BENTUK-BENTUK MANAJEMEN SATUAN PENDIDIKAN KEAGAMAAN ISLAM
A. PENDAHULUAN
Dalam perspektif historis, Indonesia merupakan sebuah negeri muslim yang unik, letaknya sangat jauh dari pusat lahimya Islam (Mekkah). Meskipun Islam baru masuk ke Indonesia pada abad ke tujuh, dunia internasional mengakui bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Hal ini merupakan salah satu indikator keberhasilan Pendidikan Agama Islam di Indonesia.
Lembaga Pendidikan Agama Islam pertama didirikan di Indonesia adalah dalam bentuk pesantren (Sarijo, 1980; Dhofier, 1982). Dengan karakternya yang khas “religius oriented”, pesantren telah mampu meletakkan dasar-dasar pendidikan keagamaan yang kuat. Para santri tidak hanya dibekali pemahaman tentang ajaran Islam tetapi juga kemampuan untuk menyebarkan dan mempertahankan Islam.
Masuknya model pendidikan sekolah membawa dampak yang kurang menguntungkan bagi umat Islam saat itu, yang mengarah pada lahirnya dikotomi ilmu agama (Islam) dan ilmu sekuler (ilmu umum dan ilmu sekuler Kristen). Dualisme model pendidikan yang konfrontatif tersebut telah mengilhami munculnya gerakan reformasi dalam pendidikan pada awal abad dua puluh. Gerakan reformasi tersebut bertujuan mengakomodasi sistem pendidikan sekolah ke dalam lingkungan pesantren (Toha dan Mu’thi, 1998). Corak model pendidikan ini dengan cepat menyebar tidak hanya di pelosok pulau Jawa tetapi juga di luar pulau Jawa. Dari situlah madrasah lahir.
Sedangkan, Menurut Rahim (2001 : 28), pesantren merupakan sebuah lembaga pendidikan tertua yang melekat dalam perjalanan kehidupan Indonesia sejak ratusan tahun yang silam, ia adalah lembaga pendidikan yang dapat dikategorikan sebagai lembaga unik dan punya karakteristik tersendiri yang khas, sehingga saat ini menunjukkan kapabilitasnya yang cemerlang melewati berbagai episode zaman dengan pluralitas polemik yang dihadapinya. Bahkan dalam perjalanan sejarahnya, pesantren telah banyak memberikan andil dan kontribusi yang sangat besar dalam ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa dan memberikan pencerahan terhadap masyarakat serta dapat menghasilkan komunitas intelektual yang setaraf dengan sekolah gubernemen.
Dari uraian tersebut dapat dirumuskan beberapa masalah yaitu : (1) apa saja bentuk-bentuk manajemen pendidikan satuan keagamaan Islam? (2) bagaimana perbedaan manajemen dari masing-masing bentuk satuan keagamaan Islam tersebut?
B. PEMBAHASAN
1.1 . Latar belakang Kehadiran MBS
Salah satu permasalahan pendidikan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah pendidikan adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan menengah. Berbagai usaha telah dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, misalnya pengembangan kurikulum nasional, misalnya pengembangan kurikulum nasional dan local, peningkatan kompetensi guru melalui berbagai pelatihan; pengadaan buku dan alat pelajaran; pengadaan dan perbaikan sarana dan prasarana pendidikan; serta peningkatan mutu manajemen sekolah.
Namun demikian, berbagai indikator mutu pendidikan belum menunjukkan peningkatan yang berarti. Sebagian sekolah, terutama dikota-kota menunjukkan peningkatan mutu pendidikan yang cukup baik. Namun sebagian lagi masih memprihatinkan, apalagi sekolah-sekolah yang berada didaerah-daerah terpencil, masih jauh dari apa yang diharapkan.
Upaya desentralisasi atau otonomi pendidikan pada dasarnya telah lama diperjuangkan oleh masyarakat pendidikan. Persoalannya, system sentralisasi dirasa sudah tidak relevan untuk konteks Indonesia yang plural, budaya beragam, masyarakat yang heterogen dan kompleks. Oleh karena itu, otonomi pendidikan merupakan sebuah keharusan jika menginginkan pendikan Indonesia yang maju dan berkualitas.
MBS merupakan salah satu model manajemen pendidikan yang berbasis pada otonomi atau kemandirian sekolah dan aparat daerah dalam menentukan arah, kebijakan serta jalannya pendidikan didaerah masing-masing. Oleh karena itu, keberhasilan dalam pelaksanaan MBS sangat ditentukan oleh perwujudan kemandirian manajemen pendidikan pada tingkat kabupaten dan kota. Disamping itu, MBS juga merupakan model pengelolaan pendidikan yang menjadikan sekolah sebagai poros pengambilan keputusan.
Model MBS ini pada dasarnya sudah banyak diterapkan dinegara maju sejak tahun 1970-an dan 1980-an (Braddy, 1992). Namun baru diadaptasi secara resmi di Indonesia sekitar tahun Tahun 1999 oleh Departemen Pendidikan Nasional dengan proyek perintisan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS).
Konsep Manajemen Berbasis Sekolah
Secara konseptual ada beberapa istilah yang berkaitan dengan Manajemen berbasis sekolah (MBS), diantaranya school based management atau school based decision making and management. Konsep dasar MBS adalah mengalihkan pengambilan keputusan dari pusat, kanwil, kandep, dinas ke level sekolah (Samani, 1999:6). Mulyasa (2004:11) mengutip pendapat bank dunia (1999) memberi pengertian bahwa MBS merupakan bentuk alternatif sekolah dalam program desentralisasi di bidang pendidikan, yang ditandai oleh otonomi luas ditingkat sekolah, partisipasi masyarakat, dan dalam kerangka kebijakan pendidikan nasioanal.
