MAKALAH : BENTUK-BENTUK MANAJEMEN SATUAN PENDIDIKAN KEAGAMAAN ISLAM


BENTUK-BENTUK MANAJEMEN SATUAN PENDIDIKAN KEAGAMAAN ISLAM

A.    PENDAHULUAN
Dalam perspektif historis, Indonesia merupakan sebuah negeri muslim yang unik, letaknya sangat jauh dari pusat lahimya Islam (Mekkah). Meskipun Islam baru masuk ke Indonesia pada abad ke tujuh, dunia internasional mengakui bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Hal ini merupakan salah satu indikator keberhasilan Pendidikan Agama Islam di Indonesia.
Lembaga  Pendidikan Agama Islam pertama didirikan di Indonesia adalah dalam bentuk pesantren (Sarijo, 1980; Dhofier, 1982). Dengan karakternya yang khas “religius oriented”, pesantren telah mampu meletakkan dasar-dasar pendidikan keagamaan yang kuat. Para santri tidak hanya dibekali pemahaman tentang ajaran Islam tetapi juga kemampuan untuk menyebarkan dan mempertahankan Islam.
Masuknya model pendidikan sekolah membawa dampak yang kurang menguntungkan bagi umat Islam saat itu, yang mengarah pada lahirnya dikotomi ilmu agama (Islam) dan ilmu sekuler (ilmu umum dan ilmu sekuler Kristen). Dualisme model pendidikan yang konfrontatif tersebut telah mengilhami munculnya gerakan reformasi dalam pendidikan pada awal abad dua puluh. Gerakan reformasi tersebut bertujuan mengakomodasi sistem pendidikan sekolah ke dalam lingkungan pesantren (Toha dan Mu’thi, 1998). Corak model pendidikan ini dengan cepat menyebar tidak hanya di pelosok pulau Jawa tetapi juga di luar pulau Jawa. Dari situlah madrasah lahir.
Sedangkan, Menurut Rahim (2001 : 28), pesantren merupakan sebuah lembaga pendidikan tertua yang melekat dalam perjalanan kehidupan Indonesia sejak ratusan tahun yang silam, ia adalah lembaga pendidikan yang dapat dikategorikan sebagai lembaga unik dan punya karakteristik tersendiri yang khas, sehingga saat ini menunjukkan kapabilitasnya yang cemerlang melewati berbagai episode zaman dengan pluralitas polemik yang dihadapinya. Bahkan dalam perjalanan sejarahnya, pesantren telah banyak memberikan andil dan kontribusi yang sangat besar dalam ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa dan memberikan pencerahan terhadap masyarakat serta dapat menghasilkan komunitas intelektual yang setaraf dengan sekolah gubernemen.
Dari uraian tersebut dapat dirumuskan beberapa masalah yaitu : (1) apa saja bentuk-bentuk manajemen pendidikan satuan keagamaan Islam? (2) bagaimana perbedaan manajemen dari masing-masing bentuk satuan keagamaan Islam tersebut?

B.    PEMBAHASAN

1.1    . Latar belakang Kehadiran MBS
Salah satu permasalahan pendidikan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah pendidikan adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan menengah. Berbagai usaha telah dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, misalnya pengembangan kurikulum nasional, misalnya pengembangan kurikulum nasional dan local, peningkatan kompetensi guru melalui berbagai pelatihan; pengadaan buku dan alat pelajaran; pengadaan dan perbaikan sarana dan prasarana pendidikan; serta peningkatan mutu manajemen sekolah.
Namun demikian, berbagai indikator mutu pendidikan belum menunjukkan peningkatan yang berarti. Sebagian sekolah, terutama dikota-kota menunjukkan peningkatan mutu pendidikan yang cukup baik. Namun sebagian lagi masih memprihatinkan, apalagi sekolah-sekolah yang berada didaerah-daerah terpencil, masih jauh dari apa yang diharapkan.
Upaya desentralisasi atau otonomi pendidikan pada dasarnya telah lama diperjuangkan oleh masyarakat pendidikan. Persoalannya, system sentralisasi dirasa sudah tidak relevan untuk konteks Indonesia yang plural, budaya beragam, masyarakat yang heterogen dan kompleks. Oleh karena itu, otonomi pendidikan merupakan sebuah keharusan jika menginginkan pendikan Indonesia  yang maju dan berkualitas.
MBS merupakan salah satu model manajemen pendidikan yang berbasis pada otonomi atau kemandirian sekolah dan aparat daerah dalam menentukan arah, kebijakan serta jalannya pendidikan didaerah masing-masing. Oleh karena itu, keberhasilan dalam pelaksanaan MBS sangat ditentukan oleh perwujudan kemandirian manajemen pendidikan pada tingkat kabupaten dan kota. Disamping itu, MBS juga merupakan model pengelolaan pendidikan yang menjadikan sekolah sebagai poros pengambilan keputusan.
Model MBS ini pada dasarnya sudah banyak diterapkan dinegara maju sejak tahun 1970-an dan 1980-an (Braddy, 1992). Namun baru diadaptasi secara resmi di Indonesia sekitar tahun Tahun 1999 oleh Departemen Pendidikan Nasional dengan proyek perintisan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS).
Konsep Manajemen Berbasis Sekolah
Secara konseptual ada beberapa istilah yang berkaitan dengan Manajemen berbasis sekolah (MBS), diantaranya school based management atau school based decision making and management. Konsep dasar MBS adalah mengalihkan pengambilan keputusan dari pusat, kanwil, kandep, dinas ke level sekolah (Samani, 1999:6). Mulyasa (2004:11) mengutip pendapat bank dunia (1999) memberi pengertian bahwa MBS merupakan bentuk alternatif  sekolah dalam program desentralisasi di bidang pendidikan, yang ditandai oleh otonomi luas ditingkat sekolah, partisipasi masyarakat, dan dalam kerangka kebijakan pendidikan nasioanal.
Definisi yang lebih luas tentang MBS dikemukakan oleh Wohlstetter dan Mohrman (1996), yaitu sebuah pendekatan politis untuk mendesain ulang organisasi sekolah dengan memberikan kewenangan dan kekuasaan kepada partisipan sekolah pada tingkat lokal guna memajukan sekolahnya. Partisipan lokal sekolah tak lain adalah sekolah, guru, konselor, pengembang kurikulum, administrator, orang tua siswa, masyarakat sekitar dan siswa.
Istilah school based management atau selanjutnya dikenal dengan MBS tersebut, mula-mula muncul di Amerika Serikat pada tahun 1970-an sebagai alternatif untuk mereformasi pengelolaan pendidikan atau sekolah. Reformasi itu diperlukan karena kinerja sekolah selama puluhan tahun tidak dapat menunjukkan peningkatan yang berarti dalam memenuhi tuntutan perubahan lingkungan sekolah (Nurkholis,2003:2).
MBS memberikan kebebasan dan kekuasaan yang besar pada sekolah, disertai seperangkat tanggung jawab. Dengan adanya pengalihan kewenangan pengambilan keputusan ke level sekolah, maka sekolah diharapkan lebih mandiri dan mampu menentukan arah pengembangan yang sesuai dengan kondisi dan tuntunan lingkungan masyarakatnya. Atau dengan kata lain, sekolah harus mampu mengembangkan program yang relevan dengan kebutuhan masyarakat.
MBS berpotensi menawarkan partisipasi masyarakat, pemerataan, efisiensi, serta manajemen yang bertumpu pada tingkat sekolah. MBS berfungsi untuk menjamin bahwa semakin rendahnya kontrol pemerintah pusat, tetapi semakin meningkatnya otonomi sekolah untuk menentukan sendiri apa yang perlu diajarkan dan mengelola sumber daya yang ada disekolah untuk berinovasi dan berimprovisasi. Dalam konteks ini, menurut Makmun (1999:15)  ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu (1) gaya kepemimpinan yang dianut harus bersifat demokratis, berjiwa lugas, dan terbuka; (2) budaya dan iklim keorganisasian  yang sehat sehingga setiap anggotanya dapat mengekspresikan pandangan dan pendiriannya secara lugas, dan (3) menjunjung tinggi prinsip profesionalisme di lingkungan kerja yang bersangkutan.
Kehadiran MBS di Indonesia dilatarbelakangi oleh fakta yang menunjukkan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia sangat rendah. Itulah yang melatarbelakangi dicetuskannya MBS, sebagai salah satu bentuk manajemen yang dapat mengembangkan mutu pendidikan. Bentuk-bentuk manajemen dalam satuan pendidikan keagamaan Islam meliputi : madrasah pendidikan, pondok pesantren, perguruan tinggi, dsb.

1.2. Bentuk-bentuk manajemen satuan pendidikan keagamaan Islam
Dalam satuan pendidikan keagamaan juga terdapat bentuk-bentuk manajemennya sebagai upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan dalam lembaga tersebut, diantaranya:
1.    Madrasah
Standar administrasi dan manajemen madrasah meliputi: (a) perencanaan madrasah, (b) implementasi manajemen madrasah, (c) kepemimpinan madrasah, (d) pengawasan, dan (e) administrasi madrasah.
a)    Perencanaan Madrasah
Madrasah memiliki perencanaan strategis dengan rumusan arah (visi dan misi) dan tujuan yang jelas dan dipahami oleh setiap warga madrasah, yang digunakan sebagai acuan bagi pengembangan rencana operasional dan program madrasah. Madrasah memiliki rencana yang akan dicapai dalam jangka panjang (rencana strategis) yang dijadikan acuan dalam rencana operasional. Dalam rencana ini wawasan masa depan (visi) dijadikan panduan bagi rumusan misi madrasah.
Dengan kata lain, wawasan masa depan atau visi madrasah adalah gambaran masa depan yang dicita-citakan oleh madrasah. Adapun misi madrasah adalah tindakan untuk merealisasikan visi. Visi dan misi dijadikan acuan dalam merumuskan tujuan madrasah, dan hasil yang diharapkan oleh madrasah. Kegiatan madrasah dilakukan berdasarkan tujuan madrasah yang dirumuskan secara jelas. Kriteria utama mutu perencanaan madrasah adalah sejauhmana warga madrasah memahami dan menyadari visi, misi dan tujuan madrasah dan sejauhmana tujuan itu dicapai. Tujuan yang dirumuskan berdasarkan visi dan misi madrasah ini selanjutnya dijadikan acuan dalam penyusunan rencana operasional tahunan yang bersifat lebih rinci.

b)    Implementasi Manajemen Madrasah
Madrasah menerapkan manajemen berbasis madrasah yang ditunjukkan dengan kemandirian, kemitnian, partisipasi, semangat kebersamaan. tanggung jawab, keterbukaan (transparansi), keluwesan (fleksibilitas), akuntabilitas, dan keberlangsungan.
Manajemen madrasah adalah pengelolaan madrasah yang dilakukan dengan dan melalui sumber daya untuk mencapai tujuan madrasah secara efektif dan efisien. Dua hal yang merupakan inti dari manajemen madrasah adalah aspek dan fungsi. Manajemen dipandang sebagai aspek meliputi kurikulum, tenaga atau sumberdaya manusia, peserta didik, sarana dan prasarana, dana, dan hubungan masyarakat. Manajemen dipandang sebagai fungsi meliputi pengambilan keputusan, perumusan tujuan, perencanaan, pengorganisasian, pengaturan ketenagaan, pengkomunikasian, pelaksanaan, pengkoordinasian, supervisi, dan pengendalian.

Manajemen Tenaga Kependidikan atau sumber daya manusia
Madrasah memiliki tenaga kependidikan profesional yang jumlahnya memadai, dengan kualifikasi, kompetensi, dan tingkat kesesuaian berdasarkan peraturan yang berliiku. Tenaga kependidikan madrasah adalah mereka yang berkualifikasi sebagai pendidik dan pengelola pendidikan. Pendidik bertugas merencanakan, melaksanakan, dan menilai serta mengembangkan proses pembelajaran.
Tenaga kependidikan meliputi guru, konselor, kepala madrasah dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya. Secara umum, tenaga kependidikan madrasah bertugas melaksanakan perencanaan, pembelajaran, pembimbingan, pelatihan, pengelolaan, penilaian, pengawasan, pelayanan teknis dan kepustakaan, penelitian dan pengembangan hal-hal praktis yang diperlukan untuk meningkatkan mutu proses pembelajaran. Tenaga kependidikan merupakan jiwa madrasah dan madrasah hanyalah merupakan wadahnya. Karena itu, tenaga kependidikan merupakan kunci bagi suksesnya pengembangan madrasah.
Madrasah memiliki: (1) tenaga kependidikan yang cukup jumlahnya; (2)- kualifikasi dan kompetensi yang memadai sesuai dengan tingkat pendidikan yang ditugaskan; (3) tingkat kesesuaian dalam arti kemampuan yang dimiliki oleh tenaga kependidikan sesuai dengan bidang kerja yang ditugaskan; dan (4) kesanggupan kerja yang tinggi.

