PENANGANAN TRAUMA PASCA BANJIR


PENANGANAN TRAUMA PASCA BANJIR

 

  1. LATAR BELAKANG

Pada tanggal 25 Oktober 2010 Indonesia kembali diguncang bencana, gempa berkekuatan 7,2 skala Richter dan diikuti oleh tsunami menerpa Kepulauan Mentawai. Pada hari berikutnya, Gunung Merapi di dekat Yogyakarta meletus. Bencana ini menyebabkan banyak korban tewas dan terluka. Belum lagi banjir bandang  menimpa banyak kota di Indonesia termasuk Wasior di Papua. Bencana demi bencana kini menimpa Indonesia. Kerugian harta benda akibat disapu banjir, gempa, bahkan tsunami, tak terhitung lagi nilainya. Tidak hanya itu, peristiwa bencanapun memberikan dampak sangat besar bagi kondisi psikologis yang mengalaminya.

Aspek Psikologis erat kaitannya dengan proses kehilangan, tidak hanya fisik: kehilangan barang milik, kehilangan orang yang dikasihi tetapi juga sosial: kehilangan aktivitas, kehilangan ikatan kekeluargaaan dan lain-sebagainya. Mengingat dampak psikologis bencana sangat besar dalam arti jumlah mereka yang mengalami dampak besar namun jumlah profesional kesehatan mental terbatas (jumlah psikolog klinis dan psikiater sedikit). Belum lagi proses penanganan aspek psikologis bencana tidak singkat melainkan merupakan proses yang relatif panjang. Sehingga perlu dirancang sebuah strategi penanganan bencana untuk mengatasi masalah psikologis yang berkelanjutan dengan menggunakan suatu system teknologi modern.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian pesat dalam bidang pendidikan dan kesehatan termasuk pelayanan keperawatan telah mendorong terciptanya suatu model pelayanan keperawatan jarak jauh yang lebih dikenal dengan nama telenursing. Telenursing berarti pemberian perawatan secara berkelajutan untuk klien dan biasanya pada mereka dalam kondisi kronik (Hardin, 2001). Telenursing meliputi pengumpulan data klinik pasien dan penggunaan video-imaging untuk memberikan perawatan berkelanjutan dan edukasi pada klien.

 

 

Sistem ini memungkinkan perawat memberikan informasi dan waktu secara akurat dan dukungan secara online. Perawatan yang berkelanjutan dapat ditingkatkan dengan memberikan harapan melalui kontak dengan frekuensi yang sering antara pemberi asuhan perawatan dengan klien.

 

Menurut penelitian yang dilakukan Bohnenkam, et al (2002), bahwa pasien yang menerima perawatan dengan menggunakan telenursing mengatakan bahwa pengetahuan mereka meningkat dan merasa lebih nyaman dengan yang disarankan oleh perawat. Selain itu pengunaan system ini lebih mudah di akses dan mereka umumnya lebih menyukai telenursing daripada harus menunggu untuk kunjungan face to face. Tetapi mereka masih percaya bahwa face to face adalah yang terbaik (http://www.pubmed.gov).

 

  1. TINJAUAN TEORI
    1. 1.      Definisi Telenursing
      1. Menurut National Council of State Boards of Nursing, telenursing is defined as the practice of nursing over distance using telecommunications technology (http://www.allhealthnet.com/nursing/telenursing/).
      2. Telenursing adalah upaya penggunaan teknologi informasi dalam memberikan pelayanan keperawatan dalam bagian pelayanan kesehatan dimana ada jarak secara fisik yang jauh antara perawat dan klien atau antara beberapa perawat.
      3. Telenursing adalah pemberian servis dan perawatan oleh perawat dengan menggunakan telekomunikasi, meningkatkan akses untuk tindakan keperawatan kepada pasien pada lokasi yang jauh atau perpencil.
  2. Aplikasi Telenursing

Sistem telenursing merupakan sistem yang berbasis internet di desain untuk membantu klien belajar cara memanage kondisi mereka. Sistem arsitektur ditunjukkan pada gambar 1. Database server yang berlokasi di regional university health care centre, berfungsi untuk mengumpulkan dan meneruskan dan memenuhi autorisasi klien, perawat dan dokter memasuki dan melihat informasi pada website, ditunjukkan pada gambar 2. Subcentre kesehatan dengan staffnya adalah seorang perawat professional yang mengetahui tentang teknik telekomunikasi. Perawat ini secara regular mengunjungi klien yang terdaftar dan juga memberikan perawatan berkelanjutan melalui system telenursing.