Definisi yang lebih luas tentang MBS dikemukakan oleh Wohlstetter dan Mohrman (1996), yaitu sebuah pendekatan politis untuk mendesain ulang organisasi sekolah dengan memberikan kewenangan dan kekuasaan kepada partisipan sekolah pada tingkat lokal guna memajukan sekolahnya. Partisipan lokal sekolah tak lain adalah sekolah, guru, konselor, pengembang kurikulum, administrator, orang tua siswa, masyarakat sekitar dan siswa.
Istilah school based management atau selanjutnya dikenal dengan MBS tersebut, mula-mula muncul di Amerika Serikat pada tahun 1970-an sebagai alternatif untuk mereformasi pengelolaan pendidikan atau sekolah. Reformasi itu diperlukan karena kinerja sekolah selama puluhan tahun tidak dapat menunjukkan peningkatan yang berarti dalam memenuhi tuntutan perubahan lingkungan sekolah (Nurkholis,2003:2).
MBS memberikan kebebasan dan kekuasaan yang besar pada sekolah, disertai seperangkat tanggung jawab. Dengan adanya pengalihan kewenangan pengambilan keputusan ke level sekolah, maka sekolah diharapkan lebih mandiri dan mampu menentukan arah pengembangan yang sesuai dengan kondisi dan tuntunan lingkungan masyarakatnya. Atau dengan kata lain, sekolah harus mampu mengembangkan program yang relevan dengan kebutuhan masyarakat.
MBS berpotensi menawarkan partisipasi masyarakat, pemerataan, efisiensi, serta manajemen yang bertumpu pada tingkat sekolah. MBS berfungsi untuk menjamin bahwa semakin rendahnya kontrol pemerintah pusat, tetapi semakin meningkatnya otonomi sekolah untuk menentukan sendiri apa yang perlu diajarkan dan mengelola sumber daya yang ada disekolah untuk berinovasi dan berimprovisasi. Dalam konteks ini, menurut Makmun (1999:15) ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu (1) gaya kepemimpinan yang dianut harus bersifat demokratis, berjiwa lugas, dan terbuka; (2) budaya dan iklim keorganisasian yang sehat sehingga setiap anggotanya dapat mengekspresikan pandangan dan pendiriannya secara lugas, dan (3) menjunjung tinggi prinsip profesionalisme di lingkungan kerja yang bersangkutan.
Kehadiran MBS di Indonesia dilatarbelakangi oleh fakta yang menunjukkan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia sangat rendah. Itulah yang melatarbelakangi dicetuskannya MBS, sebagai salah satu bentuk manajemen yang dapat mengembangkan mutu pendidikan. Bentuk-bentuk manajemen dalam satuan pendidikan keagamaan Islam meliputi : madrasah pendidikan, pondok pesantren, perguruan tinggi, dsb.
1.2. Bentuk-bentuk manajemen satuan pendidikan keagamaan Islam
Dalam satuan pendidikan keagamaan juga terdapat bentuk-bentuk manajemennya sebagai upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan dalam lembaga tersebut, diantaranya:
1. Madrasah
Standar administrasi dan manajemen madrasah meliputi: (a) perencanaan madrasah, (b) implementasi manajemen madrasah, (c) kepemimpinan madrasah, (d) pengawasan, dan (e) administrasi madrasah.
a) Perencanaan Madrasah
Madrasah memiliki perencanaan strategis dengan rumusan arah (visi dan misi) dan tujuan yang jelas dan dipahami oleh setiap warga madrasah, yang digunakan sebagai acuan bagi pengembangan rencana operasional dan program madrasah. Madrasah memiliki rencana yang akan dicapai dalam jangka panjang (rencana strategis) yang dijadikan acuan dalam rencana operasional. Dalam rencana ini wawasan masa depan (visi) dijadikan panduan bagi rumusan misi madrasah.
Dengan kata lain, wawasan masa depan atau visi madrasah adalah gambaran masa depan yang dicita-citakan oleh madrasah. Adapun misi madrasah adalah tindakan untuk merealisasikan visi. Visi dan misi dijadikan acuan dalam merumuskan tujuan madrasah, dan hasil yang diharapkan oleh madrasah. Kegiatan madrasah dilakukan berdasarkan tujuan madrasah yang dirumuskan secara jelas. Kriteria utama mutu perencanaan madrasah adalah sejauhmana warga madrasah memahami dan menyadari visi, misi dan tujuan madrasah dan sejauhmana tujuan itu dicapai. Tujuan yang dirumuskan berdasarkan visi dan misi madrasah ini selanjutnya dijadikan acuan dalam penyusunan rencana operasional tahunan yang bersifat lebih rinci.
b) Implementasi Manajemen Madrasah
Madrasah menerapkan manajemen berbasis madrasah yang ditunjukkan dengan kemandirian, kemitnian, partisipasi, semangat kebersamaan. tanggung jawab, keterbukaan (transparansi), keluwesan (fleksibilitas), akuntabilitas, dan keberlangsungan.
Manajemen madrasah adalah pengelolaan madrasah yang dilakukan dengan dan melalui sumber daya untuk mencapai tujuan madrasah secara efektif dan efisien. Dua hal yang merupakan inti dari manajemen madrasah adalah aspek dan fungsi. Manajemen dipandang sebagai aspek meliputi kurikulum, tenaga atau sumberdaya manusia, peserta didik, sarana dan prasarana, dana, dan hubungan masyarakat. Manajemen dipandang sebagai fungsi meliputi pengambilan keputusan, perumusan tujuan, perencanaan, pengorganisasian, pengaturan ketenagaan, pengkomunikasian, pelaksanaan, pengkoordinasian, supervisi, dan pengendalian.
Manajemen Tenaga Kependidikan atau sumber daya manusia
Madrasah memiliki tenaga kependidikan profesional yang jumlahnya memadai, dengan kualifikasi, kompetensi, dan tingkat kesesuaian berdasarkan peraturan yang berliiku. Tenaga kependidikan madrasah adalah mereka yang berkualifikasi sebagai pendidik dan pengelola pendidikan. Pendidik bertugas merencanakan, melaksanakan, dan menilai serta mengembangkan proses pembelajaran.
