Inilah Sejarah Konferensi Asia Afrika


SEJARAH KONFERENSI ASIA AFRIKA
Berakhirnya Perang Dunia II pada bulan Agustus 1945,tidak berarti berakhir pula situasi permusuhan di antara bangsa-bangsa di dunia dan tercipta perdamaian dan keamanan. Ternyata di beberapa pelosok dunia, terutama dibelahan bumi Asia Afrika,masih ada masalah dan muncul masalah baru yang mengakibatkan masalah baru yang mengakibatkan permusuhan yang terus berlangsung,bahkan pada tingkat perang terbuka, seperti di Jazirah Korea, Indo Cina, Palestina, Afrika Selatan, Afrika Utara.
Masalah-masalah tersebut sebagian disebabkan oleh lahirnya dua blok kekuatan yang bertentangan secara ideology maupun kepentingan,yaitu Blok Barat dan Blok Timur.Blok Barat dipimpin oleh Amerika Serikat dan Blok Timur dipimpin oleh Uni Sovyet. Tiap-tiap Blok berusaha menarik negara-negara Asia dan afrika agar menjadi pendukung mereka. Hal ini mengakibatnkan tetap hidupnya dan bahkan tumbuhnya suasana permusuhan yang terselubung diantara dua Blok itu dan pendukungnya. Suasana permusuhan tersebut dikenal dengan nama “Perang Dingin”.
Timbulnya pergolakan didunia disebabkan pula masih adanya penjajahan di bumi kita ini, terutama di belahan Asia dan Afrika. Memang sebelum tahun 1945, pada umumnya dunia Asia dan Afrika merupakan daerah jajahan bangsa Barat dalam aneka bentuk. Tetapi sejak tahun 1945, banyak di daerah Asia Afrika menjadi negara merdeka dan banyak pula yang masih berjuang bagi kemerdekaan negara dan bangsa mereka seperti Aljazair, Tunisia, dan Maroko di wilayah Afrika Utara; Vietnam di Indo Cina; dan di ujung selatan Afrika. Beberapa negara Asia Afrika yang telah merdeka pun masih banyak yang menghadapi masalah-masalah sisa penjajahan seperti Indonesia tentang Irian Barat , India dan Pakistan terpaksa mengungsi, karena tanah air mereka diduduki secara paksa oleh pasukan Israel yang di Bantu oleh amerika Serikat.
Sementara itu bangsa-bangsa di dunia, terutama bangsa-bangsa Asia Afrika, sedang dilanda kekhawatiran akibat makin dikembangkannya senjata nuklir yang bisa memusnahkan umat manusia. Situasi dalam negeri dibeberapa Asia Afrika yang telah merdeka pun masih terjadi konflik antar kelompok masyarakat sebagai akibat masa penjajahan (politik divide et impera) dan perang dingin antar blok dunia tersebut.
Walaupun pada masa itu telah ada badan internasional yaitu Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berfungsi menangani masalah-masalah dunia, namun nyatanya badan ini belum berhasil menyelesaikan persoalan tersebut. Sedangakan kenyataannya, akibtan yang ditimbulkan oleh masalah-masalah ini, sebagian besar diderita oleh bangsa-bangsa di Asia Afrika.
Keadaan itulah yang melatarbelakangi lahirnya gagasan untuk mengadakan Konferensi Asia Afrika.
LAHIRNYA IDE KONFERENSI
Keterangan Pemerintah Indonesia tentang politik luar negeri yang disampaikan oleh Perdana Menteri Mr.Ali Sastroamidjojo, di depan parlemen pada tanggal 25 Agustus 1953, menyatakan;
“Kerja sama dalam golongan negara-negara Asia Arab (Afrika) kami pandang penting benar, karena kami yakin, bahwa kerja sama erat negara-negara tersebut tentulah akan memperkuat usaha ke arah perdamaian dunia yang kekal. Kerjasama antar negara-negara Asia Afrika tersebut adalah sesuai benar dengan aturan-aturan dalam PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) yang menyenangi kerjasama kedaerahan (regional arrangements). Lain dari itu negara-negara itu pada umumnya memang mempunyai pendirian-pendirian yang sama dalam beberapa soal di lapangan internasional, jadi mempunyai dasar sama (commonground)untuk mengadakan golongan yang khusus. Dari sebab itu kerja sama tersebut akan kami lanjutkan dan pererat”.
Bunyi pernyataan tersebut mencerminkan ide dan kehendak Pemerintah Indonesia untuk mempererat kerja sama di antara negara-negara Asia Afrika.
Pada awal tahun 1954, Perdana Menteri Ceylon (Srilangka) Sir Jhon Kotelawala mengundang para Perdana Menteri dari Birma (U Nu), India (Jawaharlal Nehru), Indonesia (Ali Sastroamidjojo), dan Pakistan (Mohammed Ali) dengan maksud mengadakan suatu pertemuan informal di negaranya. Undangan tersebut di terima baik oleh semua pimpinan pemerintah negara yang diundang.
Pertemuan yang kemudian disebut Konferensi Kolombo itu dilaksanakan pada tanggal 28 April sampai dengan 2 Mei 1954. konferensi ini membicarakan masalah-masalah yang menjadi kepentingan bersama.
Yang menarik perhatian para peserta konferensi, diantaranya pernyataan yang diajukan oleh Perdana Menteri Indonesia :
“Where do we stand now, we the peoples of Asia , in this world of ours to day?” (“Dimana sekarang kita berdiri, bangsa Asia sedang berada di tengah-tengah persaingan dunia?”), kemudian pernyataan tersebut dijawab sendiri dengan menyatakan:
“We have noe indeed at the cross-roads of the historyof mankind. It is therefore that we Prime Minister of five Asian countries are meeting here to discuss those crucial problems whice urge Indonesia to propose that another conference be convened wide3r in scope, between the African and Asian Nations. I am convined that the problems are not only convened to the Asian countries represented here but also are of equal importance to the Afrika and other Asian countries”.
(Kita sekarang berada dipersimpangan jalan sejatah umat manusia. Oleh karena itu kita Lima Perdana Menteri negara-negara Asia bertemu disini untuk membicarakan masalah-masalah yang krusial yang sedang dihadapi oleh masyarakat yang kita wakili. Ada beberapa hal yang mendorong Indonesia mengajukan usulan untuk mengadakan pertemuan lain yang lebih luas, antara negara-negara Afrika dan Asia . Saya percaya bahwa masalah-masalah itu tidak terjadi hanya di negara-negara Asia yang terwakili disini, tetapi juga sama pentingnya bagi negara-negara Afrika dan Asia lainnya”).
Pernyataan tersebut memberi arah kepada lahirnya Konferensi Asia Afrika.
Selanjutnya, soal perlunya Konferensi Asia Afrika diadakan, diajukan pula oleh Indonesia dalam sidang berikutnya. Usul itu akhirnya diterima oleh semua konferensi, walaupun masih dalam suasana keraguan.
Perdana Menteri Indonesia pergi ke Kolombo untuk memenuhi undangan Perdana Menteri Srilangka dengan membawa bahan-bahan hasil perumusan Pemerintah Indonesia . Bahan-bahan tersebut merupakan hasil rapat dinas Kepala-kepala Perwakilan Indonesia di negara-negara Asia dan Afrika yang dipimpin oleh Menteri Luar Negeri Mr.Sunario. rapat dinas tersebut diadakan di tugu ( Bogor ) pada tanggal 9 Sampai dengan 22 Maret 1954.
Akhirnya, dalam pernyataan bersama pada akhir Konferensi Kolombo, dinyatakan bahwa para Perdana Menteri peserta konferensi mkembicarakan kehendak untuk mengadakan konferensi negara-negara Asia Afrika dan menyetujui usul agar Perdana Menteri Indonesia dapat menjejaki sampai dimana kemungkinannya mengadakan konferensi semacam itu.
USAHA-USAHA PERSIAPAN KONFERENSI
Konferensi Kolombo telah menugaskan Indonesia agar menjejaki kemungkinan untuk diadakannya Konferensi Asia Afrika. Dalam rangka menunaikan tugas itu Pemerintah Indonesia melakukan pendekatan melalui saluran diplomatic kepada 18 negara Asia Afrika. Maksudnya, untuk mengetahui sejauh mana pendapat negara-negara tersebut terhada ide mengadakan Konferensi Asia Afrika. Dalam pendekatan tersebut dijelasakan bahwa tujuan utama konferense tersebut ialah untuk membicarakan kepentingan bersama bangsa-bangsa Asia afrika pada saat itu, mendorong terciptanya perdamaian dunia, dan mempromosikan Indonesia sebagai tempat konferensi. Ternyata pada umumnya negara-negara yang dihubungi menyambut baik ide tersebut dan menyetujui Indonesia sebagai tuan rumahnya, walaupun dalam hal waktu dan peserta konferensi terdapat berbagai pendapat yang berbeda.
Pada tanggal 18 Agustus 1954, Perdana Menteri Jawaharlal Nehru dari India, melalui suratnya, mengingatkan Perdana Menteri Indonesia tentang perkembangan situasi dunia dewasa ini yang semakin gawat, sehubungan dengan adanya usul untuk mengadakan Konferensi Asia Afrika. Memang Perdana Menteri India dalam menerima usul itu masih disertai keraguan akan berhasil-tidaknya usul itu dilaksanakan. Barulah setelah kunjungan Perdana Menteri Indonesia pada tanggal 25 September 1954, beliau yakin benar akan pentingnya diadakan konferensi semacam itu, seperti tercermin dalam pernyataan bersama pada akhir kunjungan Perdan Menteri Indonesia :
“The prime reprensentatives discussed also the proposal to have a conference of representatives of Asians and African countries and were agreed that a conference of this kind was desirble and world be helpful in promoting. Is should be held at an early date”.
(“Para Perdana Menteri telah membicarakan usulan untuk mengadakan sebuah konferensi yang mewakili negara-negara Asia dan Afrika serta menyetujui konferensi seperti ini sangat diperlukan dan akan membantu terciptanya perdamaian sekaligus pendekatan bersama ke arah masalah (yang dihadapi). Hendaknya konferensi ini diadakan selekas mungkin”).
Keyakinan serupa dinyatakan pula oleh Perdana Menteri Birma U Nu pada tanggal 28 september 1954.
Dengan demikian, maka usaha-usaha penyelidikan atas kemungkinan diselenggarakannya Konferensi Asia Afrika dianggap selesai dan berhasil serta usaha selanjutnya ialah mempersiapkan pelaksanaan konferensi itu.
Atas undangan Perdana Menteri Indonesia, para Perdan Menteri peserta Konferensi Kolombo (Birma, Srilangka, India, Indonesia, dan Pakistan) mengadakan Konferensi di Bogor pada tanggal 28 dan 29 Desember 1954, yang dikenal dengan sebutan Konferensi Panca Negara. Konferensi ini membicarakan persiapan pelaksanaan Konferensi Asia Afrika.
Konferensi Bogor berhasil merumuskan kesepakatan bahwa Konferensi Asia Afrika diadakan atas penyelenggaraan bersama dan kelima negara peserta konferensi tersebut menjadi negara sponsornya. Undangan kepada negara-negara peserta disampaikan oleh Pemerintah Indonesia atas nama lima negara.
TUJUAN KONFERENSI
Konferensi Bogor menghasilkan 4 tujuan pokok Konferensi Asia Afrika yaitu :
1. Untuk memajukan goodwill (kehendak yang luhur) dan kerjasama antar bangsa-bangsa Asia dan Afrika , untuk menjelajah serta memajukan kepentingan-kepentingan mereka , baik yang silih ganti maupun yang bersama, serta untuk menciptakan dan memajukan persahabatan serta perhubungan sebagai tetangga baik.
2. Untuk mempertimbangkan soal-soal serta hubungan-hubungan di lapangan social , ekonomi , dan kebudayaan Negara yang diwakili.
3. Untuk mempertimbangkan soal-soal yang berupa kepentingan khusus bangsa-bangsa Asia dan Afrika, misalnya soal-soal yang mengenai kedaulatan nasional dan tentang masalah-masalah rasialisme dan kolonialisme.
4. Untuk meninjau kedudukan Asia dan Afrika , serta rakyat-rakyatnya didalam dunis dewasa ini serta sumbangan yang dapat mereka berikan guna memajukan perdamaian serta kerja sama didunia.
PESERTA DAN WAKTU KONFERENSI
Negara-negara yang diundang disetujui berjumlah 25 negara.yaitu : Afganistan, Kamboja, Federasi Afrika Tengah, Republik Rakyat Tiongkok (China), Mesir, Ethiopia, Pantai Emas (Gold Coast), Iran, Irak, Jepang, Yordania, Laos, Libanon, Liberia, Libya, Nepal, Filipina, Saudi Arabia, Sudan, Syria, Thailand (Muang thai), Turki, Republik Demokrasi Vietnam (Vietnam Utara), Vietnam Selatan, dan Yaman . Waktu Konferensi ditetapkan pada minggu terakhir April 1995.
Mengingat Negara-negara yang akan diundang mempunyai politik luar negeri serta system politik dan social yang berbeda-beda.Konferensi Bogor menentukan bahwa menerima undangan untuk turut dalam konferensi Asia Afrika tidak berarti bahwa Negara peserta tersebut akan berubah atau dianggap berubah pendiriannya mengenai status dari negara-negara lain.Konferensi menjunjung tinggi pula asas bahwa bentuk pemerintahan atau cara hidup sesuatu negara sekali-sekali tidak akan dapat dicampuri oleh negara lain.Maksud utama konferensi ialah supaya negara-negara peserta menjadi lebih saling mengetahui pendirian mereka masing-masing
PELAKSANAAN KAA 1955 DI BANDUNG
Gedung Dana Pensiun dipersiapkan sebagai tempat sidang-sidang Konferensi . Hotel Homann, Hotel Preanger, dan 12 (duabelas) hotel lainnya serta perumahan perorangan dan pemerintah dipersiapkan pula sebagai tempat menginap para tamu yang berjumlah 1300 orang.
Keperluan transport dilayani oleh 143 mobil, 30 taksi, 20 bus, dengan jumlah 230 sopir dan 350 ton bensin tiap hari serta cadangan 175 ton bensin.
Dalam kesempatan memeriksa persiapan-persiapan terakhir di Bandung pada tanggal 17 April 1955, Presiden RI Soekarno meresmikan penggantian nama Gedung Concordia menjadi Gedung Merdeka, Gedung Dana Pensiun menjadi Gedung Dwi Warna, dan sebagian Jalan Raya Timur menjadi Jalan Asia Afrika. Penggantian nama tersebut dimaksudkan untuk lebih menyemarakkan konferensi dan menciptakan suasana konferensi yang sesuai dengan tujuan konferensi.
Pada tanggal 15 Januari 1955, surat undangan Konferensi Asia Afrika dikirimkan kepada Kepala Pemerintahan 25 (dua puluh lima ) negara Asia dan Afrika. Dari seluruh negara yang diundang hanya satu negara yang menolak undangan itu, yaitu Federasi Afrika Tengah (Central African Federation), karena memang negara itu masih dikuasai oleh orang-orang bekas penjajahnya. Sedangkan 24 (dua puluh empat) negara lainnya menerima baik undangan itu, meskipun pada mulanya ada negara yang masih ragu-ragu. Sebagian besar delegasi peserta konferensi tiba di Bandung lewat Jakarta pada tanggal 16 April 1955.
Dalam penutup komunike terakhir dinyatakan bahwa Konferensi Asia Afrika menganjurkan menganjurkan supaya kelima negara penyelenggara mempertimbangkan untuk diadakan pertemuan berikutnya dari konferensi ini, dengan meminta pendapat negara-negara pesreta lainnya. Tetapi usaha untuk mengadakan Konferensi Asia Afrika kedua sesalu mengalami hambatan yang sulit diatasi. Tatkala usaha itu hampir terwujud (1964), tiba-tiba di negara tuan rumah (Aljazair) terjadi pergantian pemerintahan, sehingga konferensi itu jadi.
Konferensi Asia Afrika di Bandung, telah berhasil menggalang persatuan dan kerja sama di antara negara-negara Asia dan Afrika,baik dalam menghadapi masalah internasional maupun masalah regiobal . Konferensi serupa bagi kalangan tertentu di Asia dan Afrika beberapa lkali diadakan pula, seperti Konferensi Wartawan Asia Afrika , Konferensi Islam Asia Afrika, Konferensi Pengarang Asia Afrika, dan Konferensi Mahasiswa Asia Afrika.
Konferensi Asia Afrika telah membakar semangat dan menambah kekuatan moral para pejuang bangsa-bangsa Asia da Afrika yang pada masa itu tengah memperjuangkan kemerdekaan tanah air mereka, sehingga kemudian lahirlah sejumlah negara merdeka dibenua Asia dan Afrika. Semua itu menandakan bahwa ciat-cita dan semangat Dasa Siala Bandung semakin merasuk kedalam tubuh bangsa-bangsa Aia dan Afrika.
Jiwa Bandung dengan Dasa Silanya telah mengubah pandangan dunia tentang hubungan internasional. Bandung telah melahirkan faham Dunia Ketiga atau “ Non-Aligned”terhadap dunia pertamanya Washington dan Dunia keduanya Moscow Jawa Bandung telah mengubah juga struktur perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Forum PBB bukan lagi forum eksklusif Barat dan Timur.
Sebagai penutup uraian singkat ini, dikutip bagian terakhir pidato penutupan Ketua Konferensi Asuia Afrika sebagai berikut : “May we continue on the way we have taken together and may the Bandung Conference stay as a beacom guiding the future progress of Asia and Afrika”
( “ Semoga kita dapat meneruskan perjalanan kita diatas jalan yang telah kita pilih bersama-sama dan semoga Konferensi Bandung ini tetap tegak sebagai sebuah mercusuar yang membimbing kemajuan dimasa depan dari Asia dan Afrika “)
KOMUNIKE AKHIR KONFERENSI ASIA AFRIKA
Konferensi Asia Afrika bersidang di Bandung dari tanggal 18 sampai 24 April 1955, atas undangan dari para Perdana Menteri Birma, Srilanka , India , Indonesia , dan Pakistan . Kecuali negara-negara sponsor, konferensi ini juga dihadiri oleh 24 negara sebagai berikut :
1. Kamboja
2. Republik Rakyat Cina
3. Ethiopia
4. Pantai Emas
5. Iran
6. Irak
7. Jepang
8. Yordania
9. Laos
10. Lebanon
11. Liberia
12. Libya
13. Nepal
14. Filipina
15. Saudi Arabia
16. Sudan
17. Syiria
18. Muang Thai
19. Turki
20. Republik Demokrasi Viet-Nam
21. Viet-nam Selatan
22. Yaman
23. Afganistan
24. Mesir
Konferensi Asia Afrika membicarakan masalah-masalah yang menjadi perhatian dan kepentingan bersama negara-negara Asia dan Afrika dan membahas cara-cara dan upaya-upaya agar rakyat mereka dapat mencapai kerjasama ekonomi , kebudayaan, dan politik yang lebih erat.
KERJASAMA EKONOMI
KERJASAMA KEBUDAYAAN
HAK-HAK ASASI MANUSIA DAN HAK MENENTUKAN NASIB SENDIRI
MASALAH RAKYAT-RAKYAT YANG BELUM MERDEKA
MASALAH-MASALAH LAINNYA
PENINGKATAN PERDAMAIAN DAN KERJASAMA DUNIA
DEKLARASI TENTANG PENINGKATAN PERDAMAIAN DAN KERJASAMA DUNIA
Konferensi Asia Afrika menyatakan keyakinannya, bahwa kerukunan kerjasama yang sesuai dengan prinsip-prinsip tersebut akan memberikan sumbangan yang berhasilguna bagi pemeliharaan dan peningkatan perdamaian dan keamanan internasional, sedang bekerjasama dibidang ekonomi, sosial dan kebudayaan akan membantu terciptanya kesejahteraan dan kemakmuran semua.
Konferensi Asia Afrika menganjurkan agar kelima negara sponsor memikirkan penyelenggaraan konferensi berikutnya, setelah berkonsultasi dengan negara-negara peserta.
Sumber : http://www.bandung.eu/2011/11/sejarah-konferensi-asia-afrika.html?m=1

