cetakan ke 2 Agustus 2002, hal. 30

9 M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Quran, Misan Bandung, cetakan V April 1999, hal. 24

10 Lih. M. Syahrur dalam bukunya al-Kitab wa al-Quran (qiraatun mu’sharatun), Syarikah Al-matbuu’ah littauzii’ wa an-nasyr Beirut Libanon cetakan ke VI 2000. hal 179

11 M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Quran, Misan Bandung, cetakan V April 1999, hal. 36-37

12 Prof. DR. H. Said Aqil Munawar, MA, Al-Quran Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Ciputat Press Jakarta, Cetakan ke 2 Agustus 2002, hal. 31

13 M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Quran, Misan Bandung, cetakan V April 1999, hal. 90

14 Prof. DR. H. Said Aqil Munawar, MA, Al-Quran Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Ciputat Press Jakarta, Cetakan ke 2 Agustus 2002, hal. 33-34

15 Lihat Shihabuddin Qulyubi, Stilistika Al-Quran, Titan Ilahi Pers yogyakarta cetakan 1 November 1997, hal. 39-41

16 M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Quran, Misan Bandung, cetakan V April 1999, hal. 119

17 Shihabuddin Qulyubi, Stilistika Al-Quran, Titan Ilahi Perrs yogyakarta cetakan 1 November 1997, hal. 45-46

18 M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Quran, Misan Bandung, cetakan V April 1999, hal. 97

19 Shihabuddin Qulyubi, Stilistika Al-Quran, Titan Ilahi Perrs yogyakarta cetakan 1 November 1997, hal. 54

20 Ibid. hal. 60

21 M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Quran, Misan Bandung, cetakan V April 1999, hal. 141-142

22 Prof. DR. H. Said Aqil Munawar, MA, Al-Quran Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Ciputat Press Jakarta, Cetakan ke 2 Agustus 2002, hal. 35

23 Quraish Shihab, Mukjizat Al-Quran, Misan Bandung, cetakan V April 1999, hal. 166-170

24 Ibid. hal 171-172

25 Zaghul Raghib Muhammad Al Najar, Mukjizat Al-Qur`an dan As-Sunah tentang IPTEK, GP Jakarta cet. Ke IV 1999, hal 122

26 Ibid, hal. 180

27 Quraish Shihab, Mukjizat Al-Quran, Misan Bandung, cetakan V April 1999, hal. 194

28 Manna’ Khalil al_Qattan, (Studi Ilmu Qur’an مباحث في علوم القرآن terjemahan dari ), Litera Antar Nusa dan Pustaka Ilmiyah, IKAPI Yogyakarta, cetakan V 1998 hal. 436

29 Ibid, hal. 438-439

30 Zaghul Raghib Muhammad Al Najar, Mukjizat Al-Qur`an dan As-Sunah tentang IPTEK, GP Jakarta cet. Ke IV 1999, hal 67-68

31 Ibid. hal 68-69

32 Prof. DR. H. Said Aqil Munawar, MA, Al-Quran Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Ciputat Press Jakarta, Cetakan ke 2 Agustus 2002, hal. 49-52

33 Maksudnya urusan peperangan dan hal-hal duniawiyah lainnya, seperti urusan politik, ekonomi dan hal-hal kemasyarakatan lainnya. Terjemahan Al-quran versi مجمع الملك المدينة المنورة 1418. hal. 103