Setiap tenaga kependidikan berkewajiban: (1) menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya; (2) melaksanakan tugas kependidikan yang menjadi tanggungjawabnya; dan (3) meningkatkan kemampuan profesional yang meliputi kemampuan intelektual, integritas kepribadian dan interaksi sosial baik di lingkungan kerja maupun di masyarakat. Madrasah memberikan kondisi dan mendorong bagi pengembangan tenaga kependidikan. Sebagai konsekuensi dari kewajiban yang dipikulnya, maka tenaga kependidikan berhak memperolch perlindungan hukum, pengembangan diri, penghasilan yang layak, penghargaan yang sesuai, dan kesempatan untuk menggunakan sumber daya madrasah untuk menunjang kelancaran tugasnya.

Manajemen Sarana dan Prasarana
Madrasah menyediakan sarana dan prusarana yang memungkinkan tercapainya tujuan madrasah dan tuntutan pedagogik yang diperlukan untuk menjamin terselenggaranya proses pendidikan yang bermakna, menyenangkan, dan memberdayakan sesuai luntutan karakteristik mata pelajaran, pertumbuhan dan perkembangan afektif, kognitif, psikomotor peserta didik.
Madrasah menyediakan sarana dan prasarana yang diperlukan untuk menyelenggarakan program pendidikan. Penyediaan sarana dan prasarana yang memenuhi tuntutan pedagogik diperlukan untuk menjamin terselenggaranya proses pendidikan yang ben-nakna, menyenangkan, dan memberdayakan sesuai karakteristik mata pelajaran dan tuntutan pertumbuhan dan perkembangan afektif, kognitif, psikomotor .peserta didik
Madrasah memiliki sarana dan prasarana yang meliputi gedung, ruang pimpinan, ruang tata usaha, ruang kelas, laboratorium, perpustakaan, pusat sumber pembelajaran, ruang praktek, media pembelajaran, bahan/material, sarana pendidikan jasmani dan olahraga tempal beribadah, tempat bermain, tempat berkreasi dan rekreasi, fasilitas kesehatan dan keselamatan bagi peserta didik dan penyelenggara pendidikan, dan sarana serta prasarana lain sesuai tuntutan program-program pendidikan yang diselenggarakan oleh madrasah.
Ketersediaan, kesiapan, dan penggunaan sarana dan prasarana merupakan hal penting bagi penyelenggaraan pendidikan di madrasah. Namun hal yang lebih penting lagi adalah pemanfaatan sarana dan prasarana tersebut untuk proses belajar mengajar. Secara periodik, sarana dan prasarana madrasah perlu dievaluasi secara sistematis sesuai dengan tuntutan kurikulum, guru. dan peserta didik. Pengadaan sarana dan prasarana madrasah sesuai dengan prinsip kecukupan, relevansi, dan daya guna, serta berpegang pada esensi manajemen berbasis madrasah.

Manajemen Peserta Didik
Standar peserta didik mencakup: (a) penerimaan, pengembangan, dan pembinaan peserta didik, serta (b) keluaran.

Penerimaan dan Pengembangan Peserta didik

Penerimaan peserta didik didasarkan atas kriteria yang jelas, transparan dan akuntabel. Peserta didik memiliki tingkat kesiapan belajar yang memadai, baik mental maupun fisik. Madrasah memiliki program yang jelas tentang pembinuan, pengembangan, dan pembimbingan peserta didik. Madrasah memheri kesempatan yang luas kepada peserta didik untnk berperansertu dalam penyelenggaraan program madrasah. Madrasah melakukan evuluasi kemajuan dan hasil belajar peserta didik yang memenuhi kaidah evaluasi yang baik.
Peserta didik adalah warga masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran pada satuan pendidikan tertentu. Peserta didik mei-upakan salah satu masukan yang sangat menentukan bagi berlangsungnya proses pembelajaran. Namun demikian prestasi belajar yang dicapai oleh peserta didik pada dasamya merupakan upaya kolektifantara peserta didik dan guru.
Berkaitan dengan peserta didik, ada enam hal yang harus diperhatikan oleh madrasah yaitu penerimaan peserta didik baru, penyiapan belajar peserta didik, pembinaan dan pengembangan, pembimbingan, pemberian kesempatan, dan evaluasi hasil belajar peserta didik. Penerimaan peserta didik dilakukan dengan memperhatikan karakteristik calon peserta didik agar layanan pendidikan dapat dilakukan sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik peserta didik. Penyiapan belajar peserta didik, baik mental maupun fisik, merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh pada mutu proses pembelajaran. Makin tinggi tingkat kesiapan peserta didik, makin tinggi pula mutu pembelajaran. Pembinaan dan pengembangan peserta didik yang meliputi aspek intelektual, spiritual, emosi, dan afektif merupakan tugas penting madrasah.
Pemberian kesempatan kepada peserta didik dalam berbagai program madrasah seperti misalnya pengembangan kepemimpinan peserta didik, pengembangan kurikulum, pengambilan keputusan, dan perencanaan rekreasi, merupakan contoh pemberian kesempatan kepada peserta didik. Yang tidak kalah penting dalam kaitannya dengan peserta didik adalah evaluasi kemajuan dan hasil belajar peserta didik. Evaluasi hasil belajar peserta didik sangat diperlukan untuk mendapatkan informasi mengenai tingkat pencapaian peserta didik. Hasil evaluasi, dimanfaatkan untuk melakukan perbaikan (remedial) agar tujuan pembelajaran tercapai dengan baik.

Madrasah menghasilkan keluaran yang memadai dalam prestasi akademik dan prestasi non akademik seperti olah raga. kesenian, keagamaan, keterampilan kejuruan, dan sebagainya.
Keluaran madrasah mencakup output dan outcome. Output madrasah adalah hasil belajar yang merefleksikan seberapa baik peserta didik memperoleh pengalaman bermakna dalam proses pembelajaran. Hasil belajar harus mengekspresikan tiga unsur kompetensi, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor.
Mengingat hasil belajar merupakan peleburan ketiga unsur kemampuan tersebut yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor, maka hasil belajar dapat dikelompokkan kembali menjadi prestasi akademik, prestasi non-akademik, angka mengulang, dan angka putus madrasah dan persentase kelulusan pada ujian akhir. Prestasi akademik meliputi antara lain hasil ujian, lomba karya ilmiah, lomba Fisika, Matematika, dan Bahasa Inggris. Prestasi non-akademik meliputi, antara lain, karakteristik pribadi, prestasi olah raga, prestasi kesenian, dan prestasi kepramukaan.
Outcome adalah dampak jangka panjang dari hasil belajar, baik dampak bagi tamatan maupun bagi masyarakat. Outcome memiliki dua komponen, yaitu: (1) kesempatan pendidikan dan kesempatan kerja, dan (2) pengembangan diri lulusan.. Madrasah yang baik memberikan banyak kesempatan kepada lulusannya untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang berikutnya dan kesempatan untuk memilih pekerjaan. Madrasah yang baik juga membekali kecakapan lulusannya untuk mengembangkan diri dalam kehidupan. Pengembangan diri yang dimaksud adalah pertumbuhan intelektualitas yang dihasilkan dari proses pembelajaran di madrasah.
Madrasah memiliki kepedulian terhadap nasib lulusannya. Kepedulian tersebut diwujudkan dalam bentuk penelusuran, atau pelacakan terhadap lulusannya. Penelusuran ini memiliki manfaat ganda yaitu, selain peduli terhadap lulusannya, juga untuk mencari umpan balik bagi perbaikan program di madrasahnya sehingga mutu dan relevansi program madrasah dapat ditingkatkan.

Dengan konsep manajemen madrasah yang meliputi aspek dan fungsi seperti tersebut di atas, maka manajemen madrasah meliputi semua fungsi yang diterapkan pada semua aspek madrasah. Artinya, madrasah menerapkan pengambilan keputusan, perumusan tujuan, perencanaan, pengorganisasian, pengaturan ketenagaan, pengkomunikasian, pelaksanaan, pengkoordinasian, supervisi, dan pengendalian pada semua aspek madrasah yang terdiri dari kurikulum, tenaga atau sumberdaya manusia, peserta didik,sarana dan prasarana, dana, dan hubungan masyarakat.
Mengingat perubahan terletak pada inisiatif dan komitmen dari para tenaga kependidikan yang bekerja di madrasah, maka manajemen madrasah yang dimaksud adalah manajemen berpusat pada madrasah atau yang dikenal dengan manajemen berbasis madrasah (MBM). MBM adalah suatu model manajemen yang bertolak dari kemampuan, kesanggupan, dan kebutuhan madrasah, bukan perintah dan petunjuk dari lapisan birokrasi atasan, dengan catatan bahwa apa yang dilakukan oleh madrasah harus tetap dalam lingkup kebijakan pendidikan nasional. Oleh karena itu, MBM membolehkan adanya keragaman dalam pengelolaan madrasah yang didasarkan atas kekhasan dan kemandirian madrasah itu sendiri. Dalam MBM, semua kegiatan harus dikaitkan dengan tujuan yang akan dicapai oleh madrasah (peningkatan mutu, produktivitas, efektivitas, efisiensi, relevansi, dan inovasi) dan dilakukan menurut prinsip-prinsip MBM, yang antara lain. meliputi kemandirian, kemitraan, partisipasi, semangat kebersamaan, tanggungjawab, keterbukaan, keluwesan, akuntabilitas, dan keberlanjutan.
Mengingat MBM berprinsip pada partisipasi masyarakat dalam menyelenggaraan pendidikan. maka pclibatan masyarakat melalui wadah yang disebut Komite Madrasah atau sejenisnya merupakan upaya yang harus dilakukan oleh madrasah. Tingkat partisipasi masyarakat dapat dilihat dari besar kecilnya dukungan mereka terhadap madrasah, baik berupa finansial, moral, jasa (pemikiran, keterampilan), dan barang atau benda. Mengingat prinsip-prinsip MBM tersebut, maka seorang kepala madrasah harus memiliki sifat-sifat sebagai manajer profesional.

c)    Kepemimpinan

Kepala madrasah menerapkan pola kepemimpinan yang terbuka dan melakukan pendelegasian tugas dengan baik. Guru dan tenaga lainnya di madrasah memiliki kesempatan untuk mengembangkan diri. Kepemimpinan kepala madrasah bersifat visioner dan transformatif.
Manajemen memfokuskan diri pada madrasah sebagai sistem di mana kepemimpinan menekankan pada orang sebagai jiwanya. Kepala madrasah berperan sebagai manajer dan pemimpin sekaligus. Tugas dan fungsi manajer adalah mengelola para pelaksananya dengan sejumlah masukan (input) manajemen seperti tugas dan fungsi, kebijakan, rencana, program, aturan main, serta pengendalian agar madrasah sebagai sistem mampu berkembang. Sedang tugas dan fungsi pemimpin adalah memimpin warga madrasah agar posisi mereka sebagai jiwa dari madrasah benar-benar sehat, cerdas, dan dinamis. Kepala madrasah sebagai manajer berurusan dengan sistem dan sebagai pemimpin berurusan dengan tanggung jawab tentang pelaksanaan tugas dari orang-orang yang dipimpinnya.

d)    Pengawasan
Pimpinan madrasah melaksanakan pengawasan secara terencana dan berkala sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pengawasan (supervisi) merupakan salah satu fungsi penting dalam manajemen madrasah. Dalam pelaksanaan pengawasan ini terkandung pula fungsi pemantauan yang diarahkan untuk melihat apakah semua kegiatan berjalan lancar dan semua sumber daya dimanfaatkan secara optimal, efektif dan efisien. Pengawasan dan monitoring dilakukan secara berkala dan tepat sasaran sehingga hasilnya dapat digunakan untuk melakukan perbaikan.

e)    Administrasi Madrasah

Madrasah melaksanakan administmsi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Penyelenggaraan madrasah akan berjalan lancar jika didukung oleh administrasi yang efisien dan efektif. Madrasah yang administrasinya kurang efisien dan kurang efektif akan mengalami hambatan dalam penyelenggaraan program madrasah. Secara umum, administrasi madrasah dapat diartikan sebagai upaya pengaturan dan pendayagunaan seluruh sumber daya madrasah dalam penyelenggaraan pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan di madrasah secara optimal. Adapun sumber daya madrasah yang dimaksud adalah sumber daya manusia dan sumber daya lainnya (dana, peralatan, perlengkapan, bahan, dan sebagainya).
Menurut lingkupnya, administrasi madrasah meliputi administrasi hasil belajar, proses pembelajaran, kurikulum, ketenagaan, peserta didik, sarana dan prasarana, keuangan, serta hubungan madrasah dengan masyarakat. Madrasah mengadministrasi semua kegiatan pada masing-masing lingkup; administrasi tersebut secara rinci dan jelas.