Makalah KEBIJAKAN PUBLIK TENTANG OTONOMI DAERAH, rinastkip


“KEBIJAKAN PUBLIK TENTANG
OTONOMI DAERAH”
Oleh:
ALDY IAN
Editor : M. Lukmanul Hakim, S.Pd.I
Pascasarjana Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Mandala Indonesia (STIAMI)

 

BAB I

PENDAHULUAN

Krisis ekonomi dan yang lainnya yang melanda Indonesia pada tahun 1997 memberikan dampak positif dan dampak negatif bagi upaya peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Di satu sisi,  krisis tersebut telah memberikan dampak yang luar biasa pada kemiskinan, namun disatu sisi krisis tersebut juga memberi “berkah tersembunyi” (blessing in disguised) bagi upaya peningkatan taraf hidup seluruh rakyat Indonesia dimasa yang akan datang. Karena krisis ekonomi dan krisis-krisis yang lainnya yang dialami telah membuka jalan bagi munculnya reformasi total tersebut adalah mewujudkan masyarakat yang madani terciptanya good governance, dan mengembangkan model pembangunan yang berkeadilan. Disamping itu reformasi juga telah memunculkan sikap keterbukaan dan fleksibilitas sistem politik dan kelembagaan sosial, sehingga mempermudah proses pengembangan dan modernisasi lingkungan legal dan regulasi untuk pembaruan pradigma di berbagai bidang kehidupan

Salah satu unsur reformasi total itu adalah tuntutan pemberian otonomi yang luas kepada daerah kabupaten dan kota. Tuntutan seperti ini adalah wajar, paling tidak untuk dua alasan. Pertama, intervensi pemerintah pusat yang terlalu besar di masa yang lalu telah menimbulkan rendahnya kapabilitas dan efektivitas pemerintah daerah dalam mendorong proses pembangunan dan kehidupan demokrasi didaerah. Arahan dan kebutuhan akan undang-undang yang terlalu besar dari pemerintah pusat tersebut menyebabkan inisiatif dan prakarsa daerah cenderung mati dan sehingga pemerintah daerah sering kali  menjadikan pemenuhan peraturan  sebagai tujuan, bukan sebagai alat untuk pelayanan kepada masyarakat.

Kedua, tuntutan pemberian otonomi itu juga muncul sebagai jawaban untuk memasuki era permainan baru yang membawa aturan baru pada semua aspek kehidupan dimasa yang kana datang. Dimana pada masa yang akan datang pemerintah akan kehilangan kendali pada banyak persoalan seperti perdagangan internasional, informasi dan ide maupun keuangan. Dengan banyaknya berbagai persoalan tersebut, maka pemerintah akan kesulitan untuk menyelesaikan semua persoalan-persoalan yang sepele yang dihadapi oleh masyarakat.

Untuk menghadapi permainan baru yang penuh dengan aturan baru tersebut, dibutuhkan strategi baru. Berbagi ketetapan MPR yang telah dihasilkan melalui sidang istimewa.  Salah satu ketetapan MPR tersebut adalah TAP MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang “Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang berkeadilan serta Perimbangan  keuangan pusat dengan daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia” Dengan TAP MPR itulah sebagai landasan keluarnya UU no.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan UU No. 25 tahun 1999 tentang perimbangan Keuangan antar pemerintah Pusat dengan Pemerintah daerah yang kan membawa angin segar bagi pengembangan otonomi daerah. Kedua UU ini telah membawa perubahan mendasar pada pola hubungan antara pemerintah pusat dengan daerah. Namun direvisi lagi dengan UU No.32 tahun 2004 sebagai koreksi kelemahan-kelemahan UU sebelumnya dan ditambah dengan pemilihan langsung kepala daerah

BAB II

PEMBAHASAN

Dengan otonomi daerah berarti telah memindahkan sebagian besar ke-wenangan yang tadinya berada di pemerintah pusat diserahkan kepada daerah otonom, sehingga pemerintah daerah otonom dapat lebih cepat dalam merespon tuntutan masyarakat daerah sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Karena kewenangan membuat kebijakan (perda) sepenuhnya menjadi wewenang daerah otonom, maka dengan otonomi daerah pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan pembangunan akan dapat berjalan lebih cepat dan lebih berkualitas. Keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah sangat tergantung pada kemampuan keuangan daerah (PAD), sumber daya manusia yang dimiliki daerah, serta kemampuan daerah untuk mengembangkan segenap potensi yang ada di daerah otonom. Terpusatnya SDM berkualitas di kota-kota besar dapat didistribusikan ke daerah seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah, karena kegiatan pembangunan akan bergeser dari pusat ke daerah. Menguatnya isu Putra Daerahisme dalam pengisian jabatan akan menghambat pelaksanaan otonomi daerah, disamping itu juga akan merusak rasa persatuan dan kesatuan yang telah kita bangun bersama sejak jauh hari sebelum Indonesia merdeka. Setiap manusia Indonesia dijamin oleh konstitusi, memiliki hak yang sama untuk mengabdikan diri sesuai dengan profesi dan keahliannya dimanapun di wilayah nusantara ini.

Yang perlu dikedepankan oleh pemerintah daerah adalah bagaimana pemerintah daerah mampu membangun kelembagaan daerah yang kondusif, sehingga dapat mendesain standard Pelayanan Publik yang mudah, murah dan cepat. Untuk menciptakan kelembagaan pemerintah daerah otonom yang mumpuni perlu diisi oleh SDM yang kemampuannya tidak diragukan, sehingga merit system perlu dipraktekkan dalam pembinaan SDM di daerah.

Perkembangan Otonomi Daerah di Indonesia

Meskipun UUD 1945 yang menjadi acuan konstitusi telah menetapkan konsep dasar tentang kebijakan otonomi kepada daerah-daerah, tetapi dalam perkembangan sejarahnya ide otonomi daerah itu mengalami berbagai perubahan bentuk kebijakan yang disebabkan oleh kuatnya tarik-menarik kalangan elit politik pada masanya. Apabila perkembangan otonomi daerah dianalisis sejak tahun 1945, akan terlihat bahwa perubahan-perubahan konsepsi otonomi banyak ditentukan oleh para elit politik yang berkuasa pada saat it. Hal itu terlihat jelas dalam aturan-aturan mengenai pemerintahan daerah sebagaimana yang terdapat dalam UU berikut ini :

  1. UU No. 1 tahun 1945
    Kebijakan Otonomi daerah pada masa ini lebih menitikberatkan pada dekonsentrasi. Kepala daerah hanyalah kepanjangan tangan pemerintahan pusat.
  2. UU No. 22 tahun 1948
    Mulai tahun ini Kebijakan otonomi daerah lebih menitikberatkan pada desentralisasi. Tetapi masih ada dualisme peran di kepala daerah, di satu sisi ia punya peran besar untuk daerah, tapi juga masih menjadi alat pemerintah pusat.
  3. UU No. 1 tahun 1957
    Kebijakan otonomi daerah pada masa ini masih bersifat dualisme, di mana kepala daerah bertanggung jawab penuh pada DPRD, tetapi juga masih alat pemerintah pusat.
  4. Penetapan Presiden No.6 tahun 1959
    Pada masa ini kebijakan otonomi daerah lebih menekankan dekonsentrasi. Melalui penpres ini kepala daerah diangkat oleh pemerintah pusat terutama dari kalangan pamong praja.
  5. UU No. 18 tahun 1965
    Pada masa ini kebijakan otonomi daerah menitikberatkan pada desentralisasi dengan memberikan otonomi yang seluas-luasnya bagi daerah, sedangkan dekonsentrasi diterapkan hanya sebagai pelengkap saja
  6. UU No. 5 tahun 1974
    Setelah terjadinya G.30.S PKI pada dasarnya telah terjadi kevakuman dalam pengaturan penyelenggaraan pemerintahan di daerah sampai dengan dikeluarkanya UU NO. 5 tahun 1974 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas perbantuan. Sejalan dengan kebijakan ekonomi pada awal Ode Baru, maka pada masa berlakunya UU No. 5 tahun 1974 pembangunan menjadi isu sentral dibanding dengan politik. Pada penerapanya, terasa seolah-olah telah terjadi proses depolitisasi peran pemerintah daerah dan menggantikannya dengan peran pembangunan yang menjadi isu nasional.
  7. UU No. 22 tahun 1999
    Pada masa ini terjadi lagi perubahan yang menjadikan pemerintah daerah sebagai titik sentral dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dengan mengedapankan otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab.
  8. UU No. 32 tahun 2004

Keluarnya UU ini  merupakan koreksi total atas kelemahan yang terdapat dalam UU No. 22 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan Antara pemerintah Pusat dengan Daerah, juga dilengkapi dengan sistem pemilihan langsung kepala daerah

Kelemahan Otonomi Daerah

Tidak heran jika wewenang yang besar itu justru melahirkan penyimpangan, yaitu mengalirkan dana negara ke kantong pribadi.serta terjadinya berbagai penyimpangan-penyimpangan lainnya diantaranya

Berikut ini beberapa modus korupsi di daerah:

1. Korupsi Pengadaan Barang
Modus :

a. Penggelembungan (mark up) nilai barang dan jasa dari harga pasar.
b. Kolusi dengan kontraktor dalam proses tender.