 

Sistem ini mempunyai tiga jenis informasi. Pertama e-mail dari pasien yang melaporkan kondisi kesehatan meliputi masalah fisik dan psikologis serta terapi yang telah dilakukan. Kedua meliputi data vital sign: monitoring tekanan darah secara regular, nadi dan temperature. Ketiga adalah video-mail, yang meningkatkan evaluasi pasien. Klien mengakses informasi kesehatan pada website. Informasi kemudian dikumpulkan pada regional health-care centre untuk kemudian dijadikan acuan dalam membuat rencana tindak lanjut terapi.

 

E-mail

Klien dapat mengisi pada lembar pertanyaan tentang kesehatan. Mereka dapat memberikan score pada status kesehatan mereka saat ini dengan visual analogue scale dari 1 (excellent) sampai 5 (poor), ini menjadi dasar pada pemberi perawatan untuk mengkaji dan merespon kebutuhan perawatan kesehatan kien.

Vital sign data

Tekanan darah, denyut nadi dan temperatur dapat diukur oleh pasien. Data tanda vital diketik oleh klien. Sebagai tambahan finger plethysmography dapat ditunjukkan dan non linier time waveform dianalisis sebagai indicator status kesehatan.

 

Video-mail

Video-mail dapat direkam menggunakan USB yang disambung ke PC camera dan Windows Moviemaker. Panjangnya perekaman tergantung pada informasi yang dibutuhkan untuk dikirim. Penggunaan video-mail membantu menyampaikan informasi nonverbal seperti perubahan ekspresi dan penampilan yang sulit untuk di jelaskan dengan kata-kata.

 

  1. Riset tentang Telenursing

Sebuah study RCT (randomized controlled trial) dengan menggunakan telepon untuk intervensi keperawatan yang bertujuan untuk menurunkan ansietas pada klien yang menjalani operasi bypass pertama kali dan untuk caregiver mereka. Intervensi terdiri dari seri protokol yang dilakukan oleh perawat. Dilakukan melalui telepon pada saat discharge dan pada hari 1,2, 4, 7 dan minggu kedua dan 7 postdischarge. Tiga hal utama yang menjadi perhatian klien: fisik, afektif, perubahan gaya hidup. Kecemasan menjadi perhatian yang umum pada hari 1. Sebaliknya perhatian fisik mendominasi selama minggu pertama. Perawat spesialis dapat memberikan informasi promosi kesehatan secara personal pada saat ini yang sesuai untuk masing-masing individu (Hartford K. (2005).

 

Penelitian yang dilakukan Jerant (2003) membandingkan 3 model nursing care post-hospitalisasi untuk menurunkan CHF (Congestive Heart Failure) readmission charge selama 180 hari follow up. Subjek menerima kunjungan personal pada baseline dan 60 hari plus 1 dari 3 modalitas care (a). video-based home telecare (b) telepon call dan (c) usual care. CHF related readmission charge >80% menurun pada kelompok telenursing dibandingkan usual care dan kelompok ini juga secara signifikan lebih kecil dalam hal CHF related kunjungan emergensi. Pada kunjungan personal 3 kali lebih panjang daripada kunjungan telenursing (p<0.0001) hanya sebagian berhubungan dengan waktu kunjungan. Kepatuhan pasien self-care, medikasi, status kesehatan dan kepuasan tidak signifikan diantara kelompok. Telenursing dapat menurunkan hospitalisasi CHF dan meningkatkan frekuensi komunikasi pada pasien.

 

  1. Keuntungan

Penggunaan teknologi telenursing dalam pemberian pelayanan asuhan keperawatan memberikan beberapa keuntungan, antara lain:

  1. Efektif dan efisiensi dari sisi biaya kesehatan.

Organisasi The Kaisar Permanente melaporkan pertama kali penelitian dengan randomized controlled trial tentang home videophones. Subjek adalah klien yang didiagnosis dengan kondisi kronik yang dirawat dirumah. Klien dalam kelompok intervensi dilengkapi dengan home videophones dirumah dan stetoskop elektronik dan monitor tekanan darah digital. Hasil dari studi ini, didapatkan rata-rata biaya perawatan dalam kelompok yang menerima telemedicine berkurang 27% daripada perawatan pada kelompok control (http://www.bmj.com).

  • Dengan sumber daya minimal dapat meningkatkan cakupan dan jangkauan pelayanan keperawatan tanpa batas geografis.