Tenaga kependidikan meliputi guru, konselor, kepala madrasah dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya. Secara umum, tenaga kependidikan madrasah bertugas melaksanakan perencanaan, pembelajaran, pembimbingan, pelatihan, pengelolaan, penilaian, pengawasan, pelayanan teknis dan kepustakaan, penelitian dan pengembangan hal-hal praktis yang diperlukan untuk meningkatkan mutu proses pembelajaran. Tenaga kependidikan merupakan jiwa madrasah dan madrasah hanyalah merupakan wadahnya. Karena itu, tenaga kependidikan merupakan kunci bagi suksesnya pengembangan madrasah.
Madrasah memiliki: (1) tenaga kependidikan yang cukup jumlahnya; (2)- kualifikasi dan kompetensi yang memadai sesuai dengan tingkat pendidikan yang ditugaskan; (3) tingkat kesesuaian dalam arti kemampuan yang dimiliki oleh tenaga kependidikan sesuai dengan bidang kerja yang ditugaskan; dan (4) kesanggupan kerja yang tinggi.
Setiap tenaga kependidikan berkewajiban: (1) menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya; (2) melaksanakan tugas kependidikan yang menjadi tanggungjawabnya; dan (3) meningkatkan kemampuan profesional yang meliputi kemampuan intelektual, integritas kepribadian dan interaksi sosial baik di lingkungan kerja maupun di masyarakat. Madrasah memberikan kondisi dan mendorong bagi pengembangan tenaga kependidikan. Sebagai konsekuensi dari kewajiban yang dipikulnya, maka tenaga kependidikan berhak memperolch perlindungan hukum, pengembangan diri, penghasilan yang layak, penghargaan yang sesuai, dan kesempatan untuk menggunakan sumber daya madrasah untuk menunjang kelancaran tugasnya.
Manajemen Sarana dan Prasarana
Madrasah menyediakan sarana dan prusarana yang memungkinkan tercapainya tujuan madrasah dan tuntutan pedagogik yang diperlukan untuk menjamin terselenggaranya proses pendidikan yang bermakna, menyenangkan, dan memberdayakan sesuai luntutan karakteristik mata pelajaran, pertumbuhan dan perkembangan afektif, kognitif, psikomotor peserta didik.
Madrasah menyediakan sarana dan prasarana yang diperlukan untuk menyelenggarakan program pendidikan. Penyediaan sarana dan prasarana yang memenuhi tuntutan pedagogik diperlukan untuk menjamin terselenggaranya proses pendidikan yang ben-nakna, menyenangkan, dan memberdayakan sesuai karakteristik mata pelajaran dan tuntutan pertumbuhan dan perkembangan afektif, kognitif, psikomotor .peserta didik
Madrasah memiliki sarana dan prasarana yang meliputi gedung, ruang pimpinan, ruang tata usaha, ruang kelas, laboratorium, perpustakaan, pusat sumber pembelajaran, ruang praktek, media pembelajaran, bahan/material, sarana pendidikan jasmani dan olahraga tempal beribadah, tempat bermain, tempat berkreasi dan rekreasi, fasilitas kesehatan dan keselamatan bagi peserta didik dan penyelenggara pendidikan, dan sarana serta prasarana lain sesuai tuntutan program-program pendidikan yang diselenggarakan oleh madrasah.
Ketersediaan, kesiapan, dan penggunaan sarana dan prasarana merupakan hal penting bagi penyelenggaraan pendidikan di madrasah. Namun hal yang lebih penting lagi adalah pemanfaatan sarana dan prasarana tersebut untuk proses belajar mengajar. Secara periodik, sarana dan prasarana madrasah perlu dievaluasi secara sistematis sesuai dengan tuntutan kurikulum, guru. dan peserta didik. Pengadaan sarana dan prasarana madrasah sesuai dengan prinsip kecukupan, relevansi, dan daya guna, serta berpegang pada esensi manajemen berbasis madrasah.
Manajemen Peserta Didik
Standar peserta didik mencakup: (a) penerimaan, pengembangan, dan pembinaan peserta didik, serta (b) keluaran.
Penerimaan dan Pengembangan Peserta didik
Penerimaan peserta didik didasarkan atas kriteria yang jelas, transparan dan akuntabel. Peserta didik memiliki tingkat kesiapan belajar yang memadai, baik mental maupun fisik. Madrasah memiliki program yang jelas tentang pembinuan, pengembangan, dan pembimbingan peserta didik. Madrasah memheri kesempatan yang luas kepada peserta didik untnk berperansertu dalam penyelenggaraan program madrasah. Madrasah melakukan evuluasi kemajuan dan hasil belajar peserta didik yang memenuhi kaidah evaluasi yang baik.
Peserta didik adalah warga masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran pada satuan pendidikan tertentu. Peserta didik mei-upakan salah satu masukan yang sangat menentukan bagi berlangsungnya proses pembelajaran. Namun demikian prestasi belajar yang dicapai oleh peserta didik pada dasamya merupakan upaya kolektifantara peserta didik dan guru.
Berkaitan dengan peserta didik, ada enam hal yang harus diperhatikan oleh madrasah yaitu penerimaan peserta didik baru, penyiapan belajar peserta didik, pembinaan dan pengembangan, pembimbingan, pemberian kesempatan, dan evaluasi hasil belajar peserta didik. Penerimaan peserta didik dilakukan dengan memperhatikan karakteristik calon peserta didik agar layanan pendidikan dapat dilakukan sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik peserta didik. Penyiapan belajar peserta didik, baik mental maupun fisik, merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh pada mutu proses pembelajaran. Makin tinggi tingkat kesiapan peserta didik, makin tinggi pula mutu pembelajaran. Pembinaan dan pengembangan peserta didik yang meliputi aspek intelektual, spiritual, emosi, dan afektif merupakan tugas penting madrasah.