2. Penghapusan barang inventaris dan aset negara (tanah)
Modus :

a. Memboyong inventaris kantor untuk kepentingan pribadi.
b. Menjual inventaris kantor untuk kepentingan pribadi.

3. Pungli penerimaan pegawai, pembayaran gaji, kenaikan pangkat, pengurusan pensiun dan sebagainya.
Modus : Memungut biaya tambahan di luar ketentuan resmi.

4. Pemotongan uang bantuan sosial dan subsidi (sekolah, rumah ibadah, panti asuhan dan jompo)
Modus :

a. Pemotongan dana bantuan sosial
b. Biasanya dilakukan secara bertingkat (setiap meja).

5. Bantuan fiktif
Modus : Membuat surat permohonan fiktif seolah-olah ada bantuan dari pemerintah ke pihak luar.

6. Penyelewengan dana proyek
Modus :

a. Mengambil dana proyek pemerintah di luar ketentuan resmi.
b. Memotong dana proyek tanpa sepengetahuan orang lain.

7. Proyek fiktif fisik
Modus : Dana dialokasikan dalam laporan resmi, tetapi secara fisik proyek itu nihil.

8. Manipulasi hasil penerimaan penjualan, penerimaan pajak, retribusi dan iuran.
Modus :

a. Jumlah riil penerimaan penjualan, pajak tidak dilaporkan.
b. Penetapan target penerimaan pajak lebih rendah dari penerimaan riil.

9. Manipulasi proyek-proyek fisik (jalan, jembatan, bangunan, kantor, sekolah, asrama)
Modus :

a. Mark up nilai proyek
b. Pungutan komisi tidak resmi terhadap kontraktor

10. Daftar Gaji atau honor fiktif
Modus : Pembuatan pekerjaan fiktif.

11. Manipulasi dana pemeliharaan dan renovasi fisik.
Modus :

a. Pemotongan dana pemeliharaan
b. Mark up dana pemeliharaan dan renovasi fisik

12. Pemotongan dana bantuan (inpres, banpres)
Modus : Pemotongan langsung atau tidak langsung oleh pegawai atau pejabat berwenang.

13. Proyek pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) secara fiktif (tidak ada proyek atau intensitas)
Modus : Tidak ada proyek atau intensitas yang tidak sesuai laporan. Misalnya kegiatan dua hari dilaporkan empat hari.

14. Manipulasi ganti rugi tanah dan bangunan
Modus : Pegawai atau pejabat pemerintah yang berwenang tidak memberikan harga ganti rugi secara wajar atau yang disediakan.

15. Manipulasi biaya sewa fasilitas dan transportasi
Modus : Manipulasi biaya penyewaan fasilitas pemerintah kepada pihak luar

16. Pembayaran fiktif uang lauk pauk Pegawai Negeri sipil, prajurit, tahanan dan lain-lain
Modus :

a. Alokasi fiktif uang lauk pauk Pegawai Negeri Sipil, prajurit tahanan dalam catatan resmi seperti APBD.
b. Menggunakan kuitansi fiktif.

17. Pungli Perizinan; IMB, sertifikat SIUPP, besuk tahanan, ijin tinggal, ijin TKI, ijin frekuensi, impor ekspor, pendirian apotik, RS, klinik, Delivery Order pembelian sembilan bahan pokok agen dan distributor.
Modus :

a. Memungut biaya tak resmi kepada anggota masyarakat yang mengurus perijinan.
b. mark up biaya pengurusan ijin
c. Kolusi dengan pengusaha yang mengurus ijin.

18. Pungli kependudukan dan Imigrasi
Modus :

a. Memungut biaya tidak resmi kepada anggota masyarakat yang mengurus perijinan.
b. mark up biaya pengurusan ijin
c. Kolusi dengan pengusaha yang mengurus ijin.

19. Manipulasi Proyek Pengembangan Ekonomi Rakyat
Modus : Penyerahan dalam bentuk uang.

20. Korupsi waktu kerja
Modus :

a. Meninggalkan pekerjaan
b. Melayani calo yang memberi uang tambahan
c. Menunda pelayanan umum

Berbagai Dampak

Selain keuntungan yang didapat  serta diperoleh dengan adanya otonomi daerah juga ada sisi buruknya malahan semakin memperburuk keadaan. Beberapa Bupati menetapkan peningkatan ekstraksi besar-besaran sumber daya alam di daerah mereka –suatu proses yang semakin mempercepat perusakan dan punahnya hutan serta sengketa terhadap tanah. Pemerintahan kabupaten juga tergoda untuk menjadikan sumbangan yang diperoleh dari hutan milik negara dan perusahaan perkebunan bagi budget mereka.           Kelompok-kelompok masyarakat sipil menyerukan agar otonomi daerah dikembalikan pada jalur semula –yang menjamin tujuan-tujuan awal untuk memperkuat demokrasi lokal. Selain itu, mereka juga menyerukan agar desakan untuk membangun pemerintahan yang bersih tidak dilupakan dalam arus cari untung dari sumber daya alam.
Sejalan dengan perjalanan waktu, kebijakan tersebut menuai banyak persoalan, antara lain masalah kordinasi antar daerah otonom tingkat provinsi dan kabupaten, munculnya “raja-raja kecil” di daerah yang cenderung melakukan abuse of power yang mengabaikan nilai etik dalam berpolitik, sulit melakukan su`            pervisi daerah otonom dan lain sebagainya. Kemudian Pemerintah mengeluarkan kebijakan baru mengenai Otonomi Daerah, yakni dengan pemberlakuan UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintahan Pusat dan Daerah. Semangat yang terkandung dalam Undang-Undang tersebut tidak ditujukan untuk melakukan “resentralisasi” atas apa yang telah didesentralisasikan, namun lebih ditujukan untuk mengurangi dampak negatif dan menambah manfaat positif dari otonomi daerah sebagai salah satu agenda utama reformasi. Untuk membangun tata pemerintahan yang baik bagi kebaikan dan kesejahteraan rakyat, implementasi otonomi daerah perlu terus dicermati, dievaluasi dan disempurnakan

PENUTUP

Pelaksanaan otonomi daerah memungkinkan pelaksanaan tugas umum Pemerintahan dan tugas Pembangunan berjalan lebih efektif dan efisien serta dapat menjadi sarana perekat Integrasi bangsa. UU No. 22 1999 jauh lebih Desentralistik dibandingkan dengan UU No. 5 1974 namun karena pelaksanaan nya berbarengan dengan pelaksanaan Reformasi yang mengakibatkan efuria-efuria di kalangan masyarakat maka pelaksanaan otonomi daerah dapat juga diwarnai efuria baik dari Kepala daerah maupun dari para anggota DPRD. Untuk itu maka keluarlah UU No.32 tahun 2004 sebagai ganti dari UU sebelumnya serta koreksi total atas segala kelemahan-kelemahan yang ada pada UUNo.22 tahun 1999.

Untuk menjamin agar pelaksanaan otonomi daerah benar-benar mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat, maka segenap lapisan masyarakat baik mahasiswa, LSM, Pers maupun para pengamat harus secara terus menerus memantau kinerja Pemda dengan mitranya DPRD agar tidak disalahgunakan untuk kepentingan mereka sendiri, transparansi, demokratisasi dan akuntabilitas harus menjadi kunci penyelenggaraan pemerintahan yang baik good government dan Clean government.

Bila semua daerah otonom dapat menyelenggarakan pemerintahan secara bersih dan demokratis, maka pemerintah kita secara nasional pada suatu saat nanti entah kapan mungkin juga akan dapat menjadi birokrasi yang bersih dan professional sehingga mampu menjadi negara besar yang diakui dunia.

DAFTAR PUSTAKA

Harian Umum Republika edisi 22 November 2000, 10 Januari 2001, 9 Maret 2001 dan 20 Maret 2001.

Kasim,Azhar 1993, Pengukuran Efektifitas dalam Organisasi, Lembaga Penerbit FEUI bekerjasama dengan Pusat antar universitas Ilmu-ilmu Sosial UI.

UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 5 1974.

Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia. Otonomi Daerah.

www.Google.co.id Desentralisasi Korupsi Melalui Otonomi Daerah.November 2004

www.Google.co.id Perkembangan Otonomi Daerah di Indonesia.2004

www.Google.co.id Otonomi Daerah Dan Pelayanan Publik.2004

EFFECT ON PERFORMANCE CHARACTERISTICS OBJECTIVE BUDGET OF LOCAL GOVERNMENT FORCES


EFFECT ON PERFORMANCE CHARACTERISTICS OBJECTIVE BUDGET OF LOCAL GOVERNMENT FORCES
(Empirical Study on Government County Temanggung)

Translater : Google Translate

ABSTRACT
The aims of this research are to examine the influence of budgeting objectives on the performance characteristics of Local Government of Waterford Plaza.
Sampling technique used in this research was purposive sampling. This method was applied since the sample was selected purposively based on a certain criteria as Local Government Officers in the middle up to lower level commitment makers who were also in the sense that they Participate in budgeting and its implementation and also as staff in charge of budget arrangement . Number of samples processed in the research is 146 samples and processed using the SPSS program to examine hypothesis.
The Research found out that from five variables of budgeting objectives characteristics, four variables (the clarity of objectives, participation, feedback and objective achievement Difficulties) Significantly influence the performance of Local Government Officers of  Temanggung Plaza.

Keywords: Budgeting Objectives Characteristics, Performance, Local Government Officers.
INTRODUCTION
Background
Research Munawar (2006) is the development of research Maryanti (2002), namely budgetary purposes with variable characteristics budget participation, budget goal clarity, feedback, budgets, evaluation budgets and budgetary goal difficulty significantly influence behavior. This suggests that the characteristics of the overall budget goals produce a strong enough influence on the behavior of government officials in Kupang district budgeting plan. Other variables such as karaketristik budgetary purposes with variable budget participation, budget goal clarity, feedback, budgets, evaluation budgets, and overall budget goal difficulty generating strong influence on the attitude of government officials in implementing the budget Kupang. Looking for budget purposes characteristics represented by the variable budget participation, budget goal clarity, feedback good budget, the budget and the difficulty of evaluating budgetary objectives simultaneously affect the performance, which does not support the research Maryanti (2002).
Basically, this study is the development of research Munawar (2006) with the object of different studies, the Waterford district government officials, who have carried out according to the rules of budgeting Minister No.. 13 of 2006 which was subsequently revised by the Ministry of Home Affairs No. regulation. 59 Year 2007 on guidelines for financial management. Characteristics of the study is more specific budgeting purpose on the programs and activities of Work Unit (SKPD) contained in the Work Plan and Budget / RKA-SKPD which is a document that contains pengangggaran planning and revenue plans, planning programs and activities SKPD spending and financing plan as a basis for budgeting.
The reason for researchers to analyze the effect of the Budget to Performance Characteristics purpose district government officials Temanggung because:
1. Research related to the effect of budgetary goal characteristics on the performance of local government officials throughout the County Waterford authors’ knowledge has not been done.
2. Local government officials in SKPD as respondents in this study is the direct subject of budgeting is as planners, implementers, and responsible budget for programs and activities that local government is a form of elaboration of a strategic plan SKPD, so that respondents have a direct connection with the issues to be investigated.
3. This study assumes that the objective characteristics of Revenue and Expenditure made by the local government meets the criteria mandated by the Minister of Home Affairs Decree No. 29 of 2007, namely (1) in accordance with the vision, mission, goals, objectives and policies established Medium Term Development Plan (RPJMD) and other planning documents established by the Regional Head, (2) in accordance with the aspirations of the people who develop and consider local conditions and capabilities, (3) contains the desired direction and general guidelines agreed as a temporary ceiling strategy and budget and the preparation of the draft budget in one fiscal year.
4. The discrepancies of the results of previous studies on the studied variables such as research Kenis (1979), Maryanti (2002) and Research Munawar (2006) both from appliance and population analysis. Research Kenis (1979) is the independent variable characteristics budget goals and the dependent variable is the attitude and performance of the population and the sample taken from the private sector. Maryanti Research (2002) is the development of research Kenis (1979), but the difference is the dependent variable plus behavioral variables while the independent variable is the same as research Kenis (1979) with a sample population and the public sector (local government officials). Research Munawar (2006) is the development of research Maryanti (2002), with the same variables, However with objects and different analysis tools. Other research results of all three studies are not consistent as Kenis (1979) which indicates that the characteristics of the overall budget objectives produce an influence on managerial attitudes and performance variables such as job satisfaction, work stress, motivation budgets, attitudes toward budgeting, and performance budgeting assessed themselves. Maryanti Research (2002) menunujukkan that budget evaluation, feedback, budgets, budget goal clarity and positive impact on behavior and attitudes signfiikan local government officials East Nusa Tenggara Province, whereas participation variable and difficult budget budgetary purposes has no effect on performance and weak influence on attitudes and attitudes towards local government officials of East Nusa Tenggara province. Research Munawar (2006) showed that budget participation, budget goal clarity, feedback, budgets, evaluation budgets and budgetary goal difficulty affected the behavior, attitude and performance of local government officials Kupang.