In Iceland, with its widely dispersed population, a telephone based nursing  intervention to support mothers with difficult infants reduced fatigue and distress ( Thome&Adler, 1999). Telehealth technologies have the potential not only to reduce costs of care, but also to improve access to care, facilitate patient-provider communications, and remove barriers of time and distance. However, much of the nursing world is not prepared to use telehealth and information technologies in healthcare delivery (Ball, 2000).

  • Dapat mengurangi jumlah kunjungan dan masa hari rawat di rumah sakit

In Denmark, where nurses working in an outpatient clinic for people with back problems maintained regular telephone contact with patients, the number of hospital admissions and ‘bed days’ was reduced by half  (WHO, 1999). Sedangkan In the United States almost 46% of the on-site nursing visits could reasonably be replaced by Telenursing (Agency for Health Care Research and Quality, 2000).

  • Dapat meningkatkan pelayanan untuk klien

Studi yang dilakukan oleh Kawaguchi, et al (2004) didapatkan hasil bahwa komunikasi kesehatan tiap hari dengan pasien penyakit kronis yang membutuhkan self-management (diabetes) sangat penting dari perspektif klinik. Telenursing dapat memfasilitasi hubungan ini.

  • Dapat dimanfaatkan dalam bidang pendidikan keperawatan (model distance learning) dan perkembangan riset keperawatan berbasis informatika kesehatan. Telenursing dapat juga digunakan dikampus dengan video conference, pembelajaran online dan Multimedia Distance Learning.

 

  1. PEMBAHASAN

Praktik telenursing memperlihatkan banyak kesempatam dalam meningkatkan akses keperawatan. Sistem ini sangat cocok untuk diterapkan di Indonesia mengingat letak geografisnya yang luas dan rawan terjadi bencana. Sejauh ini praktik telenursing banyak diterapkan dalam memberikan perawatan fisik. Namun demikian, system ini juga dapat diterapkan dalam mengatasi masalah psikologis, misalnya pada daerah yang mengami bencana alam. Bencana dapat menimbulkan trauma psikologis yang tidak dapat ditangani dalam waktu yang singkat serta, sementara akses untuk menjangkau wilayah bencana sering kali mengalami banyak hambatan, sementara korban memerlukan penanganan segera sedangkan jumlah tenaga kesehatan yang tersedia tidak cukup memadai untuk dapat menjangkau secara seluruh.  Kondisi ini dapat diatasi dengan menerapkan metode telenursing untuk ketercapaian dan kesinambungan terapi.

 

Meskipun sistem ini sangat membantu dalam memberikan pelayanan kesehatan khususnya dalam kondisi bencana, namun praktik telenursing tidak terlepas dari isu legalitas. Bahwasanya hubungan perawat klien tidak dapat digantikan dengan teknologi. Tetapi pemberian asuhan keperawatan tanpa sentuhan langsung dari tangan perawat atau menggunakan komunikasi teleconference, menurut penulis dapat dikatakan sebagai asuhan keperawatan yang legal. Karena dalam sistem telenursing, perawat menggunakan pengetahuan, ketrampilan, pertimbangan dan pemikiran kritis yang yang tidak bisa dipisahkan dari ilmu keperawatan. Definisi legal ilmu perawatan hampir selalu meliputi 1) Penggunaan ilmu perawatan pendidikan, 2) Pemikiran kritis, dan 3) Pengambilan keputusan. Jadi jelas bahwa telenursing merupakan bentuk asuhan keperawatan yang legal.

Dalam memberikan asuhan keperawatan secara jarak jauh maka diperlukan kebijakan umum dari pemerintah untuk mengatur praktek, SOP/standar operasional prosedur, etik dan profesionalisme, keamanan, kerahasiaan pasien dan jaminan informasi yang diberikan. Kegiatan telenursing membutuhkan integrasi antara startegi dan kebijakan untuk mengembangkan praktek keperawatan, penyediaan pelayanan asuhan keperawatan, dan sistem pendidikan serta pelatihan keperawatan.

Untuk dapat diaplikasikan maka ada beberapa hal yang perlu menjadi perhatian :

 

1.   Faktor legalitas

Dapat didefinisikan sebagai otononi profesi keperawatan atau institusi keperawatan yang mempunyai tanggung jawab dalam pelaksanaan telenursing.

2.   Faktor financial

Pelaksanaan telenursing membutuhkan biaya yang cukup besar karena sarana dan prasaranya sangat banyak. Perlu dukungan dari pemerintah dan organisasi profesi dalam penyediaan aspek financial dalam pelaksanaan telenursing.