2.    Pondok Pesantren
Visi dan Misi Pendidikan Pondok Pesantren
Dunia pesantren adalah dunia yang mewarisi dan memelihara kontinuitas tradisi islam yang dikembangkan ulama dari masa kemasa, dan hal tersebut tidak terbatas pada periode tertentu dalam sejarah islam, Karenanya tidak sulit bagi dunia pesantren untuk melakukan readjustment terhadap berbagai perubahan yang terjadi. Maka itu kemampuan pesantren untuk tetap survive dalam setiap perubahan, bukan sekedar karena karakteristiknya yang khas, tetapi juga karena kemampuannya dalam melakukan adjustment dan readjustment.
Terdapat berbagai visi, misi, karakter dan kecenderungan baru yang terus berkembang dinamis dalam pesantren yang membuatnya tetap dan terus survive dan bahkan berpotensi besar sebagai salah satu alternatif ideal bagi masyarakat transformatif, lebih lebih ditengah pengapnya sistem pendidikan nasional yang kurang mencerdaskan dan cenderung memunculkan ketergantungan yang terus menerus. Visi dan kecenderungan tersebut antara lain :
Pertama, karakternya yang khas dan tidak dimiliki oleh lembaga pendidikan lainnya, yakni mengakar kuat di masyarakat dan berdiri kokoh sebagai menara air (bukan menara api). Menurut Nur Cholis Madjid, pesantren selain identik dengan makna keislaman juga mengandung makna keaslian indonesia. Sebagai indigenous, Pesantren selain memiliki lingkungan, juga menjadi milik lingkungannya. antara pesantren dengan lingkungannya ibarat setali mata uang, atau harimau dan rimbanya yang satu sama lain mempunyai relasi yang erat bersifat simbiotik dan organik. Karena itu posisi pesantren bagi masyarakatnya sering digambarkan seperti pada Qs. Ibrahim : 24 – 25. Laksana pohon yang baik, akarnya kokoh dan rantingnya menjulang kelangit, pohon itu memberi buah setiap musim dengan izin Allah Swt.
Kedua, Di Pesantren terdapat prinsip yang disebut Panca Jiwa, yakni berupa keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, ukuwah islamiyah dan kebebasan (Subahar, 2002 : 5) Menurut Subahar, Hakekat pendidikan pesantren sebenarnya terletak pada pembinaan jiwa ini, bukan pada yang lain, karenanya hasil pendidikan di Pesantren akan mencetak jiwa yang kokoh yang sangat menentukan falsafah hidup santri dihari kemudian, artinya, mereka tidak sekedar siap pakai tetapi yang lebih penting adalah siap hidup. Prinsip inilah yang menjadikan pesantren tetap survive dan terus menjadi oase bagi masyarakat dalam perubahan yang bagaimanapun.
Ketiga, Adanya hubungan lintas sektoral yang akrab antara santri dengan kyai. Artinya Kyai bagi santri tidak sekedar guru Ta’lim, tetapi juga sebagai guru ta’dzib dan guru tarbiyah. Dia tidak sekedar menyampaikan informasi keislaman, tetapi juga menyalakan etos Islam dalam setiap jiwa santri dan bahkan mengantarkannya pada taqarrub ilalloh. Karena itu hubungan kyai dengan santri tidak sekedar bersifat fisikal, tetapi lebih jauh juga bersifat batiniyah.
Keempat, Model pengasramahan. Di pesantren , terdapat istilah santri mukim, dimana santri diasramakan dalam satu tempat yang sama. Dimaksudkan selain menjadikan suasana tidak ada perbedaan antara anak orang kaya atau orang miskin. Juga sang kyai dapat memantau langsung perkembangan keilmuan santri, dan yang lebih penting adalah diterapkannya pola pendampingan untuk melatih pola prilaku dan kepribadian para santri. Selain itu, pola pengasramahan memungkinkan santri melatih kemampuan bersosial dan bermasyarakat, sehingga akan cepat beradaptasi ketika mereka terjun pada kehidupan masyarakat yang sesungguhnya.
Kelima, Fleksibel terhadap berbagai perubahan yang terjadi. Menurut Hadi Mulyo, Salah satu faktor yang menjadikan pesantren tetap eksis dan bahkan menjadi alternatif prospektif dimasa yang akan datang, karena ia mempunyai karakter membuka diri terhadap berbagai perubahan yang terjadi dalam kehidupan riil, dikalangan pesantren terkenal slogan “Almuhafadatu ala al qodim as soleh wal ajdu bil jahidil aslah” . (1995 : 99)
Namun demikian, tidak berarti pesantren sebagai lembaga pendidikan terbebas dari berbagai kelemahan, Para pakar pendidikan mencatat beberapa kelemahan mendasar, antara lain :
1.    Di Pesantren belum banyak yang mampu merumuskan visi, misi dan tujuan pendidikannya secara sistimatik yang tertuang dalam program kerja yang jelas. Sehingga tahapan pencapaian tujuannya juga cenderung bersifat alamiyah.
2.    System kepeminpinan sentralistik yang tidak sepenuhnya hilang, sehingga acapkali mengganggu lancarnya mekanisme kerja kolektif, padahal banyak perubahan yang tidak mungkin tertangani oleh satu orang.
3.    Dalam merespon perubahan cenderung sangat lamban, konsep “Almuhafadatu ala al qodim as soleh wal ajdu bil jadidil aslah” selalu ditempatkan pada posisi bagaimana benang tak terputus dan tepung tak terserak, padahal ibarat orang naik tangga, ketika salah satu kaki meninggalkan tangga yang bawah, kaki satunya melayang layang diudara, bisa jadi terpeleset atau jatuh, itu resiko, bila takut menghadapi resiko, dia tidak akan pernah beranjak dari tangga terbawah.
4.    Sistem pengajarannya kurang efesien, demokratis dan variatif, sehingga cepat memunculkan kejenuhan pada peserta didik. dsb.
Meskipun perjalanan pesantren terus mengalami fluktuasi perubahan, pada dataran praktis pesantren tetap memiliki fungsi-fungsi sebagai: (1) Lembaga pendidikan yang melakukan transferi lmu-ilmu agama (tafaqquh fi al-din) dan nilai-nilai Islam (Islamic values), (2) Lembaga keagamaan yang melakukan kontrol sosial (social control), dan (3) Lembaga keagamaan yang melakukan rekayasa sosial (social engineering)
Dalam perkembangan selanjutnya bentuk-bentuk pendidikan di pesantren ini, kini sangat bervariasi, yang dapat diklasifikasikan sedikitnya menjadi lima tipe, yakni : (1) Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan formal yang menerapkan kurikulum nasional, baik yang hanya memiliki sekolah keagamaan (MI, MTs, MA dan PT Agama Islam) maupun yang juga memiliki sekolah umum (SD, SLTP, SMU, SMK, dan Perguruan Tinggi Umum), seperti pesantren Tebu Ireng Jombang (2) Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan dalam bentuk madrasah dan mengajarkan ilmu-ilmu umum meski tidak menerapkan kurikulum nasional, seperti pesantren Gontor Ponorogo (3) Pesantren yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama dalam bentuk madrasah diniyah, seperti pesantren Salafiyah Langitan Tuban, (4) Pesantren yang hanya sekedar menjadi tempat pengajian (majlis ta’lim), dan (5) Kini mulai berkembang pula nama pesantren untuk asrama anak-anak pelajar sekolah umum dan mahasiswa.
Kurikulum Pendidikan Pondok Pesantren
Kurikulum pendidikan di pesantren saat ini tidak sekedar fokus pada kita kitab klasik (baca : ilmu agama), tetapi juga memasukkan semakin banyak mata pelajaran dan keterampilan umum, di Pesantren saat ini dikhotomi ilmu mulai tidak populer , beberapa pesantren bahkan mendirikan lembaga pendidikan umum yang berada dibawah DIKNAS, Misalnya Undar Jombang, Pondok pesantren Iftitahul Muallimin Ciwaringin Jawa barat, dll.
Perkembangan yang begitu pesat dalam ilmu pengetahuan dan tehnologi, menyebabkan pengertian kurikulum selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu, namun demikian satu hal yang permanen disepakati bahwa Istilah kurikulum berasal dari bahasa Yunani, semula populer dalam bidang olah raga, yaitu Curere yang berarti jarak terjauh yang harus ditempuh dalam olahraga lari mulai start hingga finish. Kemudian dalam konteks pendidikan, kurikulum diartikan sebagai “circle of instruction” yaitu suatu lingkaran pengajaran dimana guru dan murid terlibat didalamnya.
Dalam bahasa Arab Menurut Omar Muhammad (1979 : 478), term kurikulum dikenal dengan term manhaj, yakni jalan terang yang dilalui manusia dalam hidupanya. Dalam konteks pendidikan kurikulum diartikan sebagai jalan terang yang dilalui oleh pendidik dan peserta didik untuk menggabungkan pengetahuan, ketampilan, sikap dan seperangkat nilai.
Dalam konteks pendidikan di pesantren, Nurcholis Madjid mengatakan yang dikutip oleh Abdurrahman Mas’ud dkk, bahwa istilah kurikulum tidak terkenal di dunia pesantren (masa pra kemerdekaan), walaupun sebenarnya materi pendidikan sudah ada di dalam pesantren, terutama pada praktek pengajaran bimbingan rohani dan latihan kecakapan dalam kehidupan di pesantren. Secara eksplisit pesantren tidak merumuskan dasar dan tujuan pesantren atau mengaplikasikannya dalam bentuk kurikulum. (2002:85)
Dewasa ini pesantren dihadapkan pada banyak tantangan, termasuk di dalamnya modernisasi pendidikan Islam. Dalam banyak hal sistem dan kelembagaan pesantren telah dimodernisasi, serta disesuaikan dengan tuntutan pembangunan, terutama dalam aspek-aspek kelembagaan sehingga secara otomatis akan mempengaruhi ketetapan kurikulum.
Berdasarkan pendapat di atas, bahwa kurikulum pada dasarnya merupakan seperangkat perencanaan dan media untuk mengantarkan lembaga pendidikan dalam mewujudkan lembaga pendidikan yang diidamkan. Pesantren dalam aspek kelembagaannya, mulai mengembangkan diri dengan jenis dan corak pendidikannya yang bermacam-macam. Seperti Pesantren Tebuireng Jombang yang di dalamnya telah berkembang madrasah, sekolah umum, sampai perguruan tinggi yang dalam proses pencapaian tujuan institusional selalu menggunakan kurikulum. Tetapi pesantren yang mengikuti pola salafi (tradisional), mungkin kurikulum belum dimasukkan secara baik.
Maka dari pada itu kurikulum pondok pesantren tradisional statusnya cuma sebagai lembaga pendidikan non formal yang hanya mempelajari kitab-kitab klasik. Meliputi : nahwu, sorrof, belaghoh, tauhid, tafsir, hadist, mantik, tasawwuf, bahasa arab, fiqih, ushul fiqh dan akhlak. Dengan demikian pelaksanaan kurikulum pendidikan pesantren ini berdasarkan kemudahan dan kompleksitas ilmu atau masalah yang dibahas dalam kitab. Jadi ada tingkat awal, menengah, dan lanjutan.
Jenjang pendidikan dalam pesantren tidak dibatasi seperti dalam lembaga-lembaga pendidikan yang memakai sistem klasikal. Umumnya, kenaikan tingkat seorang santri didasarkan kepada isi mata pelajaran tertentu yang ditandai dengan tamat dan bergantinya kitab yang dipelajarinya.
Apabila seorang santri telah mengusai satu kitab atau beberpa kitab dan telah lulus ujian yang diuji oleh Kiainya, maka ia berpindah kepada kitab lain yang lebih tinggi tingkatannya. Jelasnya, penjenjangan pendidikan pesantren tidak berdasarkan usia tetapi berdasarkan penguasaan kitab-kitab yang telah ditetapkan dari paling rendah sampai paling tinggi.
Sebagai konsekuensi dari cara penjenjangan di atas, pendidikan pesantren biasanya menyediakan beberapa cabang ilmu atau bidang-bidang khusus yang merupakan fokus masing-masing pesantren untuk dapat menarik minat para santri menuntut ilmu di dalamnya. Biasanya keunikan pendidikan sebuah pesantren telah diketahui oleh calon santri yang ingin mondok. (Sulthon dan Ridho, 2006: 159-160)
Kurikulum Pendidikan pesantren, menurut Hasan (2001 : 6 ) paling tidak memiliki beberapa komponen, antara lain : tujuan, isi pengetahuan dan pengalaman belajar, strategi dan evaluasi. Biasanya komponen tujuan tersebut terbagi dalam beberapa tingkatan, yakni tujuan pendidikan nasional, tujuan institusional, tujuan kurekuler dan tujuan instruksional. Namun demikian berbagai tingkat tujuan tersebut satu sama lainnya merupakan suatu kesatuan yang tak terpisahkan.
Komponen isi meliputi pencapaian target yang jelas, materi standart, standart hasil belajar siswa, dan prosedur pelaksanaan pembelajaran. kepribadian. Komponen strategi tergambar dari cara yang ditempuh di dalam melaksanakan pengajaran, cara di dalam mengadakan penilaian, cara dalam melaksanakan bimbingan dan penyuluhan dan cara mengatur kegiatan sekolah secara keseluruhan. Cara dalam melaksanakan pengajaran mencakup cara yang berlaku dalam menyajikan tiap bidang studi, termasuk cara mengajar dan alat pelajaran yang digunakan.
3.    Perguruan tinggi
Menurut, H. Bashir Barthos tujuan pendidikan tinggi dibagi menjadi dua yaitu :
a)    Menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan professional yang dapat menerapkan, mengenbangkan dan menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi dan kesenian.
b)    Mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan teknologi dan kesenian serta mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional.
Penyelenggaraan pendidikan tinggi dilaksanakan atas dasar kurikulum yang disusun oleh masing-masing perguruan tinggi sesuai dengan sasaran program studi. Perguruan tinggi dapat mengembangkan kurikulum dengan berpedoman pada kurikulum yang berlaku secara nasional. Kurikulum yang berlaku secara nasional diatur oleh Menteri Pendidikan dan kebudayaan.
Organisasi Universitas dan Institut
Organisasi Universitas dan Instituit terdiri dari :
1)    Unsur Pimpinan : Rektor dan pembantu rector
2)    Senat Universitas atau Institut
3)    Unsur pelaksana akademik : fakultas, lembaga penelitian, dan lembaga pengabdian kepada masyarakat.
4)    Unsure pelaksanaan administrasi; biro
5)    Unsur penunjang; unit pelaksana teknis.
Tenaga kependidikan
Jenis tenaga kependidikan di perguruan tinggi terdiri atas dosen dan tenaga penunjang akademik. Dosen adalah seseorang yang berdasarkan pendidikan dan keahliannya diangkat oleh penyelenggara perguruan tinggi dengan tugas utama mengajar pada perguruan tinggi yang bersangkutan. Pemerintah dapat memberi bantuan kepada perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat dalam bentuk dosen tetap yang dipekerjakan pada perguruan yang bersangkutan.
Mahasiswa dan alumni
Untuk menjadi mahasiswa seseorang harus :
a)    Memiliki surat tanda tamat Belajar Pendidikan Menengah Atas.
b)    Memiliki kemampuan  yang disyaratkan oleh perguruan Tinggi yang bersangkutan.
Sarana dan Prasarana
Pengelolaan sarana dan Prasarana yang diperoleh dengan dana yang berasal dari pemerintah yang diselenggarakan berdasarkan ketentuan yang berlaku bagi pengelolaan kekayaan milik Negara. pengelolaan sarana dan prasarana yang diperoleh dengan dana yang berasal dari masyarakat dan pihak luar negeri yang di luar penggunaan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara diatur dengan persetujuan Senat perguruan tinggi yang bersangkutan. Taata cara pendayagunaan sarana dan prasarana untuk memperoleh dana guna menunjang pelaksanaan tugas dan fungsi perguruan tinggi, diatur pimpinan perguruan tinggi yang bersangkutan dengan persetujuan Senat.
Pembiayaan perguruan tinggi
Pembiayaan perguruan tinggi dapat diperoleh dari sumber pemerintah, masyarakat dan pihak luar negeri. Penggunaan dana yang berasal dari pemerintah baik dalam bentuk anggaran rutin maupun anggaran pembangunan diatur sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Dana yang diperoleh dari masyarakat adalah perolehan dana perguruan tinggi yang berasal dari sumber-sumber sebagai berikut:
a.    Sumbangan Pembinaan Pendidikan
b.    Biaya seleksi ujian masuk Perguruan Tinggi.
c.    Hasil kontrak kerja, meliputi kegiatan penelitian, konsultasi, dll.
d.    Hasil penjualan produk yang peroleh dari perguruan tinggi.
e.    Sumbangan dari perorangan atau baik lembaga pemerintah dan non pemerintah.
f.    Penerimaan dari masyarakat lainnya.
Untuk mencapai tujuan PTAI maka dibutuhkan manajemen pendidikan yang profesional. Ciri-ciri bentuk manajemen seperti itu adalah adanya sifat-sifat amanah, visioner, inovasi, dan efisiensi,  di kalangan pengelola khususnya di kalangan manajemen puncak. Selain itu program-programnya harus sesuai dengan kebutuhan agama, perkembangan IPTEKS,  kebutuhan bangsa, dan dinamika khalayak. Secara operasional, sekurang-kurangnya ada tiga dimensi manajemen profesional yang dapat dijabarkan:
(1) Perencanaan strategis berisikan hasil analisis swot yang kemudian digunakan untuk merumuskan visi, misi, tujuan dan strategi kebijakan perguruan tinggi jangka menengah dan panjang. Perlu secara jelas diuraikan paradigma pendidikan tinggi yang dianut, peran dalam pembangunan, relevansi dan mutu pembelajaran dan lulusan,  peluang pemerataan pendidikan, dan kebijakan anggaran pembelajaran dan organisasi. Sasaran program hendaknya berorientasi ke depan; dalam  hal  pengembangan metode pembelajaran, sumber daya manusia, kurikulum, riset dan pemberdayaan masyarakat, dan  kajian-kajian keislaman  yang kontekstual dengan didukung struktur organisasi yang efisien dan fasilitas yang cukup.
(2) Manajemen kepemimpinan yang amanah. Selain itu dibutuhkan pemimpin yang visioner, keteladanan terpuji, ketrampilan konseptual, integritas akademik tinggi, integritas keorganisasian dan pengelolaan (ketrampilan manajerial) yang adil tanpa membeda-bedakan asal usul latar belakang status organisasi dari dosen kecuali pada kualitasnya. Dengan kata lain dibutuhkan seseorang yang memliki kepemimpinan integratif.
(3) Manajemen Sumberdaya Manusia Strategis (MSDM). Data dari DIKTI, Departemen Agama, menunjukkan persebaran rasio jumlah mahasiswa terhadap jumlah dosen pada tahun 2003  antar PTAI menunjukkan ketimpangan. Di sisi lain secara total, kebutuhan penambahan  dosen tetap cukup besar yakni sekitar 4000 orang. Dengan demikian rekrutmen dosen secara selektif dan proporsional perlu segera dilakukan oleh Departemen Agama. Disamping itu untuk menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu cepat dan meningkatnya kebutuhan pasar akan alumni yang bermutu, maka pengembangan SDM para dosen PTAI lewat pendidikan pascasarjana tidak bisa ditunda-tunda lagi.
C.    Kesimpulan
Manajemen Berbasis Sekolah merupakan suatu alat untuk meningkatkan dan mengembangkan mutu pendidikan di Indonesia yang rendah, yang dapat disalurkan melalui satuan pendidikan keagamaan Islam dengan menggunakan kemandirian manajemen dari masing-masing lembaga tersebut.
Manajemen madrasah adalah pengelolaan madrasah yang dilakukan dan melalui sumber daya untuk mencapai tujuan madrasah secara efektif dan efisien. Mempunyai manajemen, dari segi aspek yaitu kurikulum, tenaga atau sumberdaya manusia, peserta didik, sarana dan prasarana, dana, dan hubungan masyarakat.  Sedangkan pesantren, Menurut Nur Cholis Madjid, pesantren selain identik dengan makna keislaman juga mengandung makna keaslian Indonesia yang sekarang telah mengalami modernisasi pendidikan Islam. Kemudian untuk mencapai tujuan PTAI maka dibutuhkan manajemen pendidikan yang professional yaitu ; (1) Perencanaan strategis (2) Manajemen kepemimpinan yang amanah (3) Manajemen Sumberdaya Manusia Strategis (MSDM).