Problem Formulation
Based on the background described above, then that becomes the central issue in this study can be formulated as follows:
1. Is Budget Participation positive effect on performance of local government officials?
2. Is the purpose of the Budget affects Clarity Performance Local Government Officials?
3. Is Performance Evaluation Budget affect local government officials?
4. Is Budget Feedback effect on performance Local Government Officials?
5. Is the purpose of budget difficulties affect the performance of local government officials?

Research Objectives
Based on the formulation of the problem stated above, the objectives of this study were:
1. To test empirically whether there is influence Budget Participation on Performance of Local Government Officials.
2. To test empirically whether there is clarity of purpose influences the Budget to Performance Local Government Officials.
3. To empirically test whether there was an effect on Performance Evaluation Budget Local Government Officials.
4. To test empirically whether there is influence of the Budget to Performance Feedback Local Government Officials.
5. To test empirically whether there are objective difficulties influence the Budget to Performance Local Government Officials.

Benefits of Research
If the goal of this study can be met, then the expected benefits of the research are:
1. For this research scholars are expected to contribute a thought or contribution to the development of literature Public Sector Accounting (ASP), particularly the development of management control systems in the public sector.
2. For the local government is expected to be input in supporting the implementation of regional autonomy in particular will improve the performance of government officials to achieve the desired budget.

THEORETICAL AND FORMATION HYPOTHESES

Characteristics goal Budget
The budget process should begin with setting goals, targets and policies. Common perception among the parties about what will be achieved, and linkages with various programs that aim to do, is crucial for the success of the budget. At this stage, the process of resource distribution started. Achieving consensus on the allocation of resources to be a door opener for the implementation of the budget. Long process of setting goals for the budget implementation stage often pass through a grueling, so attention to assessment and evaluation stage is often overlooked. This condition often appears in practical (Bastian, 2006a: 188)
In accordance with the mandate of Law No.. 17 of 2003 on State Finance explained that the budget is a tool of accountability, management and economic policy. Budget serves as a policy to achieve economic growth and economic stability as well as the distribution of income in order to achieve the goal state. In an effort to realign the objectives and functions of the budget is necessary to clearly setting role of the Parliament / Council and government in the process of preparation and adoption of the budget as an elaboration of the basic rules set out in the Constitution of 1945. Accordingly, the Act it is stated that government spending / shopping areas specified to organizational units, functions, programs, activities and type of expenditure. It is that any shift in the budget between organizational units, between activities, and between types of expenditure must be approved by Parliament / Council.
In a theoretical study as the basis for this study are still many uses theoretical study on private sector related variables examined. This is because the variables studied are still using the variables studied in the private sector. But does not reduce the theoretical studies related to the public sector as a basis / reference for research in the public sector. According to Kenis (1979) there are five (5) objective characteristics budget (budgetary Goal Characteristics), namely:
1. Participation Budget.
Participation budgeting is a general approach that can improve the performance, which in turn can improve organizational effectiveness. Argyris (1964) in Nor (2007) states that participation as a means to an end, participation as a means to integrate the needs of individuals and organizations. That participation can be interpreted as the share of influence, delegation procedures, involvement in decision-making and the empowerment. Good participation brings the following benefits: (1) a healthy influence on the initiative, moralism and enthusiasm, (2) gives a better result than a plan because of a combination of knowledge of some individuals, (3) to increase employment operation between departments, and (4) the employee can be more aware of the situation in the future relating to the objectives and other considerations Irvine (1978) in Nor (2007).
Participation budgeting vast menunujukkan how widespread participation for government officials to understand the budget proposed by the unit of work that affects the central purpose of their budget accountability.
Budgeting process is an important and complex activity, is likely to impact the functional and dysfunctional attitudes and behaviors of organizational members Milani (1975) in Nor (2007). To prevent the impact of dysfunctional budget, Argyris (1952) in Nor (2007) suggested that the greatest contribution of budgeting activity occurs when subordinates are allowed to participate in the preparation of the budget.
According Bronwell (1982) in Sarjito (2007) participation in the budget as a process involving oganisasi managers in determining budget goals which it is responsible. Participation many benefits for an organization, it is derived from the nearly participatory research. Medium according sord and Welsch, (1995) in Sarjito, (2007) suggested that higher levels of participation will result in better morale and higher initiative anyway.
Participation in the public sector budget occurs during budget discussions, where the executive and legislative branches clashing arguments in the discussion of the local budget. Where the budget made by the executive in this case through the proposed Regional Head of the unit of work delivered by the Head of Unit (SKPD), and after that the Head of the Regional Council jointly set a budget.
Aimee and Carol (2004) in Munawar (2006) found input mechanism citizen participation has a direct influence on budget decisions. Munawar (2006) found that the characteristics of the budget objectives with budgetary participation variables significantly influence behavior, attitude and performance of local government officials in Kupang district.

2. Clarity of purpose Budget

Because of the breadth of budget clarity of purpose, then the purpose of the budget must be specifically stated, clear and understandable by anyone who is responsible.
Munawar (2006) found that government officials can determine Kupang regency business results through effective evaluation to determine the clarity of purpose of the budget that has been made and they are satisfied with the budget that has been created to benefit the public interest.
3. Budget Feedback
Job satisfaction and motivation found significant budget with a rather tenuous relationship with feedback budget. Feedback on the level of achievement of the budget is not effective in improving performance and only marginally effective in improving the attitude of the manager (Kenis, 1979).
Munawar (2006) found that the area of ​​Kupang district officials know the results of his efforts in preparing the budget and budget to implement so as to make them feel successful.
4. Evaluation Budget
Pointing to the extent of differences in the budget which are reused by individual department heads and used in the evaluation of their performance.
The discovery Kenis (1979) that managers react unfavorable to use the budget in the performance evaluation in a punitive fashion (increasing work stress, lower budget performance). The trend relationships among the variables to be weak.
Munawar (2006) found that the evaluation of the budget affect the behavior of local government officials Kab. Kupang. This suggests that in preparing their budget is always an evaluation activities have been programmed and the implementation of the budget, they also do an evaluation of the activities that have been carried out so that they get better performance.
5. Budget goal difficulty.
Kenis (1979) that managers have goals that are too tight budgets have significantly higher work stress and low work motivation, performance budgeting, and cost efficiency compared to the budget have a proper purpose or tight budget but can be achieved. It is identified that can be achieved is tight but the difficulty level budgetary purposes.
Munawar (2006) found that members of the local district. Kupang is not affected by the budget goal difficulty, so that in preparing the budget is not too easy or difficult it is noticed that the budget is achieved.

Performance of Local Government Officials
Assessment is the process by which organizations evaluate / assess employee performance. This activity can improve personnel decisions and provide feedback to employees about their performance (Hani Handoko, 1988)
According Suprihanto (1987) performance appraisal is a system used to assess and find out if someone has done their job as a whole or a process that occurs in organizations assess or determine a person’s performance. Glueck (1978) define a performance evaluation as an activity to determine the degree to which a person carry out their duties effectively
Byars and Rue (2000) defines performance assessment as the process of determining and communicating to employees and to implement them as ideally, performance improvement plans. According to Raymond (2000) performance appraisal is the process by which organizations get the information how well employees perform their duties.
Parker (1993:3) in Sadjiarto Arja (2000) mentions five benefits of the measurement / assessment of the performance of a government entity that is:
a. Improved performance improve the quality of decision making.
Often the government’s decision made in limited data and the various political considerations and pressure from interested parties. The process of developing performance measures will allow the government to define the mission and set a goal of achieving a particular outcome. In addition, it can also be selected method of performance measurement to see the success of existing programs. On the other hand, the measurement of performance make the legislature to focus attention on the results obtained, give a true evaluation tehadap budget implementation and conduct discussions on proposals for a new program.
b. Measurement of performance enhancing internal accountability.
Given these performance measurements, it will automatically create lines of accountability throughout the government, from top to bottom lines. Top line also then be responsible to the legislature. In this case the suggested use of standardized measurement systems such as management by objectives for the measurement of outputs and outcomes.
c. Measurement of performance enhancing public accountability.
Although for some, reporting government performance evaluation to the public perceived to be quite scary, but the publication of this report is critical to the success of a good performance measurement system. Community involvement on government policy making becomes larger and the quality of a program is also getting attention.
d. Performance measurement supports strategic planning and goal setting.
Strategic planning process and goals will be less meaningful without the ability to measure the performance and progress of a program. Without these measures, the success of the program also never be judged objectively.
e. Performance measurement allows an entity to determine the effective use of resources.
People are increasingly critical to assess the basic government programs in connection with the increasing taxes imposed on them. Evaluation tends to lead to the assessment of whether the government is able to provide the best service to the community. The government also has a chance to give up some public services to the private sector while aiming to provide the best service.

Older Research and Development of Hypotheses
1. Effect of Performance Against Budget Participation.
Participation budgeting is a general approach that can improve the performance, which in turn can improve organizational effectiveness. Participation in the public sector budget occurs during budget discussions, where the executive and legislative branches clashing arguments in the discussion of the local budget. Where the budget made by the executive in this case through the proposed Regional Head of the unit of work delivered by the Head of Unit (SKPD), and after that the Head of the Regional Council jointly set a budget.
According Bronwell (1982) in Sarjito (2007) participation in the budget as a process involving oganisasi managers in determining budget goals which it is responsible. Participation many benefits for an organization, it is derived from the nearly participatory research. Medium according sord and Welsch (1995) in Sarjito (2007) suggested that higher levels of participation will result in better morale and higher initiative anyway.
Munawar (2006) found that the characteristics of the budget objectives with budgetary participation variables significantly influence behavior, attitude and performance of local government officials in Kupang district.
Based on the theoretical basis and empirical findings above, because of the participation of the budget is expected to improve the performance of the individuals involved in it, the researchers propose hypotheses as follows:
H 1: Participation budget positive effect on the performance of government officials.
2. Clarity of purpose influence performance against budget.
Locke and Schweiger (1979) showed that the clarity of purpose to improve managerial performance, whereas the lack of clarity leads to confusion and dissatisfaction with the executive, resulting in decreased performance. Several studies support the positive influence of clarity of purpose on managerial performance (Ivancevich, 1976; Steers, 1975; Imoisili, 1989). Managers who work without a clear purpose will come with a high uncertainty of achieving the goals set previously
Munawar (2006) found that government officials can determine Kupang regency business results through effective evaluation to determine the clarity of purpose of the budget that has been made and they are satisfied with the budget that has been created to benefit the public interest.
Based on the theoretical basis and empirical findings above, for clarity purposes the budget is expected to improve the performance of the individuals involved in it, the researchers propose hypotheses as follows:
H 2: Clarity of purpose budgetary positive effect on the performance of government officials.
3. Effect of Performance Against Budget Feedback.
Steers (1975) empirically found that feedback and the clarity of objectives related to performance. Through field experiments, Kim (1984) also supports that goal setting and feedback jointly impact on performance. Clarity of purpose and difficulties, if accepted, will improve performance (Latham & Baldes, 1975; Locke, Carrledge & Knerr, 1970).
Munawar (2006) found that the area of ​​Kupang district officials know the results of his efforts in preparing the budget and budget to implement so as to make them feel successful.
Based on the theoretical basis and empirical findings above, due to feedback the budget is expected to improve the performance of the individuals involved in it, the researchers propose hypotheses as follows:
H 3: Feedback budgets positive effect on the performance of government officials.
4. Effect Of Budget Performance Evaluation.
Kenis (1979) that managers react unfavorable to use the budget in the performance evaluation in a punitive fashion (increasing work stress, reduce performance, budget). The trend relationships among the variables to be weak.
Munawar (2006) found that the evaluation of the budget affect the behavior of local government officials Kab. Kupang. This suggests that in preparing their budget is always an evaluation activities have been programmed and the implementation of the budget, they also do an evaluation of the activities that have been carried out so that they get better performance.
Based on the theoretical basis and empirical findings above, because the evaluation of the budget is expected to improve the performance of the individuals involved in it, the researchers propose hypotheses as follows:
H 4: Evaluation of budget positive effect on the performance of government officials.

5. Influence Difficulty goal performance against budget.
Kenis (1979) that managers have goals that are too tight budgets have significantly higher work stress and low work motivation, performance budgeting, and cost efficiency compared to the budget have a proper purpose or tight budget but can be achieved. It is identified that can be achieved is tight but the difficulty level budgetary purposes.
Hirst & Lowy (1990) proved that difficult goals result in higher performance than if you set goals that are specific or easier, as well as a general purpose. Various studies have indicated that the budget goal difficulty and performance are closely linked persepsian (Hoftsede, 1968; Kenis, 1979; Locke & Schweiger, 1979; Mia, 1989)
Difficulties also positively related to objective criteria of success (Carroll & Tosi, 1979). The higher the goal, the higher the performance (Locke, 1966, 1967).
Based on the theoretical basis and empirical findings above, because of difficulties in budgetary purposes is expected to increase the performance of the individuals involved in it, the researchers propose hypotheses as follows:
H 5: Difficulty budget goals positive effect on the performance of government officials.
METHODS

Measurement of Variables
This study used five independent variables (independent) and one dependent variable (the dependent). Operationalization of variables done through questionnaires intrumentasi shaped. Questions measured in five-point Likert scale.

DATA ANALYSIS METHOD

1. Multiple Regression Analysis
This analysis was used because this study analyzed the influence of the dependent variable with multiple independent variables. As the dependent variable is the performance of local government officials, the independent variable budget participation, clarity of purpose budget, budget evaluation, feedback and budgetary difficulties budgetary purposes.
To determine the effect of each independent variable can be seen from the significant t values ​​are: Y = α + β1X1a β2X1b + + + β3X1c β4X1d β5X1e + + e
Description:
Y = performance of local government officials
α = constant
regression coefficient β =
X1a = Participation Budget
X1b = Clarity of purpose of the Budget
X1c = Evaluation Budget
X1d = Budget Feedback
X1e = Difficulty Budget Destination
E = Error

2. T test (t-test)
This test is performed to determine the significance of each independent variable on the dependent variable. With α = 0.005, the hypothesis being tested will be accepted.

3. Test determinant coefficient (R2)
This test is used to show how much percentage of the variation in the variables is needed which can be explained by variations in the independent variable. Rated R lies between the values ​​0 and 1. If R2 is getting close to one, the greater the variation in the independent variable. This means that the right of the regression line represents the results of actual observations (Wheel Wright and Makridakis, 1995).