SEJARAH TURUN DAN PENULISAN AL-QURAN


SEJARAH TURUN DAN PENULISAN AL-QURAN

A. Pengertian Al-Quran
1. Pengertian Al-Quran Secara Etimologi ( Bahasa )
a. Al-Lihyani
Al- Quran merupakan nama bagi firman Allah yang diturunkan kepada Nabi kita Muhammada SAW.
b. Az-Zujaj
Al-Quran merupakan nama bagi firman Allah yang diturunkan kepada Nabi yang menghimpun surat-surat , dan kisah-kisah, juga perintah dan larangan atau menghimpun intisari kitab-kitab suci sebelumnya,
c. Al-asya`ri
Al-Quran adalah kumpulan yang terdiri atas ayat-ayat yangsaling menguatkan dan terdapat kepemimpinan antara ayat satu dengan ayat lainnya.
d. Al- Farra
Al-Quran dalah kumpulan yang terdiri atas ayat-ayat yang saling menguatkan dan dan terdapat klemiripan antara yang satu dengan yang lainnya
e. Pendapat Lain
Al-Quran adalah himpunan intisari kitab-kitab Allah yang lain bahkan seluruh ilmu yang ada
2. Pengertian Al-Quran Secara Terminologi ( istilah )
a. Al- Jurajani :
Al- Quran adalah kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw ditulis dalam mushaf dan diriwayatkan secara mutawatir tanpa keraguan
b. Manna al-Qatthan :
Al-Quran adalah kiatb ynag diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW dan orang yang membacanya akan memperoleh pahala
c. Abu Syahbah :
Al-Quran adalah kitab yang diturunkan baik lafaz atau makna kepada Nabi terakhir, diriwayatkan secara mutawatir (penuh kepastian dan keyakinan)
Ditulis pada mushaf dari surah Al- Fatihah sampai surah An-Nas.
d. Pakar Ushul Fiqh, dan Bahasa Arab :
Al-Quran adalah kitab yang diturunkan kepada Nabi Nya, lafaznya dengan mengandung mukjizat , membacannya mepunyai nilai ibadah, diturunkan secara mutawatir dan ditulis pada mushaf
3. Tujuan Al-Quran
a. Membersihkan akal dan menyucikan jiwa dari syirik dan memantapkan
b. Mengajarkan kemanusiaan yang adil dan beradap
c. Menciptakan persatuan dan kesatuan antar semesta
d. Berpikir dan bekerja sama
e. Membasmi kemiskinan lahir batin
f. Memadukan kebenaran dan keadilan
g. Menekankan peranan ilmu dan teknologi
h. Wawasan Al-Quran
B. Hikmah Di Wahyukan Al-Quran Seacara Berangsur- Angsur
Al-Quran turun selama 22 tahun 2 bulan 22 hari, dari 17 Ramazan tahun 41 dari kelahiran Nabi sampai 9 Zulhijjah Haji wada`tahun 63 dari kelahiran Nabi atau 10 H
Al-Quran turun melalui tiga tahap Yaitu:
 Al- Quran turun sekaligus dari Allah ke Lukh mahfudh
 Al- Quran turun dari laukh mahfudh ke bait Al- izzah (tempat yang berada dilangit dunia )
 Al-Quran turun dari bait Al- izzah ke hati Nabi melalui perantara Jibril dengan berangsur-angsur, kadang satu ayat, dua ayat, bahkaan satu surat
Hikmah Diturunkan Al-Quran Secara Berangsur-Angsur Yaitu :
a. Memantapkan Hati Nabi
b. Menentang dan melemahkan para penantang Al-Quran
c. Memudahkan untuk di hafal dan di pahami
d. Mengikuti setiap kejadian ( yang menyebabkan turunnya Al-Quran )
e. Membuktikan dengan pasti bahwa AL-Quran turun dari Allah yang Maha Bijaksana

C. PENULISAN AL-QURAN PADA MASA NABI
Pada masa Nabi wahyu yang diturnakan oleh Allah kepadanya tidak hanya di eksprersikan dalam betuk hafalan tapi juga dalam bentuk tulisan .
Sekretaris Pribadi Nabi yang bertugas mencatat wahyu yaitu Abu Bakar, Umar bin Kahtab, Khalid Bin Walid dan Mua`wiyah Bin Abi Sofyan. Mereka menggunakan alat tulis sederhana yaitu lontaran kayu, pelepah kurma., tulang-belulang, dan batu.
Factor yang mendorong penulisan Al-Quran pada masa Nabi yaitu :
1. Membukukan hafalan yang telah dilakukan oleh Nabi dan para Sahabat
2. Mempersentasikan wahyu dengan cara yang paling sempurna

D. PENULISAN AL-QURAN PADA MASA KHULAURRASYIDIN
Pada masa Khalifah Abu Bakar beliau memerintahkan untuk mengumpulkan wahyu-wahyu yang tersebar, kedalam satu mushaf, Usaha pengumpulan ini dilakukan setelah terjadi perang Yamamah pada 12 H yang telah menggugurkan nyawa70 orang penghafal Al-Quran .

Akibat dari kekhawatiran atas kelestarian Al-Quran , maka dipercayakan Zaid bin tsabit untuk mengumpulkan wahyu tersebut. Usaha pengumpulan tersebut selesai dalam waktu ± 1 tahun yaitu pada 13 H.

Kemudian pada masa khalifah Usman bin Affan terjadi perselisihan paham tentang perbedaan cara baca Al-Quran yang sudah berada pada titik yang menyebabkab umat islam saling menyalahkan yang pada akhirnya menyebabkan perselisihan . Akibat peristiwa tersebut , timbul lah inisiatif khaalifah Usman untuk mengumpulkan Al-Quran. Orang yang melakukan resensi Al-Quran adalah ; Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said bin Alsh dan Abdurrahman bin Al- Harish .
Dengan demikian suatu naskah absah Al-Quran yang disebut Mushaf Usmani telah diterapakan dan salinan nya di bagi beberapa wilayah utama daerah islam