DAFTAR PUSTAKA

Hasbullah. Otonomi Pendidikan. Jakarta :P T. Raja Grafindo Persada Cipta, 1996
Manajemen  pendididkan\ilmu manajemen.htm

http://baim32.multiply.com/journal/item/36/Pendidikan_Pondok_Pesantren_Tradisional

http/Pondok pesantren. Html
H. Barthos, Bashir Perguruan tinggi Swasta di Indonesia. BUMI AKSARA : Jakarta. 1992

AL QUR’AN : PENGERTIAN, SEJARAH TURUN DAN KEMUKJIZATANNYA (Makalah Mata Kuliah Studi Islam)


AL QUR’AN  :   PENGERTIAN, SEJARAH TURUN DAN KEMUKJIZATANNYA

Disusun Oleh : Rinawati, STKIP Muhammadiyah Bogor

BAB I  PENGERTIAN  AL QUR’AN

     A. Pengertian Al-Quran Secara Etimologi ( Bahasa )

  1. Al-Lihyani

Al- Quran merupakan nama bagi firman Allah yang diturunkan Kepada nabi kita Muhammada SAW

  1.  Az-Zujaj

Al-Quran merupakan nama bagi firman Allah yang diturunkan  kepada Nabi yang menghimpun surat-surat , dan kisah-kisah, juga  perintah dan larangan atau   menghimpun intisari kitab-kitab suci sebelumnya,

  1.  Al-asya`ri
    Al-Quran adalah kumpulan yang terdiri atas ayat-ayat yangsaling menguatkan danterdapat kepemimpinan antara ayat satu dengan ayat lainnya.
  2.  Al- Farra
    Al-Quran dalah kumpulan yang terdiri atas ayat-ayat yang saling menguatkan dan

dan terdapat klemiripan antara yang satu dengan yang lainnya
e. Pendapat Lain
Al-Quran adalah himpunan intisari kitab-kitab Allah yang lain bahkan

seluruh ilmu  yang ada
 B.Pengertian Al-Quran Secara Terminologi ( Istilah )

  1. a. Al- Jurajani :
    Al- Quran adalah kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw ditulis dalam mushaf dan diriwayatkan secara mutawatir tanpa keraguan
  2. Manna al-Qatthan :
    Al-Quran adalah kiatb ynag diturunkan Allah kepada Nabi uhammad SAW dan orang    yang membacanya akan memperoleh pahal
  3.  Abu Syahbah :
    Al-Quran adalah kitab yang diturunkan baik lafaz atau makna kepada Nabi terakhir, diriwayatkan secara mutawatir (penuh kepastian dan keyakinan)  ditulis pada mushaf dari surah Al- Fatihah sampai surah An-Nas.
  4. Pakar Ushul Fiqh, dan Bahasa Arab :
    Al-Quran adalah kitab yang diturunkan kepada Nabi Nya, lafaznya dengan  mengandung mukjizat , membacannya mepunyai nilai ibadah, diturunkan secara  mutawatir dan ditulis pada mushaf

BAB II  SEJARAH TURUNNYA AL QUR’AN

a.      Metode Turunnya Wahyu Al Qur’an 
Al-Quran turun selama 22 tahun 2 bulan 22 hari, dari 17 Ramazan tahun 41 dari kelahiran Nabi sampai 9 Zulhijjah Haji wada`tahun 63 dari kelahiran Nabi atau 10 H Al-Quran turun melalui tiga tahap  yaitu :

  1. Al Quran turun sekaligus dari Allah ke Lukh mahfudh
  2. Al- Quran turun dari laukh mahfudh ke bait Al- izzah (tempat yang berada dilangit dunia
  3. Al-Quran turun dari bait Al- izzah ke hati Nabi melalui perantara Jibril dengan berangsur-angsur, kadang satu ayat, dua ayat, bahkaan satu surat

Hikmah Diturunkan Al-Quran Secara Berangsur-Angsur yaitu :

Memantapkan Hati Nabi

  1. Menentang dan melemahkan para penantang Al-Quran
  2. Memudahkan untuk di hafal dan di pahami
  3. Mengikuti setiap kejadian (yang menyebabkan turunnya Al-Quran)
  4. Membuktikan dengan pasti bahwa Al-Quran turun dari Allah yang Maha Bijaksana

   

b. Metode Penulisan Al Qur’an  

Pada masa nabi, wahyu yang diturnakan oleh Allah kepadanya tidak hanya di eksprersikan dalam betuk hafalan tapi juga dalam bentuk tulisan.
Sekretaris pribadi nabi yang bertugas mencatat wahyu yaitu Abu Bakar, Umar bin Kahtab, Khalid Bin Walid dan Mua`wiyah Bin Abi Sofyan. Mereka menggunakan alat tulis sederhana yaitu lontaran kayu, pelepah kurma., tulang-belulang, dan batu.
Faktor yang mendorong penulisan Al-Quran pada masa Nabi yaitu membukukan hafalan yang telah dilakukan oleh Nabi dan para Sahabat dan mempersentasikan wahyu dengan cara yang paling sempurna

  1. 1.         Penulisan Al Qur’an Pada Masa Khulafaurrasyidin

Pada masa Khalifah Abu Bakar beliau memerintahkan untuk mengumpulkan wahyu-wahyu yang tersebar, kedalam satu mushaf, Usaha pengumpulan ini dilakukan setelah terjadi perang Yamamah pada 12 H yang telah menggugurkan nyawa 70 orang penghafal Al-Quran.  Akibat dari kekhawatiran atas kelestarian Al-Quran , maka dipercayakan Zaid bin tsabit untuk mengumpulkan wahyu tersebut. Usaha pengumpulan tersebut selesai dalam waktu ± 1 tahun yaitu pada 13 H.
Kemudian pada masa khalifah Usman bin Affan terjadi perselisihan paham tentang perbedaan cara baca Al-Quran yang sudah berada pada titik yang menyebabkab umat Islam saling menyalahkan yang pada akhirnya menyebabkan perselisihan . Akibat peristiwa tersebut , timbul lah inisiatif khaalifah Usman untuk mengumpulkan Al-Quran. Orang yang melakukan resensi Al-Quran adalah ; Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said bin Alsh dan Abdurrahman bin Al- Harish .
Dengan demikian suatu naskah absah Al-Quran yang disebut Mushaf Usmani telah diterapakan dan salinan nya di bagi beberapa wilayah utama daerah Islam

  1. 2.      Penyempurnaan Penullisan Al Qur’an Setelah  Masa Khalifah

Mushaf yang ditulis pada masa khalifah Usman tidak memiliki harakat dan tanda titik, sehingga orang non arab yang memeluk Islam merasa kesulitan membaca mushaf tersebut
Oleh karena itu pada masa khalifah Abd Al-Malik ( 685-705 ) dilakukan penyempurnaan oleh dua tokoh berikut :

  1.  Ubaidilllah bin ziyad, beliau melebihkan alif sebagai pengganti dari huruf yang di buang
  2.  Al-Hajjad bin yusuf Ats- Tsaqafi, beliau  menyempurnakan mushaf Usmani pada sebelas tempat yang memudahkan pembaca mushaf,
  3.  Abu Al-Aswad Ad- Du`Ali , Yahya Bin Ya`Mar, Nashr Bin Asyim Al-Laits  sebagai orang yang pertama kali meletakkan tanda titik pada mushaf Usmani.
  4. al-Khalid bin Ahmad Al- Farahidi Al-Azdi , beliau orang yang pertama kali meletakkan hamzah , tasdid, arrum dan Al-Isyamah adalah .