Classical Assumptions Testing Results
1. Heteroscedasticity
Tests performed using SPSS heteroscedasticity two stages, namely the value of residual absolute first and calculate the correlation between the value of the variable with the residual value. The criteria used to declare whether there is heteroscedasticity or not between observational data can be seen the value of coefficient significance (in this case the set α = 0.005). If the coefficient of greater significance than α (0.005), then it can not happen otherwise heteroscedasticity between the observational data.
The results of processing the data using SPSS for each variable can be seen in table 4.11. From the above data it can be seen that all the significant value above 0.05, so it can be concluded that all the data used there is no heteroscedasticity.
Table 4.11:
The significance of the test heteroscedasticity

Variable Sig Alfa Conclusion
PA – Residual PA 0.930 0.05 No heteroscedasticity
KTA – Residual KTA 0.481 0.05 No heteroscedasticity
EA – EA Residual 0.418 0.05 No heteroscedasticity
UBA – Residual UBA 0.269 0.05 No heteroscedasticity
KT – KT Residual 0.554 0.05 No heteroscedasticity

2. Multicollinearity
This test is performed to determine whether a correlation was found between the independent variables. If there is a correlation, then there is a multicollinearity problem. A good regression model should not happen correlation between the independent variable. Harmful multicollinearity occurs when the value of the variance inflation factor (VIF) greater than 10 (Gujarati, 1993).
Table 4.12:
Values ​​of tolerance and VIF test multicollinearity

Variable Tolerance VIF Conclusion
Participation Budget 1.437 0.696 Non multicollinearity
Clarity of purpose Budget 1.683 0.594 Non multicollinearity
Budget evaluation 1.179 0.848 Non multicollinearity
Feedback Articles 0.505 1.979 Non multicollinearity
Difficulty TujuanAnggaran 1.254 0.798 Non multicollinearity

The results of processing the data using SPSS. for each variable can be seen in table 4.17. From the above data it can be seen that all VIF values ​​well below 10 good on the model, so it can be concluded that all the data used there is no multicollinearity.
3. Autocorrelation
This test is performed to determine whether the regression results no correlation between residual processing on a single observation with other observations in a single variable. The consequences of autocorrelation is biased variant with a smaller value than the actual value, so the value of R2 and F likely overestimated. How to detect autocorrelation is to use testing Durbin Watson (DW) with the following conditions: DW values ​​between 1.65 to 2.35 can be concluded there is no autocorrelation (Makridakis et al, 1995).
From the data processing DW value is 1.780 which tells us the value DW is between 1.65 to 2.35 so it can be concluded that all the data used is free from autocorrelation.

Hypothesis Testing Results and Discussion
a. Multiple Regression Analysis
The results of multiple regression analysis to determine the effect of independent variables Budget participation, goal clarity Budget, Budget Evaluation, Feedback Budget, Budget Difficulty objective dependent variable performance of local government officials, used to use SPSS as shown in Table 4.13.
Table 4.13:
The results of multiple regression analysis
Independent Variable Coefficients
Beta t Sig count. Interpretation
(Constant) 2.868 0.902 0.369
Budget Participation 0.411 4.156 0.000 * H1 proven
Clarity of purpose 0.440 4.111 0.000 Budget * H2 proved
Evaluation Budget 0.139 1.536 0.127 H3 is not proven
Budget Feedback * 0.626 4.712 0.000 H4 proved
Difficulty Achievement
Tujauan 0.239 3.174 0.042 Budget * H5 proven
R = 0.789 F = 46.023 count
R2 = 0.622 Sig. = 0.000 *
Adjusted R2 = 0.608
*) Significant at 0.05 level
Dependent Variable: Performance of Local Government Officials

From the analysis of the data, the results of the regression equation is as follows:
Y = 2.868 + 0.411 + 0.440 X1 + 0.139 X2 + 0.626 X3 + 0.239 X4 X5
Meaning:
Regression coefficients for the variables Budget Participation (X1), Clarity Destination Budget (X2), Evaluation of the Budget (X3), Budget Feedback (X4) and Difficulty Achieving Tujauan Budget (X5) showed a positive effect on performance of local government officials (Y) County Waterford.
b. T test
This test is to determine the effect of each independent variable on the dependent variable. If the value of significance α ≤ 0.05, it can be said that there is a significant effect between the independent variables with the dependent variable individually. Conversely, if the value of significance α> 0.05 then there is no significant effect (Santosa, 2000:168).
1) Budget Participation Variables (X1), showed beta coefficient of 0.411 at a significance level of 0.000, for 0.000 ≤ 0.05 significance level. This means that the variable participation Budget (X1) significantly affect the performance of the variable local government officials (Y) County Waterford, thus hypothesis H1 proven.
2) Clarity of objective variables Budget (X2), indicating a beta coefficient of 0.410 at a significance level of 0.000, 0.000 for a significance level of ≤ 0.05. This means clarity of objective variables Budget (X2) significantly affect the performance of the variable local government officials (Y) County Waterford, thus hypothesis H2 proved.
3) Variable Evaluation Budget (X3), showed beta coefficient of 0.139 at a significance level of 0.127, for a significance level of 0.127> 0.05. This means that the variable Budget Evaluation (X3) does not significantly affect the performance of the variable local government officials (Y) County Waterford, thus unproven hypothesis H3.
4) Variable Feedback Articles (X4), indicating a beta coefficient of 0.626 at a significance level of 0.000, 0.000 for a significance level of ≤ 0.05. This means that the variable feedback Budget (X4) significantly affect the performance of the variable local government officials (Y) County Waterford, thus Hypothesis H4 proved.
5) Variable Difficulty Achieving Objectives Budget (X5), indicating a beta coefficient of 0.239 at a significance level of 0.042, 0.042 for a significance level of ≤ 0.05. This means that the variable difficulty Achievement Tujauan Budget (X5) significantly affect the performance of the variable local government officials (Y) County Waterford, thus Hypothesis H5 proven.
c. The coefficient of determination (R2)
The coefficient of determination (R2) was conducted to determine how much contribution the influence of independent variables on the dependent variable fluctuations. If R2 is close to 1, indicating that the independent variables collectively influence the dependent variable so that the model used can be good. From the results of the regression analysis can be known refined adjusted R squared of 0.622. This indicates that the variable performance of district government officials Temanggung really explained by the Budget Participation variable (X1), Clarity Destination Budget (X2), Evaluation of the budget (X3), Budget Feedback (X4) and Difficulty Achieving Tujauan Budget (X5) of 62.2% and 37.8 explained by other variables outside of the study.

Research Findings and Discussion
a. The findings of the hypothesis H 1 and discussion
The first findings in this study indicate that there is a positive and significant effect of budgetary participation variable on the variable performance of local government officials, this means that an increase in the participation of local government officials in making budget goals will improve the performance of local government officials, otherwise if the participation of local government officials in making budget goals down the performance of local government officials will also be down. Therefore, in this study the hypothesis H1 is accepted.
The results of this study strengthen the research Argyris (1952) has found the participation of subordinate plays a central role in the achievement of goals. With the involvement of the manager or the head of an organizational unit in the budgeting process, will have implications for the clarity of tasks and targets are achieved, thereby helping managers achieve organizational goals as in budget planning. These results also further strengthens research Munawar (2006), who found that budgetary participation affects the performance of local government officials Kab. Kupang. This suggests that the budget established by the local government officials are specific and clear, thus improving the performance of local government officials.
These findings also support research Kenis (1979) which examines the impact of budgetary goal characteristics on managerial behavior and performance of department managers with research subjects. Findings are budgeting participation and clarity of purpose tend to budget a positive effect on the behavior of managers.
b. The findings and discussion of Hypothesis H2
The results of these two findings in this study indicate that there is a positive and significant budget goal clarity variable on the variable performance of local government officials, this means that the apparent clarity of purpose in the budget budgeting eat the higher performance of local government officials in carrying out the duties and responsibilities., Otherwise if less obvious budgetary purposes the performance of local government officials will also be down. Therefore, in this study the hypothesis H2 is accepted.
These results support the research Argyris (1952) who concluded that one key to effective performance budgeting is clarity of purpose plays a central role in the achievement of goals. With a clear goal in the budgeting process, will have implications for the clarity of tasks and targets are achieved, thereby helping managers achieve organizational goals as well as in planning the budget.
These results are also consistent with the results of the study Kenis (1979) which examines the impact of budgetary goal characteristics on managerial behavior and performance of department managers with research subjects found that clarity of purpose of the budget has a strong influence on performance budgeting.
These findings further support the research Locke and Schweiger (1979) suggests that the budget goal clarity can improve managerial performance, whereas the lack of clarity leads to confusion and dissatisfaction with the executive, resulting in decreased performance. Several studies support the positive influence of clarity of purpose on managerial performance (Ivancevich, 1976; Steers, 1975; Imoisili, 1989). Managers who work without a clear purpose will come with a high uncertainty of achieving the goals set previously.
These results also reinforce the findings Steers (1975) empirically found that clarity of purpose related to performance. Through field experiments, Kim (1984) also supports that goal-setting impact on performance. Clarity of purpose budget will improve performance (Latham & Baldes, 1975; Locke, Carrledge & Knerr, 1970).
c. The findings of hypothesis H3 and discussion
The results of these three findings in this study indicate that there is no significant effect of the variable on the variable performance evaluation budget government officials. Therefore, in this study the hypothesis H3 is rejected.
These results contradict the research that has been done Kenis (1979) which examines budgeting evaluation found weak influence on the performance of managers. These results also contradict the research of Michael and Troy (2000) in Munawar (2006) who explained that to measure the performance of a local government in comparison with the objectives that have been set will require local governments accountable.
d. The findings of hypothesis H4 and discussion
Four findings in this study indicate that there is a positive and significant effect of the variable on the variable feedback budgetary performance government officials, this means that the higher the feedback received, the higher government officials performance of local government officials in carrying out duties and responsibilities, otherwise if the bait slightly behind budget will weaken the performance of local government officials will also be down. Therefore, in this study the hypothesis H4 is accepted.
The results of this study support the Steers (1975) who found empirically that the performance-related feedback. Through field experiments, Kim (1984) also supports that feedback significantly impact on performance.
e. The findings of hypothesis H5 and discussion
The findings of this study is the fifth in difficulty achieving positive budget significantly to the performance of local government officials. Thus hypothesis H5 in this study received.
These results support the Hirst and Lowy (1990) which proved that difficult goals result in higher performance than if you set goals that are specific or easier, or purpose of a general nature. These results as well as supporting a variety of research mengindefikasikan that budget goal difficulty and performance are closely linked (Hoftede, 1968; Kenis, 1979; Locke & Schweiger, 1979; Mia, 1989).
These results are consistent with research Latham & Baldes, (1975); Locke, Carrledge & Knerr, (1970) in which the objective difficulties if accepted, will improve performance.

CONCLUSION
From the test results and statistical analysis in this study, it can be concluded as follows:
1. Budgetary participation is significantly positive effect on the performance of local government officials County Waterford.
2. Clarity of purpose of the budget is significantly positive effect on the performance of local government officials County Waterford.
3. Evaluation of the Budget does not significantly affect the performance of local government officials County Waterford.
4. Feedback budget significantly positive effect on the performance of local government officials County Waterford.
5. The difficulty of achieving positive budget significantly to the performance of local government officials County Waterford.
6. Characteristics budget goals (participation, clarity, evaluation, feedback and trouble) together have a positive and significant impact on the performance of local government officials County Waterford.
7. Five characteristic variables budgetary purposes (participation, clarity, evaluation, feedback and difficulty) affecting government performance officer jointly by 62.2% whilst the 37.8% influenced by other variables that are not modeled in this study.

Managerial Implications
Based on the conclusions from the above results, it can be given suggestions or recommendations as follows:
1. Kurangnnya officials over the handling of priority projects the needs of society, should be handling these types of projects more attention again, because the function of local government officials as public servants.
2. Participation of local government officials is needed in County Waterford meningkatkat performance, because participation kurangnnya opinion on budget planning, policy-makers should pay more attention to the opinions of local government officials
3. The importance of clarity of purpose of the budget in improving the performance of local government officials and County Waterford officials are less conscious of the importance of goal-SKPD RKA that priority and the need for greater emphasis on budgetary goals.
4. The importance of feedback between colleagues and between the leadership to improve the performance of local government officials, they should more frequently use the feedback at the end of the budget planning cycle for use in practice.

Limitations of Research
Several limitations of this study include:
1. Sample research use only one employee / government officials are taken, making the lack of characteristic sampled respondents, made some research results are not consistent with previous studies, where the results are only a special case only. So as to yield a consistent yet this needs to be tested again in a couple of other local government officials.
2. This research only load variables budgetary goal characteristics as a basis for building a government apparatus performance. The possibility of other variables that affect the performance of the apparatus that can not be described in the study.
3. Less profound analysis performed on the variable characteristics of the budget and the purpose of the variable performance of local government officials.

Suggestion
Based on the limitations of this study, some suggestions for future research are as follows:
1. The sampling of respondents from research using some type of employee / government officials.
2. Future research can add some variables that may be, influential in conducting research on the performance of local government officials.
3. Less deepening our analysis of the study variables, we suggest for future research, it may be deeper in analyzing the problem.
4. Although no hypothesis was not proven in this study, we still recommend to keep using variables that are not significant in this study, to study again. Because in previous studies of these variables is a key factor to consider.

REFERENCES
Argyris, Chris. The Impact of Budgets on People (Controllership Foundation, 1952).

Brownell, Peter.1981. Participation in Budgeting, Locus of Control and Organizational Effectiveness. Accounting Review, Page 844-860.

__________, A Field Study Examination of budgetary Participaton and locus of control. The Accounting Review (1982) This 766-777.

__________, & M. McIness. Budgetary Participation, Motivation and Managerial Performance. The Accounting Review (1986) This 587-600.

Bastian, Indra.2006. Public Sector Accounting System, Salemba Four Jakarta.
Coryanata Isma.2007. Accountability, Public Participation and Transparency in Public Policy as Pemoderating Relations Board Knowledge About Financial Supervision (APBD), National Accounting Symposium X Unhas Makassar.