3.   Faktor Skill

Ada dua aspek yang perlu diperhatikan, yaitu pengetahuan dan skill tentang telenursing. Perawat dan klien perlu dilakukan pelatihan tentang aplikasi telenursing. Terlaksananya telenursing sangat tergantung dari aspek pengetahuan dan skill antara klien dan perawat. Pengetahuan tentang telenursing harus didasari oleh pengetahuan tehnologi informasi.

4.   Faktor Motivasi

Motivasi perawat dan pasien menjadi prioritas utama dalam pelaksanaan telenursing. Tanpa ada motivasi dari perawat dan pasien, telenursing tidak akan bisa berjalan dengan baik.

Perawat memiliki komitmen menyeluruh tentang perlunya mempertahankan privasi dan kerahasiaan pasien sesuai kode etik keperawatan. Beberapa hal terkait dengan isu ini, yang secara fundamental mesti dilakukan dalam penerapan tehnologi dalam bidang kesehatan dalam merawat pasien adalah :

  1. Jaminan kerahasiaan dan jaminan pelayanan dari informasi kesehatan yang diberikan harus tetap terjaga
  2. Pasien yang mendapatkan intervensi melalui telehealth harus diinformasikan potensial resiko (seperti keterbatasan jaminan kerahasiaan informasi, melalui internet atau telepon) dan keuntungannya
  3. Diseminasi data pasien seperti identifikasi pasien (suara, gambar) dapat dikontrol dengan membuat informed consent (pernyataan persetujuan) lewat email
  4. Individu yang menyalahgunakan kerahasiaan, keamanan dan peraturan dan penyalah gunaan informasi dapat dikenakan hukuman/legal aspek.

Pelaksanaan telenursing di Indonesia masih belum berjalan dengan baik disebabkan oleh karena keterbatasan sumberdaya manusia, keterbatasan sarana dan prasarana serta kurangnya dukungan pelaksanaan telenursing dari pemerintah. Untuk mensiasati keterbatasan pelaksanaan telenursing bisa dimulai dengan peralatan yang sederhana seperti pesawat telepon yang sudah banyak dimiliki oleh masyarakat tetapi masih belum banyak dimanfaatkan untuk kepentingan pelayanan kesehatan atau pelayanan keperawatan.

 

  1. KESIMPULAN

Telenursing merupakan alat yang digunakan untuk memberikan asuhan keperawatan jarak jauh terutama pada pada penangan masalah psikologis pasca bencana alam. Penggunaan telenursing terbukti bermanfaat baik dalam hal jangkauan wilayah, efektifitas waktu, efisiensi biaya, dan penyelesaian masalah keterbatasan tenaga pemberi pelayanan. Praktik telenursing tidak lepas dari isu seputar legal aspek, yang harus disikapi secara bijaksana dengan melibatkan peranserta pemerintah sebagai pembuat kebijakan.

 

REFERENSI

 

Agency for Health Care Research and Quality.  (2000).  The Characteristics of Long-Term Care Users.  Rockville, M.D:  AHRQ

 

American Nurses association. (1996). Telehealth-Issues for Nursing. Dalam http://ana.org/readroom/tele2.htm. Diperoleh tanggal 28 Oktober 2010.

 

Ball. (2000). A Study of Home Telenursing. Dalam http://www.nursingworld.org/ojin. Diperoleh tanggal 28 Oktober 2010.

 

Bohnenkam, et al. (2002). Telenursing on Patient’s Perspcetive. Dalam http://www.pubmed.gov. Diperoleh tanggal 28 Oktober 2010.

 

Hardin S. (2001). Telehealth’s Impact on Nursing and Development of the Interstate Compact. Dalam www.proquest.umi/pqdweb. Diperoleh tanggal 30 Oktober 2010.

 

 

Jerant, AF. (2003). A randomized Trial of Telenursing to Reduce Hospitalization for Heart failure: Patient-Centered Outcomes and Nursing Indicators. Dalam www.hawortpress.com/store/research.asp. Diperoleh tanggal 30 Oktober 2010.

 

National Council.  (1997). The National Council of Boards of Nursing Position Paper on Telenursing: A Challenge to Regulation. Dalam http://www.en.wikipedia.org.wiki. Diperoleh tanggal 30 Oktober 2010.

 

The Kaisar Permanente Organization. (2000). Telephone Nursing: Evidence of Client and Organizational Benefits. Dalam http://www.bmj.com. Diperoleh tanggal 30 Oktober 2010.

 

Sumber—-http://pkko.fik.ui.ac.id/files/TUGAS%20SIM%20KEKSI.doc