 

  1. 3.      Proses Pencetakan Al-Quran

Berikut ini urutan proses pencetakan Al Qur’an  ;
1.  Pertama kali di cetak di Bundukiyyah pada 1530 M
2. Hinkalman pada masa 1694 M di Hamburg ( jerman )
3. Meracci pada 1698 M di paduoe
4. Maulaya Usman di sain Peter buorgh, Uni Sovyet ( Label Islami )
5. Terbit cetakan di Kazan
6. Iran pada 1248 H / 1828 kota Taheran
7. Ta`di Tabriz pada 1833
8. Ta`di leipez, Jerman pada 1834


BAB III   KEMUKJIZATAN AL QUR’AN

 

Al-Qur`an sebagai kitab samawi terakhir yang diberikan kepada Muhammad sebagai penuntun dalam rangka pembinaan umatnya sangatlah fenomenal. Lantaran di dalamnya sarat nilai-nilai yang unik, pelik dan rumit sekaligus luar biasa. Hal ini lebih disebabkan karena eksistensinya yang tidak hanya sebagai ajaran keagamaan saja, melainkan ajaran kehidupan yang mencakup total tata nilai semenjak hulu peradaban umat manusia hingga hilirnya.  Diantara nilai-nilai tersebut adalah pada aspek kebahasaannya, isyarat-isyarat ilmiyah dan muatan hukum yang terkandung didalamnya. Saking pelik, unik, rumit dan keluar biasanya tak pelak ia menjadi objek kajian dari berbagai macam sudutnya, yang darinya melahirkan ketakkjuban bagi yang beriman dan cercaan bagi yang ingkar.

Namun demikian, seiring dengan waktu dan kemajuan intelkstualitas manusia yang diikuti dengan perkembangan ilmu pengetahuan modern, sedikit demi sedikit nilai-nilai tersebut dapat terkuak dan berpengaruh terhadap kesadaran manusia akan keterbatasan dirinya, sebaliknya mengokohkan posisi Al-Qur`an sebagai kalam Tuhan yang Qudus yang berfungsi sebagai petunjuk dan bukti terhadap kebenaran risalah yang dibawa Muhammad. Serentetan nilai Al-Qur`an yang unik, pelik, rumit sekaligus luar biasa hingga dapat menundukkan manusia dengan segala potensinya itulah yang lazimnya disebut dengan MUKJIZAT.

  1. 1.       Pengertian Mukjizat

 

Kata “Mukjizat” menurut Quraish Shihab berasal dari bahasa Arabأعجز yang berarti “melemahkan atau menjadikan tidak mampu”, sedangkan ة“” ta’ marbutah pada kata معجزة menunjukkan makna mubalaghoh (superlative)

1. Menurut kamus besar Purwo Darminto adalah “kejadian ajaib/luar bisaa yang sukar dijangkau oleh kemampuan manusia”2. Sedangkan menurut pakar agama Islam adalah “suatu hal atau peristiwa luar bisaa yang terjadi melalui seorang yang disebut Nabi, sebagai bukti kenabiannya yang di tantangkan pada yang meragukan, untuk melakukan atau mendatangkan hal serupa, namun mereka tidak mampu melayani tantangan tersebut”.3 Manna’ Khalil Al-Qattan menjelaskan bahwa pengertian “Kelemahan” secara umum ialah ketidakmampuan mengerjakan sesuatu, sehingga nampaklah kemampuan dari “mu’jis”(sesuatu yang melemahkan). Dan kata I’jas dalam konteks ini adalah menampakkan kebenaran Nabi dalam pengakuannya sebagai seorang Rasul dengan menampakkan kelemahan orang Arab beserta generasi-generasi setelahnya untuk menghadapi mu’jizatnya yang abadi( Al-Qur`an).4

Dari definisi tersebut di atas dapat diturunkan beberapa pengertian diantaranya:

  1. Kejadian luar bisaa yang “sukar” dijangkau oleh kemampuan manusia, pertanyaan yang muncul adalah sejauh mana ke-luar bisaaan mukjizat? Dan kata “sukar” pada definissi diatas menimbulkan probability tentang adanya kemungkinan bahwa manusia akan bisa sampai pada maqom sukar tersebut, bila demikian masihkah disebut mu’jizat?. Dalam bukunya yang berjudul “Mukjizat Al-Qur`an” Quraish Shihab menjelaskan bahwa kejadian luar bisaa yang dimaksud adalah sesuatu yang berada diluar jangkauan sebab dan akibat yang terdapat secara umum pada hukum-hukum alam (sunatullah) yang diketahui oleh manusia5. Namun demikian penulis lebih berpendapat bahwa semua keajaiban yang terjadi di alam termasuk mukjizat semuanya adalah rasional artinya bahwa sebenarnya akal mampu menerima kebenaran logis terhadap mukjizat. Hal ini didasarkan pada beberapa ayat dalam Al-Qur`an yang menjelaskan tentang peristiwa-peristiwa yang gaib termasuk konsekuensi dari pahala dan dosa yang akan diterima oleh manusia besuk di hari pembalasan tetapi kenyataannya banyak manusia tidak percaya, tepatnya dalam QS: Yunus: 39 6 .  Dalam pengertian lain bahwa pengetahuan manusia tentang hukum sebab-akibat yang terdapat di alam hanyalah sebagian kecil dari hukum-hukum sebab akibat yang ada dalam pengetahuan Tuhan. Sebagai contoh adalah untuk mendapatkan hasil angka 7 bisa melalui 4+3 = 7 (hukum alam yang dapat diketahui manusia), sedangkang masih banyak sebab-akibat dari hasil angka 7 yang tidak dapat diketahui manusia karena keterbatasan pengindraan. Misalnya 3+3+1=7, (2×2)+3=7, 10-3=7, 100-99+(2×2)+2=7 dst, yang semua sebab-akibat tersebut ditunjukkan oleh Tuhan maka manusia akan mampu memahaminya. Oleh karena itu termasuk kata “sukar” di atas kurang tepat. Karena yakin bahwa manusia dibatasi oleh hukum-hukum alam yang melekat pada dirinya. Tetapi seandainya Allah memberikan penjelasan maka akal akan mampu menerima kebenaran tersebut, namun kenyataannya Allah tak memberikan penjelasan karena ada tujuan-tujuan tertentu yang tak mudah kita pahami.
  2. Melemahkan, istilah ini juga menggoda pada kita untuk mengkaji ulang. Diantara pendapat datang kaum Sirfah Abu Ishaq Ibrahim An-Nizam dan pengikutnya dari kaum syi’ah seperti al-Murtadha mengatakan bahwa kemukjizatan Al-Qur`an adalah dengan cara shirfah (pemalingan). Artinya bahwa Allah memalingkan orang-orang Arab untuk menantang Qur’an, padahal sebenarnya mereka mampu, maka pemalingan inilah yang luar bisaa yang selanjutnya pendapat ini di habisi oleh Qadi Abu bakar al-Baqalani ia berkata: “kalau yang luar bisaa itu adalah shirfah maka kalam Allah bukan mukjizat melainkan Shirfah itu sendiri yang mukjizat” dengan berlandasan pada QS. Al-Isra’:88. 7. Berbeda dengan pendapat kaum sirfah, penulis lebih memandang melalui kaca mata dilalah siyaqiyah, bahwa makna “melemahkan-dilemahkan ” cenderung mengarah pada konteks menang dan kalah. Hal inilah yang menurut penulis kurang etis. Dan ternyata kata melemahkan معجزة) يعجز–(أعجز tidak terdapat dalam Al-Qur`an. kalimat yang digunakan adalah أيت (tanda-tanda) dan بينات (penjelasan) yang dari kedua kata tersebut menurut Prof. DR. H. Said Aqil Munawar, MA. mempunyai dua pengertian pertama; pengkabaran Ilahi (QS.3:118, 252/QS.6:4/ QS10:7dan QS.2:159/ QS 3:86/ QS 10:150). Kedua; tanda-bukti yang termasuk digolongkan mukjizat (QS.3:49/ QS.7:126/ QS.40:78/ QS.27:13 dan QS.7:105/ QS.16:44/ QS.20:72)8. yang menurut penulis sebenarnya jauh dari makna melemahkan atau bahkan mengalahkan.
  3. Dibawa oleh seorang nabi. Seandainya peristiwa luar bisaa tersebut terjadi bukan pada nabi meskipun secara fungsi ada kesamaan dengan mukjizat, bisakah disebut mukjizat?. Dalam buku yang sama Quraish Shihab menjelaskan, selain yang membawa nabi kejadian luar bisaa tersebut bukan dinamakan mukjizat. Beliau menambahkan kalau terjadi pada seseorang yang kelak akan menjadi nabi maka disebut Irhash, adakalanya terjadi pada hamba Allah yang taat yang disebut karomah, dan apabila terjadi pada hamba yang durhaka disebut Istidroj (rangsangan untuk lebih durhaka) atau Ihanah (penghinaan)9. Semua peristiwa tersebut adalah merupakan tanda-tanda dan bukti atas kebesaran Allah agar siapapun yang menyaksikannya baik melalui akal maupun hatinya dapat beriman kepada Allah.
  1. Sebagai Bukti Kerasulan.  Kata “bukti” menyangkut percaya dan tidak percaya, seandainya seseorang telah percaya pada rasul bahwa Ia adalah utusan Allah, adakah masih disebut mukjizat?. Dari definisi mukkjizat, makna “bukti atau tanda” inilah yang paling utama bukan lemah dan melemahkan karena tujuan risalah (kerasulan) adalah agar seseorang mampu memahami dan meyakini bahwa risalah tersebut benar-benar dari Zat yang Maha Kuasa yaitu Allah SWT. Adapaun bagi mereka yang sudah percaya terhadap kerasulan Nabi beserta apa yang disampaikannya yang berupa wahyu dari Tuhan maka peristiwa luar bisaa tersebut tetap disebut mukjizat. Sebab dimensi lain makna mukjizat(ketidak mampuan akal) tetap berlaku pada orang yang sudah percaya tersebut. Oleh karena itu fungsinya disamping sebagai “bukti” juga merupakan penjelasan dan pemantapan terhadap keyakinan seseorang.
  2. Mengandung Tantangan.  Memang kebanyakan ulama diantara misalnya Syahrur juga melihat QS. Al-Isra’: 88 mengandung tantangan dan tantangan tersebut berakhir pada kelemahan mu’jas10, namun hemat penulis bahwa sebenarnya Allah tidak hendak menantang orang-orang kafir. Bagaimana bisa Tuhan menantang mahluknya jelas inpossible, karena maksud dan tujuannya bukan untuk menantang. Dalam ilmu dilaliyah, conten analisis perlu meneropong gaya penuturan Autor, misalnya kalimat ” ayo kalau berani !” ( kondisi marah) mempunyai makna tantangan, sedangkan ” ayo kalau berani ” (kodisi tersenyum) bermakana menguji.
  1. 2.       Makna Kemujizatan Al-Qur`an

Berdasarkan sifatnya, mukjizat (Al-Qur`an) yang diberikan kepada nabi Muhammad SAW. sangatlah berbeda dengan mukjizat-mukjizat yang diberikan kepada nabi-nabi terdahulu. Jika para nabi sebelumnya bersifat hissiy-matrial sedangkan Al-Qur`an bersifat maknawi / immateri. Perbedaan tersebut bertolak pada dua hal mendasar yaitu pertama, para nabi sebelum Muhammad SAW. ditugaskan pada masyarakat dan masa tertentu. Oleh karenanya mukjizat tersebut hanya sementara. Sedangkan Al-Qur`an tidak terbatas pada masyrakat dan masa tertentu sehingga berlaku sepanjang masa. Kedua, secara historis-sosiologis dalam pemikirannya manusia mengalami perkembangan. Auguste Comte(1798-1857) –sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab- ia berpendapat bahwa pikiran manusia dalam perkembangannya mengalami tiga fase. Pertama Fase keagamaan, dikarenakan keterbatasan pengetahuan manusia ia mengembalikan penafsiran semua gejala yang terjadi pada kekuatan Tuhan atau dewa yang diciptakan dari benaknya. Kedua fase metafisika, yaitu manusia berusaha menafsirkan gejala yang ada dengan mengembalikan pada sumber dasar atau awal kejadiannya. Ketiga fase ilmiah, dimana manusia dalam menafsirkan gejala atau fenomena berdasarkan pengamatan secara teliti dan eksperimen sehingga didapatkan hukum-hukum yang mengatur fenomena tersebut11. Posisi Al-Qur`an sebagai mukjizat adalah pada fase ketiga dimana ditengarahi bahwa potensi pikir-rasa manusia sudah luar biasa sehingga bersifat universal dan eternal.