Gujarati, Damodar. 1993. Basic Econometrics, third impression, Jakarta; grants

Gunawan R Sudarmanto.2005. Multiple Linear Regression Analysis with SPSS, Graha Science, Yogyakarta.

Gibson, Ivancevich, Donnelly. 1995 Organizations 8th ed. Richard D. Irwin, Inc.

Hanson, Ernest I., The budgetary Control Function. The Accounting Review (April 1966), p 239-243.

Handoko, T. Hani, (2000) Management, 2nd Edition, BEFE, Yogyakarta.

Imosili, O. A., The Role of Budget Data in the Evaluation of Managerial Performance. Accounting, Organizations and Society (1989). It 325-335.

Joko Susilo. , 2008. Linear Regression With Moderating Variables, http://jonikriswanto.blogspot.com/2008/08/.html

Kim, Jay S., Effects of Behavior Plus Outcome Goal Setting and Feedback on Employee Satisfacation and Performance. The Academy of Management Journal (March 1984) Page 139-149.

Kenis, I., Effects of budgetary Goal Characteristics on Managerial Attitudes and Performance. The Accounting Review (October 1979). It 707-721

Luthan, Fred. Organizational Behacior. International Edition, Seventh Edition. McGraww-Hill. New york, 1989.

Libby, T., The Influence of Voice and Explanation on Performance in a Budgeting Setting Participativ. Accounting, OrganizationsThe Accciety (1999). It 125-137

Mardiasmo.2006. Public Sector Accounting. Andi Yogyakarta.

Maryanti, H., A., 2002. Characteristics Influence Behavior Against Budget Interest, Attitudes and Performance of Local Governments in East Nusa Tenggara Province. (Thesis)

Munawar, 2006. Characteristics Influence Behavior Against Budget Interest, Attitudes and Performance of Local Government Officials in Kupang district. (Thesis).

Mia, L., The Impact of Participation in Budgeting and Job Difficulty on anagerial Performance and Work Motivation: Research Note. Accounting Organizations and Society (1989). It 347-357.

Milani, Ken. The Relationship of Participation in Budget Setting to Industrial Supervisor Performance and Attitudes: A Field Study. The Accounting Review (April 1975) Page 274-284

Nor, Wahyudin.2007. Decentralization and Style Kepemimpina As Variables Moderating the Relationship between Budgetary Participation and
Performance Managerial Accounting National Symposium X Unhas Makassar.

Riduwan. Thesis Preparation Methods and Techniques. Alfabeta Bandung.

Rahayu, Sri. , 2007. Study Fenemologis Against Local Budgetary Process Empirical Evidence from One SKPD in Jambi province, National Finance Symposium X Unhas Makassar.

Republic of Indonesia. , 2003. Law No. 17 of 2003 on State Finance. Jakarta Financial Management Improvement Committee.

Republic of Indonesia. , 2004. Law No. 32 of 2004 on Regional Government, Jakarta.

Republic of Indonesia. , 2005. Law No. 33 of 2004 on Financial Balance and Regional Center, Jakarta.

__________, Government Regulation. 58 Year 2005 on Regional Financial Management, Jakarta.

__________, No. Permendagri. 13 Year 2006 on Regional Financial Management, Jakarta.

__________, No. Permendagri. 59 Year 2007 on Regional Financial Management Guidelines, Jakarta.

__________, No. Permendagri. 30 of 2007 on Guidelines for Preparation of Revenue and Expenditure for Fiscal Year 2008, Jakarta

__________, Waterford No. decree. 050/42/2006 on Guidelines for Management of budgets County Waterford. Waterford County Government.

Sarjito, Bambang. , 2007. Effect of Budgetary Participation Performance Against Government Officials: Organizational culture and Organizational Commitment as Moderating Variable, Accounting National Symposium X Unhas Makassar.

Sekaran, Uma. , 2006. Research Methods for Business: A Skill Building Approach. Four Edition. New York: John Willey & Sons, Inc..

Sadjiarto Arja, 2000. Government Accountability and Performance Measurement, Journal of Accounting & Finance Vol 2, November 2000: 138-150

Steer, RM, Task-Goal Attributes, Achievemen, and Supervisory Performance. Organizational Behavior and Human Performance (June 1975). It 392-403

Worimon, Samson. , 2007. Public Participation and Transparency Influence Public Policy Toward Relationship between Science Council On Budget With Blood Comptroller (budget), National Accounting Symposium X Unhas Makassar.

Makalah : Analisa mengenai kebijakan 3 in 1 dalam mengatasi kemacetan lalu lintas di DKI Jakarta


Judul :

Analisa Mengenai Kebijakan 3 in 1  Dalam Mengatasi Kemacetan Lalu Lintas di DKI Jakarta

Tugas Makalah

Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif

Disarikan  Oleh :

M. Lukmanul Hakim, S.Pd.I dan Amin Hendradipura, S.Ag.

Dosen : Dr. Muhammad Mulyadi, A.P, M.Si

 

BAB I

PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang        

Perencanaan merupakan suatu formasi dan implementasi strategi pembangunan ekonomi, sosial, lingkungan, spasial dan sektoral.[1] Proses perencanaan bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan sosial secara berkeadilan. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang memiliki berbagai konsep perencanaan guna meningkatkan kesejahteraan setiap masyarakat. Di wilayah DKI Jakarta yang menjadi ibukota negara sekaligus pusat perekonomian negara, kepadatan penduduk memunculkan berbagai masalah social, khususnya kemacetan. Terpusatnya aktivitas bisnis, perbankan, perkantoran, dan pusat perbelanjaan maupun perumahan yang membuat kemacetan semakin meningkat seTip harinya. Berbagai upaya dan kebijakan pemerintah daerah untuk menanggulangi masalah tersebut telah diimplementasikan, namun belum juga berdampak besar bagi penanggulangan kemacetan di Jakarta.

Sesuai dengan hasil sensus 2010, jumlah penduduk yang tercatat bertempat tinggal di kota Jakarta dengan luas sekitar 661,5 km2 adalah sekitar 9,7 juta jiwa, yang menjadikannya kota terpadat di Indonesia. Namun yang menarik adalah bahwa jumlah penduduk di Jakarta sangat dinamis, dimana jumlah penduduk sangatlah berbeda pada pagi dan malam hari.  Pada pagi hari jumlah penduduk kota Jakarta mengalami peningkatan, sebab banyaknya penduduk yang berasal dari sekitar Jakarta (seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi) datang ke Jakarta untuk melakukan aktivitasnya sehari-hari,[2] seperti bekerja, sekolah, belanja, dan sebagainya.

 

Data di atas secara umum menunjukkan pola peningkatan dari jumlah kendaraan yang ada di wilayah JADETABEK (Jakarta, Depok, Tangerang, dan Bekasi), dimana pada tahun 2010, jumlahnya mencapai 12 juta kendaraan. Dari jumlah tersebut, lebih dari 700.000 kendaraan berasal dari BODETABEK, bukan dari Jakarta, yang artinya penduduk Jakarta meningkat sekitar 5,8% seTip pagi sampai sore hari. Itu merupakan sebuah fakta yang sangat miris, karena Jakarta yang sebelumnya telah menjadi kota terpadat, justru bertambah padat akibat para pendatang harian tersebut. Apalagi, jika jumlahnya semakin lama mengarah pada pola yang sama dan terus-menerus meningkat.  Maka dari itu, Jakarta semakin lama semakin menjadi padat, khususnya pada waktu siang hari sebelum masyarakat beraktivitas dan setelahnya.[3]

Saat ini jumlah perjalanan rata-rata perhari di kawasan kota Jakarta sudah mencapai 17 Juta jiwa, dengan rasio penggunaan kendaraan pribadi sebesar 43,6% dibandingkan penggunaan kendaraan umum yang tidak jauh berbeda sekitar 56,4%.  Dan pada tahun 2010 menurut survey dari JICA perjalanan harian yang terjadi di wilayah Jakarta pada tahun 2002 adalah sebesar 5.302.194, sedngakan pada tahun 2010 telah mencapai angka 7.384.939, dimana sebanyak 791.2995 adalah perjalanan harian yang berasal dari kota Depok dan Bogor.   Arus lalu lintas kendaraan bermotor yang semakin lama semakin bertambah maka menyebabkan kemacetan yang tak terhindarkan di Jakarta

Melalui data tersebut dapat dilihat bahwa pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor di Jakarta sudah masuk pada tahap mengkhawatirkan, dimana hampir seTip sudut ibukota mengalami arus lalu lintas yang padat. Bahkan, tidak dipungkiri juga bahwa kemacetan pun terjadi di jalan bebas hambatan (TOL) atau jalan alternatif lainya.  Pertumbuhan penduduk di Jakarta yang terus diimbangi dengan kepemilikan kendaraan bermotor pribadi, baik roda empat maupun roda dua menjadi penyumbang kemacetan utama yang terjadi di Jakarta. Jika para pengendara ini beralih menggunakan angkutan umum, maka sudah jelas kemacetan akan berkurang. Transportasi publik seperti Transjakarta yang diharapkan dapat menjadi solusi untuk mengatasi kemacetan di Jakarta pun jumlahnya terbatas sehingga tidak dapat menampung mobilisasi yang tinggi bagi penduduk Jakarta. Pertambahan kendaraan bermotor tersebut tidak diimbangi dengan perluasan jalan raya yang mengakibatkan bertambahnya kemacetan di Jakarta seTip harinya.

Salah satu upaya pemerintah daerah untuk menanggulangi kemacetan adalah dengan menggunakan program 3 in 1 (Three in One). 3 in 1 adalah program pemerintah yang dibentuk oleh SK Gubernur 4104/2003 dengan tujuan untuk mengurangi kepadatan arus lalu lintas pada jam tertentu dan pada wilayah yang disebut protokol. Program ini mewajibkan para pengguna kendaraan roda empat untuk membawa penumpang minimal tiga orang dalam satu mobil. Hal tersebut diharapkan dapat mengurangi kemacetan di Jakarta dengan cara membatasi penduduk Jakarta untuk menggunakan kendaraan pribadi di ruas-ruas jalan protokol dan memilih menggunakan transportasi publik yang lebih efektif dan efisien. 

  1. Permasalahan

            Pemerintah DKI Jakarta telah menetapkan program 3 in 1 sebagai salah satu cara untuk mengurangi permasalahan kemacetan di kota tersebut. Program ini mulai diberlakukan di Jakarta setelah terbentuknya SK Gubernur No. 4104/2003 tentang penetapan kawasan pengendalian lalu lintas dan kewajiban mengangkut paling sedikit 3 orang penumpang perkendaraan pada ruas-ruas jalan tertentu di provinsi DKI Jakarta.[4] Kendaraan roda empat yang melalui daerah-daerah protokol seperti di Jalan Sisingamaradja dan juga Jalan Jend. Sudirman diharuskan mengangkut minimal 3 penumpang ke dalam kendaraannya. Jalur-jalur protokol dipilih sebagai tempat untuk memberlakukan program tersebut karena di daerah-daerah tersebut terdapat pusat kegiatan perkantoran dan juga bisnis sehingga akan ada banyak arus kendaraan yang menuju daerah tersebut. Beberapa tahun setelah diberlakukannya program 3in1 di Jakarta ternyata tidak efektif. Kemacetan masih terjadi di daerah tersebut.

Dengan adanya 3in1 di daerah tersebut ternyata menimbulkan polemik baru yaitu hadirnya joki 3in1. Joki-joki ini mencoba memanfaatkan program tersebut untuk mendapatkan penghasilan. Pengguna mobil dapat memanfaatkan jasa mereka agar dapat melalui jalur 3in1 terutama bagi mobil yang tidak berisi minimal 3 orang di dalamnya. Dengan adanya joki dan juga pengguna mobil yang memanfaatkan jasa mereka memperlihatkan bahwa program 3in1 yang dimaksudkan untuk mengurangi kemacetan Jakarta terbukti tidak efektif dan tidak ada partisipasi dari masyarakat. Razia yang kerap kali dilakukan oleh Satpol PP juga ternyata tidak menghentikankan joki 3in1 untuk beroperasi. Joki telah menjadi salah satu pekerjaan yang dapat membantu mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Tidak adanya partisipasi dari masyarakat setempat membuat program tersebut tidaklah efektif untuk dijalankan. Penggunaan mobil tetap saja terlihat menumpuk di daerah-daerah protokol tersebut. Hasbi Hasibuan selaku Sekretaris Dinas Perhubungan DKI Jakarta mengatakan bahwa jumlah kendaraan pribadi tersebut mengangkut 49,7% perpindahan manusia per hari dan  sekitar 600.000 unit kendaraan yang mengangkut lebih kurang 1,2 juta orang dari Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi menuju Jakarta.[5]

Sampai tahun ini, ketidakefektifan 3in1 ini tetap menjadi pilihan bagi pemerintah setempat sebagai solusi memecah kemacetan yang ada di Jakarta. Betahun-tahun program ini diterapkan namun tetap tidak memberikan hasil yang memuaskan. Untuk itu dalam peneliTin yang kami lakukan kali ini, kami akan mencoba mengevaluasi program 3in1 setelah 8 tahun diberlakukan di Jakarta dan tidak menimbulkan efektivitas. Oleh karena itu, pertanyaan peneliTin dari pada makalah ini dapat dirumuskan sebagai berikut: Bagaimana implementasi kebijakan 3-in-1 dalam mengatasi kemacetan di DKI Jakarta?