E. PENYEMPURNAAN PENULISAN AL-QURAN SETELAH MASA KHALIFAH
Mushaf yang ditulis pada masa khalifah Usman tidak memiliki harakat dan tanda titik, sehingga orang non arab yang memeluk islam merasa kesulitan membaca mushaf tersebut
Oleh karena itu pada masa khalifah Abd Al-Malik ( 685-705 ) dilakukan penyempurnaan oleh dua tokoh berikut :
1. Ubaidilllah bin ziyad
Melebih kan Alif sebagai pengganti dari huruf yang di nuang
2. Al-Hajjad bin yusuf Ats- Tsaqafi
Penyempurnaan mushaf Usmani pada sebelas tempat yang memudahkan pembaca mushaf
Orang yang pertama kali meletakkan tanda titik pada mushaf Usmani ; Abu Al-Aswad Ad- Du`Ali , Yahya Bin Ya`Mar, Nashr Bin Asyim Al-Laits
Orang yang pertama kali meletakkan hamzah , tasdid, arrum dan Al-Isyamah adalah ; al-Khalid bin Ahmad Al- Farahidi Al-Azdi

Proses pencetakan Al-Quran
1. Pertama kali di cetak di Bundukiyyah pada 1530 M
2. Hinkalman pada masa 1694 M di Hamburg ( jerman )
3. Meracci pada 1698 M di paduoe
4. Maulaya Usman di sain Peter buorgh, Uni Sovyet ( Label Islami )
5. Terbit cetakan di Kazan
6. Iran pada 1248 H / 1828 kota Taheran
7. Ta`di Tabriz pada 1833
8. Ta`di leipez, Jerman pada 1834

F. RASM AL-QURAN , PENGERTIAN , PENDAPAT TENTANG RASM AL-QURAN DAN KAITAN RASM AL-QURAN DAN QIRAAT
1. Pengertian Rasm Al-Quran
Rasm Al-Quran adalah tata cara menuliskan Al-Quran yang di tetapkan pada masa khalifah Usman bin Affan . Istilah ini lahir bersamaan dengan mushaf
Usman para ulama menetapkan Rasm Al-Quran terbagi atas enam yaitu :
a. Al-Hadzf
Membuang atau menghilangkan atau menjadikan huruf
b. Al-Jiyadah
Penambahan
c. Al-Hamzah
d. Badal
Pergantian
e. Washal dan fashl ( Penyambungan dan pemisahan )
f. Kata yang dapat dibaca dua bunyi, penulisan kata tersebut disunatkan dengan salah satu bunyinya
2. Pendapat Para Ulama
a. Rasm Usmani bersifat tauqifi atau bukan merupakan Produk budaya manusia yang wajib di ikuti siapa saja ketika menulis Al-Quran
b. Menurut Al-Quran
Tidak ada satu riwayat pun dari Nabi yang dapat di jadikan alasan untuk menjadikan Rasm Usmani sebagai Tauqifi
c. Subhi shalih
Ia mengatakan ketika logisan Rasm Usmani apabila disebut tauqifi karena rasm Usmani baru lahir pada masa Usman
d. Rasm Usmani adalah kesepakatan cara baca penulisab yang disetujui Usman dan diterima umat, sehinmgga wajib di ikuti dan di taati siapa pun ketika menulis Al-Quran
e. Tidak ada halangan untuk menyalahkan nya tatkala suatu generasi sepakat menggunakan cara tertentu untuk menulis Al-Quran

A. KAITAN RASM AL-QURAN DENGAN QIRAAT
Keberadaan rasm Usmani yang telah ber harakat dan bentuk itu ternyata masih membuka peluang untuk membaca nya dengan berbagai Qiraat terbukti dengan keragaman cara membacan Al-Quran seperti qiraat tujuh sepuluh dan qiraat empat belas.

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Al-Quran adalah kalam Allah yang di turunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang menghimpun surat-surat, kisah-kisah, Perintah serta larangan , atau menghimpun intisari kitab-kitab sebelumnya yang merupakan pedoman dan penerang bagi umat sedunia
Al-Quran di turunkan secara berangsur- angsur mempunyai hikmah tersendiri yang antara lain adalah memantapkan hati Nabi dan menentang serta melemahkan para penantang Al-Quran . Orang yang menulis Al-Quran pada masa Nabi adalah Abu Bakar, Usman , Umar, Ali, Abban bin Said , Khalid bin Al-Walid Mu`awiyah bin Abi Sofyan
Orang menulis al-Quran pada masa Khulafaurrasyidin adalah Zaid bin stabit, Abdullah bin Zuabir, Sa`id bin Ash, dan Abdurrahman bin al-Harist.

Rasm al-quran adalah tata cara penulisan Al-Quran yang ditetapkan pada masa khalifah Usman bin Affan

DAFTAR PUSTAKA

Rosihon Anwar. 2004. ulumul Quran . Bandung : pustaka setia Al- Shalih Subhi.1990. mabahis fi uluimil quran . jakarta: Tim Pustaka