Umumnya mukjizat para rasul berkaitan dengan hal yang dianggap bernilai tinggi dan sebagai keunggulan oleh masing-masing umatnya pada masa itu. Misalnya pada zaman nabi Musa lagi ngeternnya tukang sihir, maka mukjizatnya sebagaimana tertera dalam QS. Al-a’raf: 103-126, As-Su’ara’: 30-51, dan Thoha: 57-73. pada nabi Isa adalah zaman perdukunan / tabib maka mukjizatnya adalah seperti pada QS. Ali Imran: 49 dan Al-Maidah: 110. Dan pada zaman Muhammad lagi marak-maraknya sastra sehingga mukjizat yang mach adalah Al-Qur`an12. Dari sinilah sebagian ulama berpendapat bahwa kemukjizatan Al-Qur`an yang utama saat itu adalah kebahasaan dan kesastraannya di samping isi yang terkandung di dalamnya.

  1. 3.       Kemukjizatan Al-Qur`an dari aspek Bahasa dan Sastra

 

Dari segi kebahasaan dan kesastraannya Al-Qur`an mempunyai gaya bahasa yang khas yang sangat berbeda dengan bahasa masyarakat Arab, baik dari pemilihan huruf dan kalimat yang keduanya mempunyai makna yang dalam. Usman bin Jinni(932-1002) seorang pakar bahasa Arab -sebagaimana dituturkan Quraish Shihab- mengatakan bahwa pemilihan kosa kata dalam bahasa Arab bukanlah suatu kebetulan melainkan mempunyai nilai falsafah bahasa yang tinggi13. Kalimat-kalimat dalam Al-Qur`an mampu mengeluarkan sesuatu yang abstrak kepada fenomena yang konkrit sehingga dapat dirasakan ruh dinamikanya, termasuk menundukkan seluruh kata dalam suatu bahasa untuk setiap makna dan imajinasi yang digambarkannya. Kehalusan bahasa dan uslub Al-Qur`an yang menakjubkan terlihat dari balgoh dan fasohahnya, baik yang konkrit maupun abstrak dalam mengekspresikan dan mengeksplorasi makna yang dituju sehingga dapat komunikatif antara Autor(Allah) dan penikmat (umat)14.

Kajian mengenai Style Al-Qur`an, Shihabuddin menjelaskan dalam bukunya Stilistika Al-Qur`an, bahwa pemilihan huruf dalam Al-Qur`an dan penggabungannya antara konsonan dan vocal sangat serasi sehingga memudahkan dalam pengucapannya. Lebih lanjut –dengan mengutip Az-Zarqoni- keserasian tersebut adalah tata bunyi harakah, sukun, mad dan ghunnah(nasal). Dari paduan ini bacaan Al-Qur`an akan menyerupai suatu alunan musik atau irama lagu yang mengagumkan. Perpindahan dari satu nada ke nada yang lain sangat bervariasi sehingga warna musik yang ditimbulkanpun beragam. Keserasian akhir ayat melebihi keindahan puisi, hal ini dikarenakan Al-Qur`an mempunyai purwakanti beragam sehingga tidak menjemukan. Misalnya dalam surat Al-Kahfi(18: 9-16) yang diakhiri vocal “a” dan diiringi konsonan yang berfariasi, sehingga tak aneh kalau mereka (masyarakat Arab) terenyuh dan mengira Muhammad berpuisi. Namun Walid Al-mughiroh membantah karena berbeda dengan kaidah-kaidah puisi yang ada, lalu ia mengira ucapan Muhammad adalah sihir karena mirip dengan keindahan bunyi sihir (mantra) yang prosais dan puitis. Sebagaimana pula dilontarkan oleh Montgomery Watt dalam bukunya “bell’s Introduction to the Qoran” bahwa style Quran adalah Soothsayer Utterance (mantera tukang tenung), karena gaya itu sangat tipis dengan ganyanya tukang tenung, penyair dan orang gila.15 Terkait dengan nada dan lagam bahasa ini, Quraish Shihab mngutip pendapat Marmaduke -cendikiawan Inggris- ia mengatakan bahwa Al-Qur`an mempunyai simponi yang tidak ada taranya dimana setiap nada-nadanya bisa menggerakkan manusia untuk menangis dan bersuka cita. Misalnya dalam surat An-Naazi’at ayat 1-5. Kemudian dilanjutkan dengan lagam yang berbeda ayat 6-14, yang ternyata perpaduan lagam ini dapat mempengaruhi psikologis seseorang.16

Selain efek fonologi terhadap irama, juga penempatan huruf-huruf Al-Qur`an tersebut menimbulkan efek fonologi terhadap makna, contohnya sebagaimana dikutip Shihabuddin Qulyubi dalam bukunya Najlah “Lughah Al-Qur`an al-karim fi Juz ‘amma”, bunyi yang didominasi oleh jenis konsonan frikatif (huruf sin) memberi kesan bisikan para pelaku kejahatan dan tipuan, demikian pula pengulangan dan bacaan cepat huruf ra’ pada QS. An-Naazi’at menggambarkan getaran bumi dan langit. Contoh lain dalam surat Al-haqqah dan Al-Qari’ah terkesan lambat tapi kuat, karena ayat ini mengandung makna pelajaran dan peringatan tentang hari kiyamat.17

Dari pemilihan kata dan kalimat misalnya, Al-Qur`an mempunyai sinonim dan homonym yang sangat beragam. contohnya kata yang berkaitan dengan perasaan cinta. علق diungkapkan saat bertatap pandang atau mendengar kabar yang menyenangkan, kemudian jika sudah ada perasaan untuk bertemu dan mendekat menggunakan ميل, seterusnya bila sudah ada keinginan untuk menguasai dan memiliki dengan ungkapan مودة, tingkat berikutnya محبة, dilanjutkan dengan خلة, lalu الصبابة , terus الهوى , dan bila sudah muncul pengorbanan meskipun membahayakan diri sendiri namanya العشق , bila kadar cinta telah memenuhi ruang hidupnya dan tidak ada yang lain maka menjadi التتيم , yang semua itu bila berujung pada tarap tidak mampu mengendalikan diri, membedakan sesuatu maka disebut وليه .18 yang semua kata-kata tersebut mempunyai porsi dan efek makna masing-masing. Meminjam bahasanya Sihabuddin disebut lafal-lafal yang tepat makna artinya pemilihan lafal-lafal tersebut sesuai dengan konteksnya masing-masing. Misalanya, dalam menggambarkan kondisi yang tua renta (Zakaria) dalam QS. Maryam: 3-6, Wahanal ‘Azmu minni bukan Wahanal lahmu minni. Juga Wasyta’alar-ra’su syaiba (uban itu telah memenuhi kepala) bukan Wasyta’alas- syaibu fi ra’si (uban itu ada di kepala).19

Masih dalam konteks redaksi bahasa Al-Qur`an berlaku pula deviasi(penyimpangan untuk memperoleh efek lain) misalnya dalam QS. Asy-Su’ara’, ayat 78-82. Pada ayat 78, 79 dimulai dengan lafal allazi, pada ayat 80 dimulai waidza, namun pada ayat 81, 82 kembali dengan allazi, dan fail pada ayat 78,79,81,82 adalah Allah, sedang pada ayat 80 faiilnya orang pertama (saya) tentu kalau di’atofkan pada ayat 78,79,81,82 maka terjadi deviasi pemanfaatan pronomina hua (هو). Lafal yahdiin, yumiitunii wa yasqiin dan yasfiin tanpa didahului promnomina tersebut. Pengaruh dan efek deviasi yang ditimbulkan adalah munculnya variasi struktur kalimat sehingga kalimat-kalimat tersebut tersa baru dan tidak menjemukan20.

Selain itu keseimbangan redaksi Al-Qur`an telah membuat takjub para pemerhati bahasa, baik keseimbangan dalam jumlah bilangan kata dengan antonimnya, jumlah bilangan kata dengan sinonimnya, jumlah kata dengan penyebabnya, jumlah kata dengan akibatnya, maupun keseimbangan-keseimbangan yang lain(khusus). Misalnya الحياة dan الموت masing-masing sebanyak 145 kali. النفع dan الفساد sebanyak 50 kali dan seterusnya. Kata dan sinonimnya misalnya, الحرث dan الزراعة sebanyak 14 kali,العقل dan النور sebanyak 49 kali dan lain sebagainya. Kata dengan penyebabnya misalnya, الاسرى (tawanan) dan الحرب sebanyak 6 kali, السلام dan الطيبات sebanyak 60 kali dan lain-lainnya. Kata dan akibatnya contohnya, الزكاة dan البركات sebanyak 32 kali,الانفاق dan الرضا sebanyak 73 kali.21

Secara umum Said Aqil merangkum keistimewaan Al-Qur`an sebagai berikut:

  1. Kelembutan Al-Qur`an secara lafziyah yang terdapat dalam susunan suara dan keindahan bahasa.
  2. Keserasian Al-Qur`an baik untuk orang awam maupun cendekiawan.
  3. Sesuai dengan akal dan perasaan, yakni Al-Qur`an memberi doktrin pada akal dan hati, serta merangkum kebenaran serta keindahan sekaligus.
  4. Keindahan sajian serta susunannya, seolah-olah suatu bingkai yang dapat memukau akal dan memusatkan tanggapan dan perhatian.
  5. Keindahan dalam liku-liku ucapan atau kalimat serta beraneka ragam dalam bentuknya.
  6. Mencakup dan memenuhi persyaratan global(ijmali) dan terperinci (tafsily).
  7. Dapat memahami dengan melihat yang tersurat dan tersirat.22

Semua data-data yang penulis paparkan, hanyalah sekelumit kandungan kemukjizatan dari sisi kebahasaan dan tentunya masih banyak hal terkait dengan kontek ini yang tak mungkin penulis bahas. Singkat kata bahwa ditinjau dari kebahasaan Al-Qur`an mempunyai kandungan makna luar bisa baik pemilihan kata, kalimat dan hubungan antar keduanya, efek fonologi terhadap nada dan irama yang sangat berpengaruh terhadap jiwa penikmatanya atau efek fonologi terhadap makna yang ditimbulkan serta deviasi kalimat yang sarat makna. Sehingga tak heran bila Al-Qur`an menempatkan dirinya sebagai seambrek simbul yang sangat komunikatif lagi fenomenal. Eksistensinya yang sedemikian luarbisa, membuat bangsa Arab khususnya saat itu bertekuk lutut dan tak mampu berbuat apa-apa.

4. Kemukjizatan Al-Qur`an dari Aspek Isyarat Ilmiah

 

Selain keistimewaan pada kebahasaan, Al-Qur`an juga mempunyai isyarat-isyarat ilmiyah yang sebagian ulama menganggap sebagai bentuk kemukjizatan Al-Qur`an. Diantara isyarat-isyarat itu adalah bagaimana Al-Qur`an berbicara tentang reproduksi manusia. Setidaknya ada beberapa ayat yang menjelaskan proses kejadian manusia yang berasal dari Nutfah (air mani), yaitu surat Al-Qiyamah (75:36 -39):

Artinya :

(36) Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)?  (37) Bukankah dia dahulu setetes mani yang ditumpahkan (ke dalam rahim) (38) Kemudian mani itu menjadi segumpal darah, lalu Allah menciptakannya, dan menyempurnakannya (39) Lalu Allah menjadikan daripadanya sepasang: laki-laki dan perempuan.

Surat An-. Najm (53: 45-46):

¼çm¯Rr&ur t,n=y{ Èû÷üy_÷r¨“9$# tx.©%!$# 4Ós\RW{$#ur ÇÍÎÈ `ÏB >pxÿôܜR #sŒÎ) 4Óo_ôJè? ÇÍÏÈ

Artinya :

(45)  Dan bahwasanya Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan pria dan wanita. (46) Dari air mani, apabila dipancarkan

Surat Al-Waqi’ah (56: 58-59)

Artinya :

58. Maka Terangkanlah kepadaku tentang nutfah yang kamu pancarkan.

59. Kamukah yang menciptakannya, atau kamikah yang menciptakannya?

Ayat-ayat di atas pada zaman modern sesuai dengan penemuan para ahli genetika bahwa air mani yang menyembur dari laki-laki mengandung 200.000.000 lebih sel sperma yang salah satu darinya akan menembus rahim dan membuahi ovum. Dalam konsep tersebut bahwa sel sperma mempunyai kromosum yang dilambangkan hurup XY, sedangkan perempuan XX. Apabila sel sperma yang berkromosum X lebih dominan maka akan lahir perempuan sedang apabila yang lebih dominan Y maka akan lahir laki-laki. Barang kali inilah penjelasan sementara tentang informasi ayat ke 39 surat Al-Qiyamah. Kemudian setelah ovum terbuahi akan menjadi zigot atau yang dalam ayat ke 38 disebut ‘Alaqoh.23

Selain itu, Al-Qur`an juga mengisyaratkan tentang kejadian alam semesta, bahwa langit dan bumi tadinya merupakan satu gumpalan seperti digambarkan dalam QS. Al-Anbiya`21: 30.

Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, Kemudian kami pisahkan antara keduanya. dan dari air kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?