 

BAB II

Kerangka Pemikiran

  1. Perencanaan Sosial

Perencanaan merupakan suatu upaya terpadu untuk diimplementasikan demi mencapai tujuan tertentu.[6] Berikut merupakan beberapa pengerTin perencanaan menurut beberapa tokoh:[7]

  • Pada hakikatnya perencanaan adalah usaha yang secara sadar, terorganisasi, dan terus-menerus dilakukan guna memilih alternatif untuk mencapai tujuan tertentu (Waterston, 1965: 26)
  • Perencanaan tidak terlepas dari kaitan persoalan pengambilan keputusan. Implikasinya adalah bahwa pasti ada cara yang lebih baik dalam hal pengambilan keputusan tersebut, mungkin dengan cara lebih memperhatikan lebih banyak data yang ada, ataupun hasil-hasil yang mungkin dicapai di masa yang akan datang. (Schaffer, 1970: 29)
  • Perencanaan adalah suatu bentuk latihan intelegensia guna mengolah fakta serta situasi sebagaimana adanya dan juga mencari jalan keluar guna memecahkan masalah. (J. Nehru, dikutip dari Waterston, 1965: 8)
  • Perencanaan adalah suatu seni untuk melakukan sesuatu yang akan datang dapat terlaksanakan. (Beenhakker, 1980: 22)
  • Perencanaan adalah merupakan penerapan yang rasional dari pengetahuan manusia terhadap proses pencapaian keputusan yang bertindak sebagai dasar perilaku manusia. (Sociedad Interamericana de Planification, dikutip oleh Waterston, 1965: 8).

Perencanaan melibatkan hal-hal yang menyangkut pengambilan keputusan atau pilihan mengenai bagaimana memanfaatkan sumber daya yang ada semaksimal mungkin guna mencapai tujuan-tujuan tertentu atau kenyataan-kenyataan yang ada di masa depan.

Sedangkan, apabila kita membicarakan lingkup sosial, maka perencanaan sosial dapat dirumuskan dalam lingkupan poin-poin berikut:[8] Perencanaan sosial merupakan upaya terpadu yang menekankan pada partisipasi publik (komunitas) demi meningkatkan kesejahteraan sosial secara berkeadilan. Perencanaan bukan hanya meliputi pembuatan dokumen, melainkan melibatkan suatu proses yang terintegrasi sebagai hasil kerja kelompok. perencanaan sosial juga memiliki skala prioritas yang berkembang dan dinamis. Fokus perhaTin perencanaan sosial dapat berubah dan berkembang antar waktu. Perencanaan sosial memiliki metode bottom up dalam prosesnya; menetapkan tujuan, strategi, formulasi program, implementasi program, monitoring, dan evaluasi.

 

  1. Kebijakan Sosial

Apabila ditarik pada tingkatan yang lebih abstrak, perencanaan sosial merupakan bentuk implementasi dari kebijakan sosial.[9] Sedangkan kebijakan sosial adalah studi mengenai sosial servis dan perihal kesejahteraan negara. Sosial servis yang dimaksud di sini melingkup pada keamanan sosial, perumahan, kesehatan, pekerjaan sosial dan pendidikan.[10]

Adapun studi kebijakan sosial meliputi tiga elemen utama, yaitu:[11]

  • Kebijakan sosial adalah mengenai studi kebijakan. Elemen inti dari kebijakan adalah asal-usulnya, tujuan kebijakan tersebut dibuat, proses implementasi kebijakan dan hasilnya. Kebijakan sosial berfokus pada studi sosial ekonomi atau relasi politik, permasalahan sosial, atau institusi, di mana Tip permasalahan dapat tidak hanya menyangkut pada satu sektor publik saja, namun dapat tumpang-tindih dengan sektor publik lainnya.
  • Kebijakan sosial terfokus pada isu-isu sosial. Artinya, isu sosial di sini adalah isu yang mencakup sosial sebagai fokus utama.
  • Kebijakan sosial adalah tentang kesejahteraan. Tentang mengenai bagaimana memecahkan permasalahan sosial (bukan permasalahan personal) demi mencapai kesejahteraan sosial dalam masyarakat.

 

  1. Participatory Planning

Participatory Planning menekankan pada keterlibatan para stakeholder, khususnya masyarakat, dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan demi mencapai kesejahteraan.[12] “Planning for and by the people”.[13]  Dengan asumsi, partisipasi masyarakat mengambil andil yang besar dalam proses perencanaan dan kebijakan sosial.  Sebab, para perencana menyadari bahwa seTip stakeholder harus dilibatkan sebanyak mungkin dalam tahapan perencanaan, sehingga mereka dapat membantu dalam memberi informasi yang pasti dan mendetail tentang kebutuhan dan kondisi social yang perlu tercapai. Itupula pada akhirnya akan memberi dorongan pada stakeholder untuk berpartisipasi dan berkomitmen besar dalam proses perencanaan tersebut, sebelum dan setelah diimplementasikan.[14]

Menurut Conyers, pada dasarnya, partisipasi masyarakat sangat penting terutama di negara-negara Dunia Ketiga, karena adanya kecenderungan masyarakat kurang tanggap terhadap adanya perubahan sosial dan karenanya akan merasa cemas dengan adanya perubahan.[15] Setelah terimplementasikan, mereka tidak mengetahui berapa besar manfaat dari perencanaan ini untuk kesejahteraan mereka sendiri. Maka dari itu, hal ini akan memperbesar kesenjangan sosial dan kebudayaan antara pihak perencana dan dengan masyarakat itu sendiri. Selanjutnya, di berbagai negara berkembang bahwa hasrat untuk lebih berpartisipasi dalam perencanaan dikaitkan dengan pendapat yang antara lain menyatakan bahwa partisipasi berkaitan erat dengan diperolehnya kemerdekaan politik sehingga dengan demikian keterlibatan masyarakat dalam pembuatan keputusan merupakan hak sosial yang sangat mendasar.

 

  1. Sustainable City

Konsep sustainable city berbasis pada pemikiran akan sustainable development (pembangunan yang berkelanjutan). Sustainable development perlu untuk diberlakukan dalam seTip kebijakan social, yakni sadar akan membutuhkan perubahan yang bersifat fundamental serta revolusioner dalam aspek ekonomi dan masyarakat.[16] Sustainable development merupakan konsep yang terintegrasi, menyatupadukan tingkat lokal dan global, jangka pendek dan jangka panjang. Asumsinya, “for the need for action now to defend the future[17]. Jika manusia tidak melakukan perubahan, maka dapat berakibat pada bencana besar bagi masalah lingkungan, seperti penipisan lapisan ozon, perubahan iklim, perkembangbiakan nuklir, menghilangnya biodiversitas, dan mengubah lahan menjadi gurun pasir. Para pejuang sustainable development ini memperhatikan hubungan antara kualitas lingkungan dan keseimbangan sosial serta kebutuhan akan partisipasi publik dalam mendukung hal tersebut.

Seperti halnya sustainable development, sustainable city ini bukan hanya memperjuangkan ecologically sustainable, tetapi juga socially sustainable.[18] Dalam arti, proses ini mengaitkan antara ekologi sosial dan biologis serta interaksinya dalam sistem sosial-biologis yang khususnya terjadi di perkotaan, yakni human cities. Perkotaan berbeda di pedesaan yang masih sangat melekat akan aspek alam, sedangkan di perkotaan cenderung penuh akan intervensi manusia. Dalam konsep sustainable city ini, manusia yang mayoritas hidup di perkotaan harus mulai melakukan perencanaan yang bersifat keberlanjutan, dengan memperhatikan konsekuensi jangka panjangnya. Sebab, intervensi manusia di perkotaan sangatlah besar, apalagi jaringan yang mereka miliki dari satu kota dengan kota lain pada tingkat global, sehingga implikasinya pada akhirnya mampu dirasakan pula secara global.

 

BAB III

TEMUAN DATA

Sumber: http://masivstar.blogspot.com/2009/12/daftar-kawasan-3-in-1-jakarta-terbaru.html

3 in 1 (three in one)

            Kebijakan 3 in 1 merupakan salah satu peraturan lalu lintas untuk mengurangi kemacetan di DKI Jakarta. Kebijakan 3 in 1 merupakan pembatasan jumlah penumpang kendaraan pribadi minimal berjumlah 3 orang dari pukul 07.00-09.00 dan pukul 16.30-19.00. Kebijakan 3 in 1 mulai diberlakukan di Jakarta setelah terbentuknya SK Gubernur No. 4104/2003 tentang penetapan kawasan pengendalian lalu lintas dan kewajiban mengangkut paling sedikit 3 orang penumpang perkendaraan pada ruas-ruas jalan tertentu di provinsi DKI Jakarta.[19] Seperti yang diketahui, kebijakan 3 in 1 diberlakukan pada titik-titik yang rawan kemacetan di DKI Jakarta, yaitu (1) Jalan Sisingamangaraja, jalur cepat dan jalur lambat ; (2) Jalan Jenderal Sudirman, jalur cepat dan jalur lambat  ; (3) Jalan MH Thamrin, jalur cepat dan jalur lambat ; (4) Jalan Medan Merdeka Barat ; (5) Jalan Majapahit ; (6) Jalan Pintu Besar Selatan ; (7) Jalan Pintu Besar Utara ; (8) Jalan Hayam Wuruk ; (9) Sebagian jalan Jenderal Gatot Subroto antara persimpangan jalan Gatot Subroto-jalan Gerbang Pemuda ( Balai Sidang Senayan ) sampai dengan persimpangan jalan HR Rasuna Said – jalan Jenderal Gatot Subroto pada jalur umum bukan tol. Ruas Jalan tersebut merupakan Jalan Protokol atau “white area” karena merupakan kawasan perkantoran dan bisnis dan jalan yang resmi dilalui oleh RI 1 (presiden) dan RI 2 (wakil presiden) sekaligus pejabat negara lainnya.[20] Oleh karena itu, kendaraan yang melewati ruas jalur-jalur tersebut perlu dibatasi untuk mengurangi dampak kepadatan dan kemacetan lalu lintas di DKI Jakarta.

Kebijakan 3 in 1 dilatarbelakangi peningkatan jumlah kendaraan baik motor maupun mobil pribadi yang melintas di jalan raya Jakarta dengan sangat pesat, sedangkan jalur yang tersedia masih belum ada peningkatan. Jadi, 3 in 1 ini awalnya berfungsi untuk mengendalikan jumlah kendaraan yang berawal dengan asumsi sebagai berikut:

 

Sumber:Wawancara dengan Prasetyo, Staff Pengendalian Operasional PLLA Dinas Perhubungan DKI Jakarta pada Selasa, 4 Mei, 2011 pukul 14:00 WIB.

Jadi, tujuan utamanya adalah untuk mengalihkan para pengguna kendaraan pribadi, khususnya mobil, menjadi mengendarai transportasi umum ataupun pooling (mereka bergabung dalam satu mobil). Kedua, konsekuensi lain adalah untuk mengalihkan para pengguna kendaraan yang masih menggunakan kendaraan pribadi mereka melewati jalan-jalan alternatif, seperti Casablanca dan sebagainya. Walaupun pada akhirnya juga mengalihkan kemacetan pada jalan alternatif tersebut, tetapi setidaknya jalan utama yang disebut ”white area” ini lebih bersih. Itupula yang melatarbelakangi adanya Transjakarta atau Busway. Jika para pengguna kendaraan pribadi tersebut menaiki bus Transjakarta, maka itu dapat mengurangi jatah ruang di jalanan sebesar 95%.

Secara umum, proses pembuatan kebijakan ini melewati beberapa tahap setelah turunnya SK Gubernur tersebut :

  1. Perencanaan dirapatkan dalam Dinas Perhubungan secara internal, khususnya PLLA dan MRLL (Manajemen Rekayasa Lalu Lintas) sebagai perannya untuk mengurus kebijakan lalu lintas. Mereka paparkan perencanaannya.
  2. Dirapatkan dengan kepolisian serta instansi lain yang terkait, direvisi jika perlu, sampai mencapai pada kesepakatan yang semuanya setuju.
  3. Dikirim ke pemerintah daerah, khususnya gubernur, untuk dirapatkan kembali. Jika setuju, langsung ditanda-tangani menjadi sebuah Surat Keputusan (SK) Gubernur. Jika tidak, maka direvisi kembali.

 

  1. B.       Dinas Perhubungan, Polda DKI, Satpol PP, dan Dinas Sosial sebagai Instansi Pemerintah yang Menjalankan Aturan 3 in 1

Informasi mengenai hubungan lembaga-lembaga negara dalam kebijakan 3 in 1 ini kami dapatkan dari anggota PLLA Dinas Perhubungan DKI Jakarta yang bernama M. Ridwan serta Prasetyo. Saat ini Ridwan menjabat sebagai Koordinator Pengendalian dan Pengawalan Dinas Perhubungan DKI Jakarta dan Prasetyo sebagai salah satu Staffnya. Selain itu, kami juga mendapatkan informasi dari Bapak Suhenda yang merupakan polisi yang sedang bertugas mengawasi lalu lintas di persimpangan CSW, Jakarta Selatan.

Dinas Perhubungan, sebagai lembaga yang berada di bawah Pemda DKI Jakarta, bertugas untuk membuat perencanaan mengenai 3 in 1 sebagai program daerah. Namun dalam pelaksanaannya, DISHUB tidak memiliki wewenang untuk menindak pengendara yang melanggar aturan 3 in 1. Sama halnya dengan kemunculan joki. DISHUB tidak memiliki wewenang dalam menindak joki. Ini artinya, peran DISHUB dalam kebijakan 3 in 1 hanya sebagai pengawas dan pengendali saja. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 49 dan 50 Perda Nomer 12 tahun 2003 yang menyatakan bahwa Dinas Perhubungan bertindak sebagai pengawas dan pengendali pelaksanaan PerDa tersebut.

Penindakan atas pelanggaran yang dilakukan oleh pengendara yang melintasi wilayah 3 in 1 dilakukan oleh Polisi DKI Jakarta. Polisi memiliki wewenang dalam menindak pengendara  kendaraan pribadi yang tidak berisi tiga orang dalam satu mobil. Peran dan wewenang polisi secara umum adalah menindak pelanggaran lalu lintas. Kebijakan 3 in 1 merupakan salah satu dari peraturan lalu lintas di Jakarta. Oleh karena itu, polisi lah yang memiliki wewenang untuk menindak pengendara. Untuk mengatasi masalah joki, polisi tidak peduli apakah di dalam mobil tersebut berisi joki atau bukan. Yang terpenting adalah jumlah penumpang di dalam mobil tersebut berjumlah tiga orang atau lebih. Polisi tidak memiliki wewenang untuk mengurus joki. Wewenang menangkap dan menindak joki berada pada SATPOL PP.