Pemberian kesempatan kepada peserta didik dalam berbagai program madrasah seperti misalnya pengembangan kepemimpinan peserta didik, pengembangan kurikulum, pengambilan keputusan, dan perencanaan rekreasi, merupakan contoh pemberian kesempatan kepada peserta didik. Yang tidak kalah penting dalam kaitannya dengan peserta didik adalah evaluasi kemajuan dan hasil belajar peserta didik. Evaluasi hasil belajar peserta didik sangat diperlukan untuk mendapatkan informasi mengenai tingkat pencapaian peserta didik. Hasil evaluasi, dimanfaatkan untuk melakukan perbaikan (remedial) agar tujuan pembelajaran tercapai dengan baik.
Madrasah menghasilkan keluaran yang memadai dalam prestasi akademik dan prestasi non akademik seperti olah raga. kesenian, keagamaan, keterampilan kejuruan, dan sebagainya.
Keluaran madrasah mencakup output dan outcome. Output madrasah adalah hasil belajar yang merefleksikan seberapa baik peserta didik memperoleh pengalaman bermakna dalam proses pembelajaran. Hasil belajar harus mengekspresikan tiga unsur kompetensi, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor.
Mengingat hasil belajar merupakan peleburan ketiga unsur kemampuan tersebut yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor, maka hasil belajar dapat dikelompokkan kembali menjadi prestasi akademik, prestasi non-akademik, angka mengulang, dan angka putus madrasah dan persentase kelulusan pada ujian akhir. Prestasi akademik meliputi antara lain hasil ujian, lomba karya ilmiah, lomba Fisika, Matematika, dan Bahasa Inggris. Prestasi non-akademik meliputi, antara lain, karakteristik pribadi, prestasi olah raga, prestasi kesenian, dan prestasi kepramukaan.
Outcome adalah dampak jangka panjang dari hasil belajar, baik dampak bagi tamatan maupun bagi masyarakat. Outcome memiliki dua komponen, yaitu: (1) kesempatan pendidikan dan kesempatan kerja, dan (2) pengembangan diri lulusan.. Madrasah yang baik memberikan banyak kesempatan kepada lulusannya untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang berikutnya dan kesempatan untuk memilih pekerjaan. Madrasah yang baik juga membekali kecakapan lulusannya untuk mengembangkan diri dalam kehidupan. Pengembangan diri yang dimaksud adalah pertumbuhan intelektualitas yang dihasilkan dari proses pembelajaran di madrasah.
Madrasah memiliki kepedulian terhadap nasib lulusannya. Kepedulian tersebut diwujudkan dalam bentuk penelusuran, atau pelacakan terhadap lulusannya. Penelusuran ini memiliki manfaat ganda yaitu, selain peduli terhadap lulusannya, juga untuk mencari umpan balik bagi perbaikan program di madrasahnya sehingga mutu dan relevansi program madrasah dapat ditingkatkan.
Dengan konsep manajemen madrasah yang meliputi aspek dan fungsi seperti tersebut di atas, maka manajemen madrasah meliputi semua fungsi yang diterapkan pada semua aspek madrasah. Artinya, madrasah menerapkan pengambilan keputusan, perumusan tujuan, perencanaan, pengorganisasian, pengaturan ketenagaan, pengkomunikasian, pelaksanaan, pengkoordinasian, supervisi, dan pengendalian pada semua aspek madrasah yang terdiri dari kurikulum, tenaga atau sumberdaya manusia, peserta didik,sarana dan prasarana, dana, dan hubungan masyarakat.
Mengingat perubahan terletak pada inisiatif dan komitmen dari para tenaga kependidikan yang bekerja di madrasah, maka manajemen madrasah yang dimaksud adalah manajemen berpusat pada madrasah atau yang dikenal dengan manajemen berbasis madrasah (MBM). MBM adalah suatu model manajemen yang bertolak dari kemampuan, kesanggupan, dan kebutuhan madrasah, bukan perintah dan petunjuk dari lapisan birokrasi atasan, dengan catatan bahwa apa yang dilakukan oleh madrasah harus tetap dalam lingkup kebijakan pendidikan nasional. Oleh karena itu, MBM membolehkan adanya keragaman dalam pengelolaan madrasah yang didasarkan atas kekhasan dan kemandirian madrasah itu sendiri. Dalam MBM, semua kegiatan harus dikaitkan dengan tujuan yang akan dicapai oleh madrasah (peningkatan mutu, produktivitas, efektivitas, efisiensi, relevansi, dan inovasi) dan dilakukan menurut prinsip-prinsip MBM, yang antara lain. meliputi kemandirian, kemitraan, partisipasi, semangat kebersamaan, tanggungjawab, keterbukaan, keluwesan, akuntabilitas, dan keberlanjutan.
Mengingat MBM berprinsip pada partisipasi masyarakat dalam menyelenggaraan pendidikan. maka pclibatan masyarakat melalui wadah yang disebut Komite Madrasah atau sejenisnya merupakan upaya yang harus dilakukan oleh madrasah. Tingkat partisipasi masyarakat dapat dilihat dari besar kecilnya dukungan mereka terhadap madrasah, baik berupa finansial, moral, jasa (pemikiran, keterampilan), dan barang atau benda. Mengingat prinsip-prinsip MBM tersebut, maka seorang kepala madrasah harus memiliki sifat-sifat sebagai manajer profesional.
c) Kepemimpinan
Kepala madrasah menerapkan pola kepemimpinan yang terbuka dan melakukan pendelegasian tugas dengan baik. Guru dan tenaga lainnya di madrasah memiliki kesempatan untuk mengembangkan diri. Kepemimpinan kepala madrasah bersifat visioner dan transformatif.