Pada tahun 1929 Edwin P. Hubbel (1889-1953) mengadakan observasi yang menunujukkan adanya pemuaian alam semesta. Hal ini sesuai dengan QS. Azdariyat ayat 57 bahwa alam semesta berekspansi bukan statis sebagaimana diduga Enstin. Ekspansi itu melahirkan sekitar seratur milyar galaksi yang masing-masing mempunyai 100 milyar bintang. Pada awalnya semua benda-benda langit tersebut merupakan gumpalan gas padat terdiri dari proton dan neutron yang mempunyai kisaran secara teratur, dan pada derajat temperature tertentu gumpalan tersebut meledak yang proses ini lazimnya disebut Big Bang.24

Diantara isyarat ilmiyah lain adalah gunung. Secara eksplisit kata gunung dalam Al-Qur`an disebutkan sebanyak 39 kali dan secara implisit terdapat 10 kali. Dari 49 ayat tersebut 22 diantaranya menggambarkan gunung sebagai pasak atau pancang bumi. Misalnya dalam surat An Naba` 78:7

Artinya : Dan gunung-gunung sebagai pasak.

Begitu juga dalam QS. 13:3, 15:19, 16:15, 21:31, 27:61, 31:10, 50:7, 77:27 dan 79:32.

Fakta-fakta mengenai gunung, baru tersingkap oleh para pakar pada akhir tahun 1960-an, bahwa gunung mempunyai akar, dan peranannya dalam menghentikan gerakan menyentak horizontal lithosfer, baru dapat difahami dalam kerja teori lempengan tektonik(plate tetonics). Hal ini dapat dimengerti karena akar gunung mencapai 15 kali ketinggian di permukaan bumi sehingga mampu menjadi stabilisator terhadap goncangan dan getaran.25

Lebih lanjut Airy(1855) mengatakan bahwa lapisan di bawah gunung bukanlah lapisan yang kaku melainkan gunung itu mengapung pada lautan bebatuan yang lebih rapat. Namun demikian massa gunung yang besar tersebut diimbangi defisiensi massa dalam bebatuan sekelilingnya di bawah gunung dalam bentuk akar. Akar gunung memberikan topangan buoyancy serupa dengan semua benda yang mengapung. Ia menggambarkan kerak bumi yang berada di atas lava dapat dibandingkan dengan kenyataan sehari-hari yaitu seperti rakit kayu yang mengapung di atas air, dimana permukaan rakit yang mengapung lebih tinggi dari permukaan lainnya juga mempunyai permukaan yang lebih dalam. Dengan demikian permukaan bumi tetap dalam Equilibrium Isostasis, artinya bawa permukaan bumi berada dalam titik keseimbangan akibat perbedaan antara Volume dan daya grafitasi.26

Masih banyak lagi isyarat-isyarat ilmiyah yang disinggung Al-Qur`an misalnya tentang kejadian awan, sistem kehidupan lebah, tumbuhan-tumbuhan yang berklorofil dan seterusnya, yang semua itu merangsang terhadap adanya pembuktian-pembuktian secara empiris dan rasionalis. Dan semakin bukti-bukti itu terkuak semakin nyatalah kebenaran Al-Qur`an bahwa ia bukan buatan Muhammad. Bagaimana mungkin seorang Muhammad yang 14 abad silam tak mengenal pendidikan tidak bisa baca-tulis mampu menjelaskan hal itu semua.

Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana posisi kebenaran ilmiyah terhadap isyarat-isyarat ilmiyah Al-Qur`an?. Satu hal yang harus dipahami adalah bahwa Al-Qur`an bukanlah buku kumpulan teori ilmiyah, ia lebih merupakan suatu petunjuk untuk menuju pada tujuan yang benar. Apabila kita menganalisa sedikit ayat-ayat diatas bahwa Al-Qur`an tidak hanya berhenti pada isyarat ilmiyah tetapi lebih pada bagaimana setelah manusia itu memahami dan mengerti terhadap isyarat-isyarat ilmiyah tersebut. Adapun ke-ilmiyah-an Al-Qur`an hanya sebatas juklak agar tujuan-tujuan Tuhan lebih komunikatif dan efektif. Sehingga ada perbedaan mendasar atas ke-ilmiyah-an Al-Qur`an dan “ke-ilmiyah-an” dalam pengetahuan manusia. Sehingga dapat di analogkan ke-ilmiyah-an Al-Qur`an adalah peta dan “ke-ilmiyah-an” manusia adalah proses penelusuran jejak-jejak tersebut, oleh karenanya hanya bersifat justifikasi andaikata benar. Sebab sevalid apapun ke-ilmiyah-an manusia ia tetap tunduk pada hukum-hukum dan teori-teori ke-probabilitas-an manusia yang notabene bersifat serba terbatas.

5. Kemukjizatan Al-Qur`an Dari Aspek Kisah-kisah Purba

Diantara hal yang menarik dari Al-Qur`an adalah bahwa Al-Qur`an memuat beberapa cerita kaum-kaum terdahulu, hingga jauh ke hulu sejarah peradaban umat manusia yang tak mungkin buku sejarah manapun mampu mengcover secara akurat. Memang Al-Qur`an tidak memaparkan secara kronologis-histories, karena memang Al-Qur`an bukanlah buku sejarah. Al-Qur`an menggunakan sejarah purba tersebut hanya sebagai icon terhadap sebuah fenomena tertentu dengan maksud dan tujuan tertentu. Sehingga starting pointnya dalam memahami kisah-kisah yang terdapat dalam Al-Qur`an bukan dari dimensi histories ansih, melainkan dari dimensi agama kisah merupaka metode Tuhan dalam rangka menyampaikan ajaran yang terkandung di dalamnya. Bahkan Al-Qur`an juga memberi informasi terhadap kejadian-kejadian yang bakal terjadi, misalnya kemenangan bangsa Romawi atas bangsa Persia pada masa sekitar sembilan tahun sebelum peristiwa tersebut terjadi. Juga cerita tentang datangnya seekor binatang yang dapat bercakap-cakap menjelang hari kiyamat, yang terdapat dalam surat An-Naml 27: 82.27

Artinya : Dan apabila perkataan Telah jatuh atas mereka, kami keluarkan sejenis binatang melata dari bumi yang akan mengatakan kepada mereka, bahwa Sesungguhnya manusia dahulu tidak yakin kepada ayat-ayat Kami.

Manna’Kholil Khattan menyebutkan macam-macam kisah yang terdapat di Al-Qur`an. Pertama, kisah-kisah para Nabi dan segala hal yang menyangkut perjuangannya. Seperti Nabi Nuh AS, Ibrahim AS, Musa AS, Isa AS, Muhammad SAW. dan seterusnya. Kedua, kisah-kisah yang berhubungan dengan masa lulu dan orang-orang yang belum bias dipastikan kenabiaanya. Misalnya kisah beribu-ribu orang yang pergi dari kampungnya karena takut mati, kisah Talut dan Jalut, dua orang putra Adam, Ashaabul kahfi, Zulkarnain, ashaabul Sabt, Karun dan lain-lainnya. Ketiga, kisah yang berhubungan dengan peristiwa yang terjadi pada Nabi Muhammad SAW. seperti perang badar, prang uhud, perang Hunain, perang Ahzab, tentang Isra` dan Mi’raj dan lain-lain.28

Sementra diantara kritikus baik dari orientalis maupun oksidentalis ada yang meragukan. Salah satunya seperti yang dikutip Manna’Kholil Khattan, bahwa salah satu kandidat doctor di Mesir mengajukan judul Al Fannul Qasasiy fil Qur`an, yang intinya dalam disertasi tersebut menyatakan bahwa kisah-kisah dalam Al-Qur`an merupakan karya seni yang tunduk kepada daya cipta dan kreatifitas kaidah-kaidah seni, tanpa harus memegangi sisi kebenaran sejarah. Dari pernyataan ini jelas sekali bahwa ia meragukan kebenaran terhadap kisah-kisah dalam Al-Qur`an.29

Dalam Al-Qur`an surat Al-Hadid (57) :26 disebutkan:

Artinya : “Dan Sesungguhnya kami Telah mengutus Nuh dan Ibrahim dan kami jadikan kepada keturunan keduanya kenabian dan Al kitab, Maka di antara mereka ada yang menerima petunjuk dan banyak di antara mereka fasik”.

Barang kali kita merasa tertohok jika ada orang bertanya kapan dan dimana Nabi Nuh itu hidup adakah bukti-bukti secara empiris terhadap hal itu?. Untuk menelusuri pertanyaan ini kita dapat murujuk pada tradisi Islam yaitu Al-Qur`an-hadis dan sebagainya, tradisi Semitis yang meliputi injil, data arkeologis dan antropologis.

Al-Qur`an surat 11:44, mengisahkan bahwa perahu Nabi Nuh terdampar di gunung Judy. Maulana Yusuf menafsirkan, gunung Judy terletak di daerah yang meliputi distrik Bohran di Turki; yaitu dekat perbatasan Turki sekarang dan Irak dan Syiria. Yakni pegunungan besar Plateau Ararat yang mendomonasi distrik ini.

Dalam teradisi Islam dari Imam Abu al-Fida’ Al-Tadmuri (Mattewhs 1949) dapat disimpulkan bahwa sejarah Nabi Nuh AS mulai sekitar 6000 tahun yang lalu atau 4000 SM. Sementara daerah sekitar seperti ayat di atas di huni oleh penduduk lembah Trigis Hulu atau keturunan mereka. Di samping itu pertemuan tadisi Islam dan Injil menguatkan hal tersebut. Menurut Al-Tadmuri nabi Nuh mempunyai tiga putra yaitu Sam, Ham dan Yafat. Menurut tradisi Injil dan Yahudi putra Nabi Nuh adalah Shem, Ham dan Japhet. Sementara Kanaan masih polemic ada yang mengatakan termasuk putranya atau cucunya dari Ham, yang jelas masih keluarga Nabi Nuh.30

Para sarjan Yahudi percaya bahwa Sam adalah cikal-bakal kelompok ras yang umumnya sekarang disebut Timur Tengah. Ham dianggap sebagai nenek moyang oaring yang tinggal di Afrika Utara sedangkan kanaan sebagai asal-usul Canaanites yaitu Hittites, Amorites, Jebusites, Hivites, Girghasites dan Perrizites. Dan Yafat dianggap sebagai bapak dari bangsa yang mendiami daerah utara dan barat Palestina.

Keterangan yang mirip di tuturkan oleh Al-Tadmuri dalam bukunya Muthir Al-Gharam Fi Fadl Zuyarat Al-Khalili dengan mengutip riwayat At-Tha’labi bahwa Sam adalah bapak dari orang Arab, Parsi dan Yunani, Ham adalah bapaknya orang Negro dan Yafat adalah bapaknya orang Turki, Barbar dan Ya’juj dan Ma’juj.31

Dari perkawinan tradisi di atas nampak formasi kehidupan Nabi Nuh sekaligus mempertegas terhadap kisah yang ada dalam Al-Qur`an bukanlah mengada-ada. Meskipun dari sudut latar, setting, plot dan alur tidak jelas. Karena Al-Qur`an tidak hendak me-narasi-kan suatu peristiwa dengan pendekatan sastra. Dan menurut penulis eksistensinya Al-Qur`an sebagai satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan -terkait dengan masalah kisah-kisah ini- maka bila satu kisah sudah dapat dibuktikan secara empiris maka ini sekaligus membuktikan bahwa seluruh kisah dalam Al-Qur`an adalah benar dan non fiktif adanya.

 

6. Kemukjizatan Al-Qur`an dari aspek Tasyri’ (hukum)

Tak kalah menakjubkan lagi ketika Al-Qur`an berbicara tentang hukum(tasyri’) baik yang bersifat individu, sosial(pidana, perdata, ekonomi serta politik) dan ibadah. Sepanjang sejarah peradaban umat, manusia selalu berusaha membuat hukum-hukum yang mengatur sekaligus sebagai landasan hidup mereka dalam kehidupan mereka. Namun demikian hukum-hukum tersebut selalu direkonstruksi diamandement bahkan dihapuskan sesuai dengan tingkat kemajuan intelekstualitas dan kebutuhan dalam kehidupan sosial yang semakin kompleks. Perkara ini tak berlaku pada Al-Qur`an. Hukum-hukum Al-Qur`an selalu kontekstual berlaku sepanjang hayat, dimanapun dan kapanpun karena Al-Qur`an datang dari Zat yang Maha Adil lagi Bijaksana.