Manajemen memfokuskan diri pada madrasah sebagai sistem di mana kepemimpinan menekankan pada orang sebagai jiwanya. Kepala madrasah berperan sebagai manajer dan pemimpin sekaligus. Tugas dan fungsi manajer adalah mengelola para pelaksananya dengan sejumlah masukan (input) manajemen seperti tugas dan fungsi, kebijakan, rencana, program, aturan main, serta pengendalian agar madrasah sebagai sistem mampu berkembang. Sedang tugas dan fungsi pemimpin adalah memimpin warga madrasah agar posisi mereka sebagai jiwa dari madrasah benar-benar sehat, cerdas, dan dinamis. Kepala madrasah sebagai manajer berurusan dengan sistem dan sebagai pemimpin berurusan dengan tanggung jawab tentang pelaksanaan tugas dari orang-orang yang dipimpinnya.
d) Pengawasan
Pimpinan madrasah melaksanakan pengawasan secara terencana dan berkala sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pengawasan (supervisi) merupakan salah satu fungsi penting dalam manajemen madrasah. Dalam pelaksanaan pengawasan ini terkandung pula fungsi pemantauan yang diarahkan untuk melihat apakah semua kegiatan berjalan lancar dan semua sumber daya dimanfaatkan secara optimal, efektif dan efisien. Pengawasan dan monitoring dilakukan secara berkala dan tepat sasaran sehingga hasilnya dapat digunakan untuk melakukan perbaikan.
e) Administrasi Madrasah
Madrasah melaksanakan administmsi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Penyelenggaraan madrasah akan berjalan lancar jika didukung oleh administrasi yang efisien dan efektif. Madrasah yang administrasinya kurang efisien dan kurang efektif akan mengalami hambatan dalam penyelenggaraan program madrasah. Secara umum, administrasi madrasah dapat diartikan sebagai upaya pengaturan dan pendayagunaan seluruh sumber daya madrasah dalam penyelenggaraan pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan di madrasah secara optimal. Adapun sumber daya madrasah yang dimaksud adalah sumber daya manusia dan sumber daya lainnya (dana, peralatan, perlengkapan, bahan, dan sebagainya).
Menurut lingkupnya, administrasi madrasah meliputi administrasi hasil belajar, proses pembelajaran, kurikulum, ketenagaan, peserta didik, sarana dan prasarana, keuangan, serta hubungan madrasah dengan masyarakat. Madrasah mengadministrasi semua kegiatan pada masing-masing lingkup; administrasi tersebut secara rinci dan jelas.
2. Pondok Pesantren
Visi dan Misi Pendidikan Pondok Pesantren
Dunia pesantren adalah dunia yang mewarisi dan memelihara kontinuitas tradisi islam yang dikembangkan ulama dari masa kemasa, dan hal tersebut tidak terbatas pada periode tertentu dalam sejarah islam, Karenanya tidak sulit bagi dunia pesantren untuk melakukan readjustment terhadap berbagai perubahan yang terjadi. Maka itu kemampuan pesantren untuk tetap survive dalam setiap perubahan, bukan sekedar karena karakteristiknya yang khas, tetapi juga karena kemampuannya dalam melakukan adjustment dan readjustment.
Terdapat berbagai visi, misi, karakter dan kecenderungan baru yang terus berkembang dinamis dalam pesantren yang membuatnya tetap dan terus survive dan bahkan berpotensi besar sebagai salah satu alternatif ideal bagi masyarakat transformatif, lebih lebih ditengah pengapnya sistem pendidikan nasional yang kurang mencerdaskan dan cenderung memunculkan ketergantungan yang terus menerus. Visi dan kecenderungan tersebut antara lain :
Pertama, karakternya yang khas dan tidak dimiliki oleh lembaga pendidikan lainnya, yakni mengakar kuat di masyarakat dan berdiri kokoh sebagai menara air (bukan menara api). Menurut Nur Cholis Madjid, pesantren selain identik dengan makna keislaman juga mengandung makna keaslian indonesia. Sebagai indigenous, Pesantren selain memiliki lingkungan, juga menjadi milik lingkungannya. antara pesantren dengan lingkungannya ibarat setali mata uang, atau harimau dan rimbanya yang satu sama lain mempunyai relasi yang erat bersifat simbiotik dan organik. Karena itu posisi pesantren bagi masyarakatnya sering digambarkan seperti pada Qs. Ibrahim : 24 – 25. Laksana pohon yang baik, akarnya kokoh dan rantingnya menjulang kelangit, pohon itu memberi buah setiap musim dengan izin Allah Swt.
Kedua, Di Pesantren terdapat prinsip yang disebut Panca Jiwa, yakni berupa keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, ukuwah islamiyah dan kebebasan (Subahar, 2002 : 5) Menurut Subahar, Hakekat pendidikan pesantren sebenarnya terletak pada pembinaan jiwa ini, bukan pada yang lain, karenanya hasil pendidikan di Pesantren akan mencetak jiwa yang kokoh yang sangat menentukan falsafah hidup santri dihari kemudian, artinya, mereka tidak sekedar siap pakai tetapi yang lebih penting adalah siap hidup. Prinsip inilah yang menjadikan pesantren tetap survive dan terus menjadi oase bagi masyarakat dalam perubahan yang bagaimanapun.
Ketiga, Adanya hubungan lintas sektoral yang akrab antara santri dengan kyai. Artinya Kyai bagi santri tidak sekedar guru Ta’lim, tetapi juga sebagai guru ta’dzib dan guru tarbiyah. Dia tidak sekedar menyampaikan informasi keislaman, tetapi juga menyalakan etos Islam dalam setiap jiwa santri dan bahkan mengantarkannya pada taqarrub ilalloh. Karena itu hubungan kyai dengan santri tidak sekedar bersifat fisikal, tetapi lebih jauh juga bersifat batiniyah.
Keempat, Model pengasramahan. Di pesantren , terdapat istilah santri mukim, dimana santri diasramakan dalam satu tempat yang sama. Dimaksudkan selain menjadikan suasana tidak ada perbedaan antara anak orang kaya atau orang miskin. Juga sang kyai dapat memantau langsung perkembangan keilmuan santri, dan yang lebih penting adalah diterapkannya pola pendampingan untuk melatih pola prilaku dan kepribadian para santri. Selain itu, pola pengasramahan memungkinkan santri melatih kemampuan bersosial dan bermasyarakat, sehingga akan cepat beradaptasi ketika mereka terjun pada kehidupan masyarakat yang sesungguhnya.
Kelima, Fleksibel terhadap berbagai perubahan yang terjadi. Menurut Hadi Mulyo, Salah satu faktor yang menjadikan pesantren tetap eksis dan bahkan menjadi alternatif prospektif dimasa yang akan datang, karena ia mempunyai karakter membuka diri terhadap berbagai perubahan yang terjadi dalam kehidupan riil, dikalangan pesantren terkenal slogan “Almuhafadatu ala al qodim as soleh wal ajdu bil jahidil aslah” . (1995 : 99)
Namun demikian, tidak berarti pesantren sebagai lembaga pendidikan terbebas dari berbagai kelemahan, Para pakar pendidikan mencatat beberapa kelemahan mendasar, antara lain :
1. Di Pesantren belum banyak yang mampu merumuskan visi, misi dan tujuan pendidikannya secara sistimatik yang tertuang dalam program kerja yang jelas. Sehingga tahapan pencapaian tujuannya juga cenderung bersifat alamiyah.
2. System kepeminpinan sentralistik yang tidak sepenuhnya hilang, sehingga acapkali mengganggu lancarnya mekanisme kerja kolektif, padahal banyak perubahan yang tidak mungkin tertangani oleh satu orang.
3. Dalam merespon perubahan cenderung sangat lamban, konsep “Almuhafadatu ala al qodim as soleh wal ajdu bil jadidil aslah” selalu ditempatkan pada posisi bagaimana benang tak terputus dan tepung tak terserak, padahal ibarat orang naik tangga, ketika salah satu kaki meninggalkan tangga yang bawah, kaki satunya melayang layang diudara, bisa jadi terpeleset atau jatuh, itu resiko, bila takut menghadapi resiko, dia tidak akan pernah beranjak dari tangga terbawah.
4. Sistem pengajarannya kurang efesien, demokratis dan variatif, sehingga cepat memunculkan kejenuhan pada peserta didik. dsb.
Meskipun perjalanan pesantren terus mengalami fluktuasi perubahan, pada dataran praktis pesantren tetap memiliki fungsi-fungsi sebagai: (1) Lembaga pendidikan yang melakukan transferi lmu-ilmu agama (tafaqquh fi al-din) dan nilai-nilai Islam (Islamic values), (2) Lembaga keagamaan yang melakukan kontrol sosial (social control), dan (3) Lembaga keagamaan yang melakukan rekayasa sosial (social engineering)
Dalam perkembangan selanjutnya bentuk-bentuk pendidikan di pesantren ini, kini sangat bervariasi, yang dapat diklasifikasikan sedikitnya menjadi lima tipe, yakni : (1) Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan formal yang menerapkan kurikulum nasional, baik yang hanya memiliki sekolah keagamaan (MI, MTs, MA dan PT Agama Islam) maupun yang juga memiliki sekolah umum (SD, SLTP, SMU, SMK, dan Perguruan Tinggi Umum), seperti pesantren Tebu Ireng Jombang (2) Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan dalam bentuk madrasah dan mengajarkan ilmu-ilmu umum meski tidak menerapkan kurikulum nasional, seperti pesantren Gontor Ponorogo (3) Pesantren yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama dalam bentuk madrasah diniyah, seperti pesantren Salafiyah Langitan Tuban, (4) Pesantren yang hanya sekedar menjadi tempat pengajian (majlis ta’lim), dan (5) Kini mulai berkembang pula nama pesantren untuk asrama anak-anak pelajar sekolah umum dan mahasiswa.
Kurikulum Pendidikan Pondok Pesantren
Kurikulum pendidikan di pesantren saat ini tidak sekedar fokus pada kita kitab klasik (baca : ilmu agama), tetapi juga memasukkan semakin banyak mata pelajaran dan keterampilan umum, di Pesantren saat ini dikhotomi ilmu mulai tidak populer , beberapa pesantren bahkan mendirikan lembaga pendidikan umum yang berada dibawah DIKNAS, Misalnya Undar Jombang, Pondok pesantren Iftitahul Muallimin Ciwaringin Jawa barat, dll.
Perkembangan yang begitu pesat dalam ilmu pengetahuan dan tehnologi, menyebabkan pengertian kurikulum selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu, namun demikian satu hal yang permanen disepakati bahwa Istilah kurikulum berasal dari bahasa Yunani, semula populer dalam bidang olah raga, yaitu Curere yang berarti jarak terjauh yang harus ditempuh dalam olahraga lari mulai start hingga finish. Kemudian dalam konteks pendidikan, kurikulum diartikan sebagai “circle of instruction” yaitu suatu lingkaran pengajaran dimana guru dan murid terlibat didalamnya.
Dalam bahasa Arab Menurut Omar Muhammad (1979 : 478), term kurikulum dikenal dengan term manhaj, yakni jalan terang yang dilalui manusia dalam hidupanya. Dalam konteks pendidikan kurikulum diartikan sebagai jalan terang yang dilalui oleh pendidik dan peserta didik untuk menggabungkan pengetahuan, ketampilan, sikap dan seperangkat nilai.
Dalam konteks pendidikan di pesantren, Nurcholis Madjid mengatakan yang dikutip oleh Abdurrahman Mas’ud dkk, bahwa istilah kurikulum tidak terkenal di dunia pesantren (masa pra kemerdekaan), walaupun sebenarnya materi pendidikan sudah ada di dalam pesantren, terutama pada praktek pengajaran bimbingan rohani dan latihan kecakapan dalam kehidupan di pesantren. Secara eksplisit pesantren tidak merumuskan dasar dan tujuan pesantren atau mengaplikasikannya dalam bentuk kurikulum. (2002:85)
Dewasa ini pesantren dihadapkan pada banyak tantangan, termasuk di dalamnya modernisasi pendidikan Islam. Dalam banyak hal sistem dan kelembagaan pesantren telah dimodernisasi, serta disesuaikan dengan tuntutan pembangunan, terutama dalam aspek-aspek kelembagaan sehingga secara otomatis akan mempengaruhi ketetapan kurikulum.