Dalam menetapkan hukum Al-Qur`an menggunakan cara-cara sebgai berikut; pertama, secara mujmal. Cara ini digunakan dalam banyak urusan ibadah yaitu dengan menerangkan pokok-pokok hukum saja. Demikian pula tentang mu’amalat badaniyah Al-Qur`an hanya mengungkapkan kaidah-kaidah secara kuliyah.sedangkang perinciannya diserahkan pada As-Sunah dan ijtihad para mujtahid. Kedua, hukum yang agak jelas dan terperinci. Misalnya hukum jihad, undang-undang peranghubungan umat Islam dengan umat lain, hukum tawanan dan rampasan perang. Seperti QS. At-Taubah 9:41. Ketiga, jelas dan terpeinci. Diantara hukum-hukum ini adalah masalah hutang-piutang QS. Al-Baqarah,2:282. Tentang makanan yang halal dan haram, QS. An-Nis` 4:29. Tentang sumpah, QS. An-Nahl 16:94. Tentang perintah memelihara kehormatan wanita, diantara QS. Al-Ahzab 33:59. dan perkawinan QS. An-Nisa` 4:22.32

Yang menarik diantara hukum-hukum tersebut adalah bagaimana Tuhan memformat setiap hukum atas dasar keadilan dan keseimbangan baik untuk jasmani dan rohani, individu maupun sosial sekaligus ketuhanan. Misalnya shalat yang hukumnya wajib bagi setiap muslim yang sudah aqil-balig dan tidak boleh ditinggalkan atau diganti dengan apapun. Dari segi gerakan banyak penelitian yang ternyata gerakan shalat sangat mempengaruhi saraf manusia, yang intinya kalau shalat dilakukan dengan benar dan khusuk (konsentrasi) maka dapat menetralisir dari segala penyakit yang terkait dengan saraf, kelumpuhan misalnya. Juga shalat yang kusuk merupakan bentuk meditasi yang luar biasa, sehingga apabila seseorang melakukan dengan baik maka jiwanya akan selamat dari goncangan-goncangan yang mengakibatbatkan sters hingga gila.

Dalam konteks sosial shalat mampu mencegah perbuatan keji dan mungkar seperti dalam QS. Al-‘Ankabut 29: 45,

Artinya :

45. Bacalah apa yang Telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan Dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.

yang kedua perbuatan tersebut merupakan biang kerok penyakit sosial. Semua bentuk kejahatan sosial seperti politik kotor, korupsi, kriminalitas pelecehan seksual yang semua itu disebabkan oleh nafsu (potensi) syaitoniyah dan shalat adalah obat mujarab untuk itu. Contoh lain misalnya Al-Qur`an Ali iIran 2:159 yang menanamkan sistem hukum sosial dengan berdasar pada azas musyawarah.

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah Lembut terhadap mereka. sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu[33]. Kemudian apabila kamu Telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.

Ayat diatas menganjurkan untuk menyelesaikan semua problem sosial dengan azaz musyawarah agar dapat memenuhi keadilan bersama dan tidak ada yang dirugikan. Nilai yang dapat diambil adalah bagaimana manusia harus mampu bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan kelompoknya, karena hasil keputusan dengan musyawarah adalah keputusan bersama. Dengan demikian keutuhan masyarakat tetap terjaga. Ayat selanjutnya apabila sudah sepakat dan saling bertanggung jawab maka bertawakkal kepada Allah. Hal ini mengindikasikan harus adanya kekuasaan mutlak yang menjadi sentral semua hukum dan sistem tata nilai manusia.

Demikianlah karakteristik sekaligus rahasia hukum-hukum Tuhan yang selalu menjaga keadilan dan keseimbangan baik individu, sosial dan ketuhanan yang tak mungkin manusia mampu menciptakan hukum secara kooperatif dan holistic. Oleh karena itu tak salah bila seorang Rasyid Rida -sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab- mengatakan dalam Al-Manarnya bahwa petunujuk Al-Qur`an dalam bidang akidah, metafisika, ahlak, dan hukum-hukum yang berkaitan dengan agama, sosial, politik dan ekonomi merupakan pengetahuan yang sangat tinggi nilainya. Dan jarang sekali yang dapat mencapai puncak dalam bidang-bidang tersebut kecuali mereka yang memusatkan diri secara penuh danmempelajarinya bertahun-tahun. Padahal sebagaimana maklum Muhammd sang pembawa hukum tersebut adalah seorang Ummy dan hidup pada kondisi dimana ilmu pengetahuan pada masa kegelapan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB IV  KESIMPULAN

 

Al-Quran turun selama 22 tahun 2 bulan 22 hari, dari 17 Ramazan tahun 41 dari kelahiran Nabi sampai 9 Zulhijjah Haji wada`tahun 63 dari kelahiran Nabi atau 10 H Al-Quran turun melalui tiga tahap  yaitu  Al Quran turun sekaligus dari Allah ke Lukh mahfudh, Al- Quran turun dari laukh mahfudh ke bait Al- izzah dan Al-Quran turun dari bait Al- izzah ke hati Nabi melalui perantara Jibril dengan berangsur-angsur, kadang satu ayat, dua ayat, bahkan satu surat

Berbagai metode penulisan Al Qur’an  dari masa ke masa dilakukan untuk menjaga keaslian Al Qur’an hingga akhir zaman.

Menanggapi masalah definisi mukjizat yang telah dihadirkan para ulama, penulis lebih cenderung pada makna “bukti”, hal ini didasarkan pada bahwa kata “mukjizat” tidak ditemukan dalam al-quran melainkan kata “ayat”. Bukti-bukti inilah yang luar biasa sehingga manusia khusunya masyarakat Arab ketika itu bertekuk lutut atau paling tidak sebenarnya mereka mengakuinya. Diantara bukti-bukti yang luar biasa tersebut adalah pada aspek kebahasaannya, isyarat-isyarat ilmiyah dan muatan hukum yang terkandung didalamnya.

Ditilik dari kebahasaan, Al-Qur`an mempunyai kandungan makna luar biasa baik yang dihasilkan dari pemilihan kata, kalimat dan hubungan antar keduanya, efek fonologi terhadap nada dan irama yang sangat berpengaruh terhadap jiwa penikmatanya atau efek fonologi terhadap makna yang ditimbulkan serta deviasi kalimat yang sarat makna. Ditambah lagi adanya keseimbangan redaksinya serta keseimbangan antara jumlah bilangan katanya. Sehingga tak heran bila Al-Qur`an menempatkan dirinya sebagai seambrek simbul yang sangat kominikatif lagi fenomenal.

Tak kalah serunya Al-Qur`an dilihat dari demensi ilmiyah. Bagaimana Al-Qur`an mendiskripsikan tentang reproduksi manusia, hal ihwal proses penciptaan alam beserta frora dan faunanya tentang awan peredaran matahari dan seterusnya yang semua itu dapat dibuktikan keabsahannya melalui kacamata ilmiyah, sehingga menujukkan bahwa Al-Qur`an sejalan dengan rasio dan akal manusia.

Adanya kisah-kisah misterius dalam Al-Qur`an, menempatkannya sebagai ajaran kehidupan yang mencakup total tata nilai mulai hulu peradaban umat manusia hingga hilirnya. Bahwa peristiwa-peristiwa tersebut sengaja dihadirkan oleh Tuhan agar manusia mampu menjadikannya sebagai ‘ibrah kehidupan. Ia merupakan sebuah metode yang dipilih Tuhan untuk menuangkan nilai yang terkandung didalamnya.

Keistimewaan Al-Qur`an yang paling esensi adalah petunjuk hukum secara kooperatif, komprehensif dan holistik baik yang berkenaan masalah akidah, agama, sosial, pilitik dan ekonomi yang secara umum bertolak pada azaz keadilan dan keseimbangan, baik secara jasmani dan rohani, dunia dan akhirat atau manusia sebagai indifidu, social masyarakat atau dengan Tuhannya. Demikianlah yang dapat penulis paparkan dan akhirnya wallahu ‘alam bish-shawab.

DAFTAR PUSTAKA

Rosihan Anwar. 2004. Ulumul Quran . Bandung : Pustaka Setia Al- Shalih Subhi. 1990.  Mabahis Fi Uluimil Quran . Jakarta: Tim Pustaka

Al-Qur`an Terjemah versi مجمع الملك المدينة المنورة 1418 H

Dekdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, hal 596, Balai Pustaka Jakarta, Cet. Ke II 1989

M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qur`an, Misan Bandung, cetakan V April 1999

Manna’ Khalil al_Qattan, Studi Ilmu Qur’an ( terjamahan dariمباحث في علوم القرآن ), Litera Antar Nusa dan Pustaka Ilmiyah, IKAPI Yogyakarta, cetakan V 1998

Prof. DR. H. Said Aqil Munawar, MA, Al-Qur`an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Ciputat Press Jakarta, Cetakan ke 2 Agustus 2002

Shihabuddin Qulyubi, Stilistika Al-Qur`an, Titan Ilahi Perrs yogyakarta cetakan 1 November 1997

M. Syahrur, al-Kitab wa Al-Qur`an (qiraatun mu’asharatun), Syarikah Al-matbuu’ah littauzii’ wa an-nasyr Beirut Libanon cetakan ke VI 2000.

Ahmad Ash Showy (et.al) Mukjizat Al-Qur`an dan As-Sunah tentang IPTEK, GP Jakarta cet. Ke IV 1999

1 M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Quran, Misan Bandung, cetakan V April 1999, hal 23

2 Dekdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, hal 596, Balai Pustaka Jakarta, Cet. Ke II 1989

3 M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Quran, Misan Bandung, cetakan V April 1999, hal 23

4 Manna’ Khalil al_Qattan, Studi Ilmu Qur’an ( terjamahan dariمباحث في علوم القرآن ), Litera Antar Nusa dan Pustaka Ilmiyah, IKAPI Yogyakarta, cetakan V 1998 hal. 371

5 M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Quran, Misan Bandung, cetakan V April 1999, hal. 24

6 Dalam Al-quran versi مجمع الملك المدينة المنورة diterjemahan . Padahal belum datang kepada mereka penjelasannya , hal ini mengandung arti bahwa sebenarnya akal manusia mampu menerima kebenaran atas ayat-ayat Allah khususnya yang terkait dengan al-quran sebagai mukjizat atas isi dan susunan bahasanya. Karena dalam hal ini bahwa keluarbiasaan tersebut berlaku di alam untuk manusia.

7 Manna’ Khalil al_Qattan, (Studi Ilmu Qur’anterjemahan dari مباحث في علوم القرآن ), Litera Antar Nusa dan Pustaka Ilmiyah, IKAPI Yogyakarta, cetakan V 1998 hal. 375

8 Prof. DR. H. Said Aqil Munawar, MA, Al-Quran Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Ciputat Press Jakarta, Cetakan ke 2 Agustus 2002, hal. 30

9 M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Quran, Misan Bandung, cetakan V April 1999, hal. 24

10 Lih. M. Syahrur dalam bukunya al-Kitab wa al-Quran (qiraatun mu’sharatun), Syarikah Al-matbuu’ah littauzii’ wa an-nasyr Beirut Libanon cetakan ke VI 2000. hal 179

11 M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Quran, Misan Bandung, cetakan V April 1999, hal. 36-37

12 Prof. DR. H. Said Aqil Munawar, MA, Al-Quran Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Ciputat Press Jakarta, Cetakan ke 2 Agustus 2002, hal. 31

13 M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Quran, Misan Bandung, cetakan V April 1999, hal. 90

14 Prof. DR. H. Said Aqil Munawar, MA, Al-Quran Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Ciputat Press Jakarta, Cetakan ke 2 Agustus 2002, hal. 33-34

15 Lihat Shihabuddin Qulyubi, Stilistika Al-Quran, Titan Ilahi Pers yogyakarta cetakan 1 November 1997, hal. 39-41

16 M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Quran, Misan Bandung, cetakan V April 1999, hal. 119

17 Shihabuddin Qulyubi, Stilistika Al-Quran, Titan Ilahi Perrs yogyakarta cetakan 1 November 1997, hal. 45-46

18 M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Quran, Misan Bandung, cetakan V April 1999, hal. 97

19 Shihabuddin Qulyubi, Stilistika Al-Quran, Titan Ilahi Perrs yogyakarta cetakan 1 November 1997, hal. 54

20 Ibid. hal. 60

21 M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Quran, Misan Bandung, cetakan V April 1999, hal. 141-142

22 Prof. DR. H. Said Aqil Munawar, MA, Al-Quran Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Ciputat Press Jakarta, Cetakan ke 2 Agustus 2002, hal. 35

23 Quraish Shihab, Mukjizat Al-Quran, Misan Bandung, cetakan V April 1999, hal. 166-170

24 Ibid. hal 171-172

25 Zaghul Raghib Muhammad Al Najar, Mukjizat Al-Qur`an dan As-Sunah tentang IPTEK, GP Jakarta cet. Ke IV 1999, hal 122

26 Ibid, hal. 180

27 Quraish Shihab, Mukjizat Al-Quran, Misan Bandung, cetakan V April 1999, hal. 194

28 Manna’ Khalil al_Qattan, (Studi Ilmu Qur’an مباحث في علوم القرآن terjemahan dari ), Litera Antar Nusa dan Pustaka Ilmiyah, IKAPI Yogyakarta, cetakan V 1998 hal. 436

29 Ibid, hal. 438-439

30 Zaghul Raghib Muhammad Al Najar, Mukjizat Al-Qur`an dan As-Sunah tentang IPTEK, GP Jakarta cet. Ke IV 1999, hal 67-68

31 Ibid. hal 68-69

32 Prof. DR. H. Said Aqil Munawar, MA, Al-Quran Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Ciputat Press Jakarta, Cetakan ke 2 Agustus 2002, hal. 49-52

33 Maksudnya urusan peperangan dan hal-hal duniawiyah lainnya, seperti urusan politik, ekonomi dan hal-hal kemasyarakatan lainnya. Terjemahan Al-quran versi مجمع الملك المدينة المنورة 1418. hal. 103