Berdasarkan pendapat di atas, bahwa kurikulum pada dasarnya merupakan seperangkat perencanaan dan media untuk mengantarkan lembaga pendidikan dalam mewujudkan lembaga pendidikan yang diidamkan. Pesantren dalam aspek kelembagaannya, mulai mengembangkan diri dengan jenis dan corak pendidikannya yang bermacam-macam. Seperti Pesantren Tebuireng Jombang yang di dalamnya telah berkembang madrasah, sekolah umum, sampai perguruan tinggi yang dalam proses pencapaian tujuan institusional selalu menggunakan kurikulum. Tetapi pesantren yang mengikuti pola salafi (tradisional), mungkin kurikulum belum dimasukkan secara baik.
Maka dari pada itu kurikulum pondok pesantren tradisional statusnya cuma sebagai lembaga pendidikan non formal yang hanya mempelajari kitab-kitab klasik. Meliputi : nahwu, sorrof, belaghoh, tauhid, tafsir, hadist, mantik, tasawwuf, bahasa arab, fiqih, ushul fiqh dan akhlak. Dengan demikian pelaksanaan kurikulum pendidikan pesantren ini berdasarkan kemudahan dan kompleksitas ilmu atau masalah yang dibahas dalam kitab. Jadi ada tingkat awal, menengah, dan lanjutan.
Jenjang pendidikan dalam pesantren tidak dibatasi seperti dalam lembaga-lembaga pendidikan yang memakai sistem klasikal. Umumnya, kenaikan tingkat seorang santri didasarkan kepada isi mata pelajaran tertentu yang ditandai dengan tamat dan bergantinya kitab yang dipelajarinya.
Apabila seorang santri telah mengusai satu kitab atau beberpa kitab dan telah lulus ujian yang diuji oleh Kiainya, maka ia berpindah kepada kitab lain yang lebih tinggi tingkatannya. Jelasnya, penjenjangan pendidikan pesantren tidak berdasarkan usia tetapi berdasarkan penguasaan kitab-kitab yang telah ditetapkan dari paling rendah sampai paling tinggi.
Sebagai konsekuensi dari cara penjenjangan di atas, pendidikan pesantren biasanya menyediakan beberapa cabang ilmu atau bidang-bidang khusus yang merupakan fokus masing-masing pesantren untuk dapat menarik minat para santri menuntut ilmu di dalamnya. Biasanya keunikan pendidikan sebuah pesantren telah diketahui oleh calon santri yang ingin mondok. (Sulthon dan Ridho, 2006: 159-160)
Kurikulum Pendidikan pesantren, menurut Hasan (2001 : 6 ) paling tidak memiliki beberapa komponen, antara lain : tujuan, isi pengetahuan dan pengalaman belajar, strategi dan evaluasi. Biasanya komponen tujuan tersebut terbagi dalam beberapa tingkatan, yakni tujuan pendidikan nasional, tujuan institusional, tujuan kurekuler dan tujuan instruksional. Namun demikian berbagai tingkat tujuan tersebut satu sama lainnya merupakan suatu kesatuan yang tak terpisahkan.
Komponen isi meliputi pencapaian target yang jelas, materi standart, standart hasil belajar siswa, dan prosedur pelaksanaan pembelajaran. kepribadian. Komponen strategi tergambar dari cara yang ditempuh di dalam melaksanakan pengajaran, cara di dalam mengadakan penilaian, cara dalam melaksanakan bimbingan dan penyuluhan dan cara mengatur kegiatan sekolah secara keseluruhan. Cara dalam melaksanakan pengajaran mencakup cara yang berlaku dalam menyajikan tiap bidang studi, termasuk cara mengajar dan alat pelajaran yang digunakan.
3. Perguruan tinggi
Menurut, H. Bashir Barthos tujuan pendidikan tinggi dibagi menjadi dua yaitu :
a) Menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan professional yang dapat menerapkan, mengenbangkan dan menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi dan kesenian.
b) Mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan teknologi dan kesenian serta mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional.
Penyelenggaraan pendidikan tinggi dilaksanakan atas dasar kurikulum yang disusun oleh masing-masing perguruan tinggi sesuai dengan sasaran program studi. Perguruan tinggi dapat mengembangkan kurikulum dengan berpedoman pada kurikulum yang berlaku secara nasional. Kurikulum yang berlaku secara nasional diatur oleh Menteri Pendidikan dan kebudayaan.
Organisasi Universitas dan Institut
Organisasi Universitas dan Instituit terdiri dari :
1) Unsur Pimpinan : Rektor dan pembantu rector
2) Senat Universitas atau Institut
3) Unsur pelaksana akademik : fakultas, lembaga penelitian, dan lembaga pengabdian kepada masyarakat.
4) Unsure pelaksanaan administrasi; biro
5) Unsur penunjang; unit pelaksana teknis.
Tenaga kependidikan
Jenis tenaga kependidikan di perguruan tinggi terdiri atas dosen dan tenaga penunjang akademik. Dosen adalah seseorang yang berdasarkan pendidikan dan keahliannya diangkat oleh penyelenggara perguruan tinggi dengan tugas utama mengajar pada perguruan tinggi yang bersangkutan. Pemerintah dapat memberi bantuan kepada perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat dalam bentuk dosen tetap yang dipekerjakan pada perguruan yang bersangkutan.
Mahasiswa dan alumni
Untuk menjadi mahasiswa seseorang harus :
a) Memiliki surat tanda tamat Belajar Pendidikan Menengah Atas.
b) Memiliki kemampuan yang disyaratkan oleh perguruan Tinggi yang bersangkutan.
Sarana dan Prasarana
Pengelolaan sarana dan Prasarana yang diperoleh dengan dana yang berasal dari pemerintah yang diselenggarakan berdasarkan ketentuan yang berlaku bagi pengelolaan kekayaan milik Negara. pengelolaan sarana dan prasarana yang diperoleh dengan dana yang berasal dari masyarakat dan pihak luar negeri yang di luar penggunaan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara diatur dengan persetujuan Senat perguruan tinggi yang bersangkutan. Taata cara pendayagunaan sarana dan prasarana untuk memperoleh dana guna menunjang pelaksanaan tugas dan fungsi perguruan tinggi, diatur pimpinan perguruan tinggi yang bersangkutan dengan persetujuan Senat.
Pembiayaan perguruan tinggi
Pembiayaan perguruan tinggi dapat diperoleh dari sumber pemerintah, masyarakat dan pihak luar negeri. Penggunaan dana yang berasal dari pemerintah baik dalam bentuk anggaran rutin maupun anggaran pembangunan diatur sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Dana yang diperoleh dari masyarakat adalah perolehan dana perguruan tinggi yang berasal dari sumber-sumber sebagai berikut:
a. Sumbangan Pembinaan Pendidikan
b. Biaya seleksi ujian masuk Perguruan Tinggi.
c. Hasil kontrak kerja, meliputi kegiatan penelitian, konsultasi, dll.
d. Hasil penjualan produk yang peroleh dari perguruan tinggi.
e. Sumbangan dari perorangan atau baik lembaga pemerintah dan non pemerintah.
f. Penerimaan dari masyarakat lainnya.
Untuk mencapai tujuan PTAI maka dibutuhkan manajemen pendidikan yang profesional. Ciri-ciri bentuk manajemen seperti itu adalah adanya sifat-sifat amanah, visioner, inovasi, dan efisiensi, di kalangan pengelola khususnya di kalangan manajemen puncak. Selain itu program-programnya harus sesuai dengan kebutuhan agama, perkembangan IPTEKS, kebutuhan bangsa, dan dinamika khalayak. Secara operasional, sekurang-kurangnya ada tiga dimensi manajemen profesional yang dapat dijabarkan:
(1) Perencanaan strategis berisikan hasil analisis swot yang kemudian digunakan untuk merumuskan visi, misi, tujuan dan strategi kebijakan perguruan tinggi jangka menengah dan panjang. Perlu secara jelas diuraikan paradigma pendidikan tinggi yang dianut, peran dalam pembangunan, relevansi dan mutu pembelajaran dan lulusan, peluang pemerataan pendidikan, dan kebijakan anggaran pembelajaran dan organisasi. Sasaran program hendaknya berorientasi ke depan; dalam hal pengembangan metode pembelajaran, sumber daya manusia, kurikulum, riset dan pemberdayaan masyarakat, dan kajian-kajian keislaman yang kontekstual dengan didukung struktur organisasi yang efisien dan fasilitas yang cukup.
(2) Manajemen kepemimpinan yang amanah. Selain itu dibutuhkan pemimpin yang visioner, keteladanan terpuji, ketrampilan konseptual, integritas akademik tinggi, integritas keorganisasian dan pengelolaan (ketrampilan manajerial) yang adil tanpa membeda-bedakan asal usul latar belakang status organisasi dari dosen kecuali pada kualitasnya. Dengan kata lain dibutuhkan seseorang yang memliki kepemimpinan integratif.
(3) Manajemen Sumberdaya Manusia Strategis (MSDM). Data dari DIKTI, Departemen Agama, menunjukkan persebaran rasio jumlah mahasiswa terhadap jumlah dosen pada tahun 2003 antar PTAI menunjukkan ketimpangan. Di sisi lain secara total, kebutuhan penambahan dosen tetap cukup besar yakni sekitar 4000 orang. Dengan demikian rekrutmen dosen secara selektif dan proporsional perlu segera dilakukan oleh Departemen Agama. Disamping itu untuk menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu cepat dan meningkatnya kebutuhan pasar akan alumni yang bermutu, maka pengembangan SDM para dosen PTAI lewat pendidikan pascasarjana tidak bisa ditunda-tunda lagi.
C. Kesimpulan
Manajemen Berbasis Sekolah merupakan suatu alat untuk meningkatkan dan mengembangkan mutu pendidikan di Indonesia yang rendah, yang dapat disalurkan melalui satuan pendidikan keagamaan Islam dengan menggunakan kemandirian manajemen dari masing-masing lembaga tersebut.
Manajemen madrasah adalah pengelolaan madrasah yang dilakukan dan melalui sumber daya untuk mencapai tujuan madrasah secara efektif dan efisien. Mempunyai manajemen, dari segi aspek yaitu kurikulum, tenaga atau sumberdaya manusia, peserta didik, sarana dan prasarana, dana, dan hubungan masyarakat. Sedangkan pesantren, Menurut Nur Cholis Madjid, pesantren selain identik dengan makna keislaman juga mengandung makna keaslian Indonesia yang sekarang telah mengalami modernisasi pendidikan Islam. Kemudian untuk mencapai tujuan PTAI maka dibutuhkan manajemen pendidikan yang professional yaitu ; (1) Perencanaan strategis (2) Manajemen kepemimpinan yang amanah (3) Manajemen Sumberdaya Manusia Strategis (MSDM).
DAFTAR PUSTAKA
Hasbullah. Otonomi Pendidikan. Jakarta T. Raja Grafindo Persada Cipta, 1996
Manajemen pendididkan\ilmu manajemen.htm
http://baim32.multiply.com/journal/item/36/Pendidikan_Pondok_Pesantren_Tradisional
http/Pondok pesantren. Html
H. Barthos, Bashir Perguruan tinggi Swasta di Indonesia. BUMI AKSARA : Jakarta. 1992