Lain halnya dengan peran dan wewenang SATPOL PP. Lembaga ini memiliki kewenangan untuk menertibkan dan menangkap para joki yang berkeliaran di lokasi-lokasi sebelum jalur 3 in 1. Jika terjadi penangkapan terhadap joki, SATPOL PP akan menyerahkan joki yang tertangkap tersebut kepada Dinas Sosial. Dinas Sosial kemudian memberikan pembinaan kepada joki-joki yang tertangkap. Bentuk pembinaannya salah satunya berupa pemberian keterampilan.

Selain itu perlu diketahui bahwa ada wacana yang menyebutkan kebijakan ini akan segera dihapuskan dan digantikan oleh ERP (Electronic Road Pricing), dimana para pengguna mobil pribadi diwajibkan untuk membayar sekian jumlah untuk melewati jalanan ini, sama seperti konsep tol. Tujuan pemberlakuan ERP adalah agar seTip pengendara kendaraan pribadi yang sedikitnya beroda empat dapat beralih menggunakan kendaraan umum agar kepadatan lalu lintas di Jakarta bisa berkurang secara signifikan.

  1. Joki

C.1. Informan Ti[21]

Informan adalah seorang perempuan berumur 25 tahun. Ia sudah bekerja menjadi joki selama 2 tahun. Biasanya ia bekerja menjadi joki dengan stand by di daerah Blok M, Senayan, Menteng, dan HI. Menurutnya, daerah yang paling ramai dengan keberadaan joki, yaitu di daerah Blok M dan Senayan. Untuk menjadi joki di daerah-daerah tersebut, tidaklah memerlukan suatu peraturan dan struktur khusus, seperti yang dikatakan oleh informan Ti: “bebas, di sini individual.” Informan sendiri mengaku bahwa pada awalnya, ia menjadi joki karena ia pergi dari rumah (kabur), jadi ia mencari kegiatan, yaitu menjadi joki 3-in-1 dan ia tidak memiliki kegiatan lain di luar menjadi joki.  Baginya, kegiatan ini menguntungkan dirinya karena profesi joki ini telah menjadi sumber penghasilan satu-satunya. Informasi untuk menjadi joki sendiri, ia dapatkan karena ia sering melewati daerah Blok M dan melihatnya dari Tv. Saat ini informan kost di daerah Pal Merah. Menurutnya, banyak sekali pengemudi mobil yang menggunakan jasa joki. Biasanya, joki-joki tersebut dibayar sekitar 10.000-12.000 rupiah, tergantung jarak, tetapi hal tersebut bukanlah hal mutlak, seperti yang dikatakan oleh informan: “kalau itu ga ditetapin, Cuma kebijakan dari mereka aja, ga ada ketentuannya”.

Rata-rata mobil yang dinaiki oleh informan dalam sehari, yaitu pada pagi hari sebanyak 3 mobil, sedangkan sore sebanyak 2 mobil. Selain itu, biasanya apabila di dalam mobil tersebut hanya terdiri dari supir, maka ia akan mengambil dua joki, sedangkan jika di dalam mobil sudah ada dua orang, maka akan diambil 1 Joki. Untuk masalah razia sendiri bagi joki-joki yang ada dalam 3-in-1 ini, dilaksanakan oleh Satpol PP, dalam hal ini polisi tidak memiliki wewenang, seperti yang dikatakan oleh informan: “Ada pemantauan dari Satpol PP. sering, sering sekali ada razia, dan biasanya kita langsung bubar..tapi suka ketangkap kalau masih nongkrong di situ pada saat masih 3-in-1, tapi setelah 3-in-1 bebas ga ada masalah apa-apa.”Informan sendiri mengaku pernah tertangkap razia oleh Satpol PP bersama dengan joki-joki lainnya, kemudian ia dibawa ke Kedoya dan didata serta ditahan selama 1 minggu penuh.

Bagi Infroman, dengan adanya 3-in-1 ini sebenarnya lancar-lancar saja, walaupun ada daerah-daerah yang mengalami macet ketika sore, saat pulang kerja, namun pada pagi hari lancar. Menurut ia, motif pengemudi yang menggunakan joki-joki tersebut karena ada ketakutan nantinya ditangkap oleh polisi, dan dikenai sanksi berupa pembayaran secara materi.

 

C.2. Informan T[22]

T adalah joki yang berasal dari Demak, Jawa Tengah. Pada awalnya ia merantau ke Jakarta untuk mencari pekerjaan yang lebih baik dari pekerjaan sebelumnya di desa, yaitu sebagai pedagang buah. Namun saat menginjakkan kaki di Jakarta,  ia ditipu dan dirampok oleh kenalan barunya, sehingga ia kehilangan seluruh barang bawaan dan uang bekalnya di Jakarta. Sempat menjadi gelandangan, akhirnya ia diajak oleh kenalannya di Jakarta untuk bekerja sebagai joki 3 ini 1 di daerah Jakarta Pusat. Dengan penghasilan rata-rata Rp. 60.000,- per harinya, T memutuskan untuk meneruskan pekerjaan sebagai joki 3 in 1 hingga sekarang. Kini ia bekerja sebagai joki 3 in 1 di dua daerah, yaitu di daerah di Jakarta Pusat dan di daerah Jakarta Selatan. Tidak ada pembagian khusus dan tepat kapan ia bekerja di Jakarta Pusat ataupun kapan ia bekerja di Jakarta Selatan.

 

Barisan para joki 3 in 1 di daerah Blok M, Jakarta Selatan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Ia mengaku tidak ada prasyarat khusus untuk menjadi joki 3 in 1 di kedua daerah tersebut. Tidak ada keharusan membayar retribusi dan meminta ijin sebagai joki 3 in 1 kepada preman atau pihak keamanan setempat, ataupun kepada oknum aparat setempat. Untuk menjadi joki 3 in 1 hanya perlu berdiri pada barisan joki dan memberikan simbol untuk bersedia diangkut kepada pengendara mobil pribadi yang akan memasuki jalur 3 in 1. Adalah suatu keharusan menurut T, untuk mengenakan pakaian yang rapi dan baik saat menjadi joki 3 in 1. Hal ini diperlukan agar saat ada razia polisi di daerah 3 in 1, polisi tidak curiga bahwa joki 3 in 1 tersebut bukanlah patner sebenarnya si pengemudi (cara berpakaian digunakan untuk memanipulasi status sosial).

 

 

Salah satu Joki 3 in 1 yang mendapatkan pelanggan

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Razia keberadaan 3 in 1 hampir seTip kali dilakukan oleh pihak aparat berwenang, dalam hal ini adalah pihak Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Hampir seTip hari Satpol PP lewat dan melakukan razia di daerah tempat barisan joki 3 in 1 berada. Namun, menurut pengakuan T, ada dua bagian dari Satpol PP yang melakukan razia terhadap mereka. Yang paling sering melakukan razia terhadap mereka adalah Satpol PP yang memang tempat operasinya di daerah setempat. Sedangkan razia yang jarang dilakukan oleh Satpol PP yang berwenang di daerah DKI Jakarta (bertanggung jawab kepada walikota DKI Jakarta). Pada razia Satpol PP daerah setempat, joki 3 in 1 tidak ditangkap dan tidak ditindak, juga tidak dipungut retribusi. Hal ini karena para Satpol PP tersebut seperti telah memaklumi keadaan para joki 3 in 1 tersebut, sehingga tidak dilakukan penindakan.

Namun berbeda halnya dengan razia yang dilakukan oleh Satpol PP dari DKI Jakarta yang melakukan penindakan tegas kepada para joki 3 in 1. Mereka melakukan penangkapan kepada joki 3 in 1 yang ketahuan tengah beroperasi. Joki 3 in 1 yang ditangkap selanjutnya dibawa ke penampungan untuk dibina selama beberapa waktu. T mengaku pernah ditangkap oleh pihak Satpol PP. Di tempat penampungan, selama 2 hari, ia mengaku dipekerjakan sebagai pembantu. Ia mengaku disuruh memijat para preman yang ada di sana, lalu disuruh untuk melayani para aparat di sana (seperti membuatkan minuman dan makanan). Menurut T, penampungan tersebut berlangsung sangat lama. Joki 3 in 1 yang tertangkap akan dikurung selama seminggu di sana. Setelah seminggu berjalan, joki-joki tersebut diberi pelatihan dan pembinaan secara terus menerus. T hanya bertahan selama dua hari di tempat penampungan karena ia mengaku tidak tahan dengan suasana di sana. Ia membebaskan diri dengan cara menggadaikan handphone miliknya kepada para petugas.

 

  1. Pengguna Joki[23]

Dua orang informan yang berinisial R dan S adalah sepasang suami-isteri yang mengaku biasa menggunakan joki 3in1 dan bertempat tinggal di Pondok Cabe. Perjalanan dari rumah menuju kantor biasanya memakan waktu sekitar 1,5 sampai 2 jam, jika terjebak macet dapat memakan waktu 2 sampai 3 jam. S sudah bekerja selama 11 tahun di daerah Thamrin dan menjabat sebagai branch manager di salah satu bank sedangkan R bekerja sebagai sales marketing.

Mereka biasanya menggunakan joki mulai dari Blok M untuk menuju kantornya yang melewati jalur protokol, tepatnya di daerah Sudirman. Jika tidak menggunakan joki maka pilihan yang harus mereka gunakan adalah melalui daerah Pakubuwono yang menempuh jarak lebih jauh juga waktu yang lebih lama. Mereka memang sering menggunakan joki walaupun tidak seTip hari. Mereka biasa menggunakan joki hanya di pagi hari sedangkan untuk sore hari mereka tidak pernah memanfaatkan jasa joki karena jalur yang dilewati berbeda dari jalur berangkat kantor. Mereka tidak berani untuk lewat jalur 3in1 jika penumpang mobilnya tidak memenuhi syarat.

Mereka biasa memberikan uang senilai Rp 12.000 untuk jalur tempuh antara Blok M sampai Gedung BRI karena informan R bekerja di daerah tersebut. Sementara untuk S yang harus melalui daerah Pancoran untuk melanjutkan perjalanan ke Tebet harus membayar Rp 25.000. Mereka berdua sepakat bahwa jalur 3in1 tidak efektif dan bukanlah solusi yang tepat. Sebenarnya banyak pengguna mobil yang menggunakan jalur 3in1 tetapi tidak mematuhi peraturan yang berlaku. Di dalam mobil pun sering sekali terlihat hanya ada satu atau dua orang dan polisi yang berjaga disekitar jalur 3in1 yang tidak menindak tegas akan hal itu. Mereka juga mengatakan bahwa polisi terkadang memang melihat pelanggaran yang terjadi namun tidak memberhentikan mobil tersebut karena takut justru akan menambah kemacetan yang ada.

Alternatif untuk menggunakan bus bukan menjadi pilihan bagi mereka karena jalur yang dilewati juga jalur kemacetan. Begitu juga dengan busway yang dirasakan tidak ada pengaruhnya terhadap solusi kemacetan Jakarta. R mengatakan bahwa sebenarnya untuk busway jika kita hanya bepergian untuk jarak dekat mungkin akan membantu namun tidak demikian dengan jarak jauh. Ia juga mengatakan bahwa di Jakarta sendiri perencanaannya tidak baik dan tidak komprehensif seperti misalnya dalam pengaturan jumlah mobil. Pemerintah DKI yang seharusya sudah tahu akan rasio panjang jalan Jakarta, berapa jumlah mobil dan motor, dan berapa pertumbuhan antara mobil, motor, dan juga jalan mampu menangani kemacetan yang terjadi. Selama ini yang dilakukan oleh pemerintah DKI dalam kurun waktu 20 tahun terakhir yang terlihat adalah busway dan terlihat tidak membantu untuk mengalihkan pengguna mobil ke busway. Kebijakan 3in1 juga dirasakan tidak membantu.

R mengatakan bahwa rencana pemerintah dalam kebijakan memang sudah hebat namun berbanding terbalik dengan realita yang ada di masyarakat. Kendala biaya menjadi hal yang dirasakan mengganggu. S pun menambahkan bahwa busway memang tidak efektif. Pemanfaatan kereta juga harusnya dimaksimalkan namun akan sulit bagi masyarakat yang daerah rumahnya tidak dilewati jalur kereta. Beliau juga mengatakan bahwa jumlah mobil dan motor di Jakarta sudah terlalu banyak sehingga penggunaan joki 3in1 menjadi pilihan bagi mereka sebagai dampak dari kebijakan 3in1.

Mereka juga sering melihat razia joki 3in1 yang dilakukan oleh satpol PP di daerah Blok M sehingga akan menyulitkan mereka untuk mendapatkan joki dan terpaksa harus melewati jalur yang tidak diberlakukan 3in1. Mereka mengatakan bahwa memang ada beberapa joki yang memasang tarif namun ada juga yang menerima berapapun ia dibayar. Biasanya tarif yang digunakan ini adalah berdasarkan jalur tempuh yang harus dilalui. Mereka cenderung pemilih dalam menggunakan joki, mereka lebih memilih perempuan untuk menaiki mobil mereka. Mereka juga memiliki joki langganan yang sudah 2 tahun mereka manfaatkan jasanya.

BAB IV

ANALISIS

 

A.   Analisis

Kemacetan merupakan salah satu masalah yang dihadapi hampir seluruh negara di dunia, tak terkecuali Indonesia. Kemacetan menjadi salah satu isu utama yang dihadapi kota-kota besar di Indonesia. Jakarta, sebagai ibukota negara, menjadi pusat aktivitas pemerintahan, bisnis, perkantoran, perbankan, perbelanjaan, sekaligus perumahan. Tak pelak, jalan-jalan di ibukota negara ini dipenuhi oleh ratusan ribu kendaraan umum dan pribadi setiap harinya yang beraktivitas di sana. Pemerintah memiliki kewajiban untuk mengatur segala aspek kehidupan yang menyangkut masyarakat banyak, termasuk mengatur lalu lintas. Berbagai macam kebijakan diluncurkan pemerintah Indonesia untuk mengatasi masalah kemacetan ini. Salah satu kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah daerah DKI Jakarta untuk mengurangi adalah kebijakan 3 in 1.

Program 3 in 1 merupakan sebuah kebijakan social yang diberlakukan oleh pemerintah daerah. Tidak semua wilayah di Indonesia menerapkan kebijakan 3 in 1. Hal ini dikarenakan wewenang untuk menentukan lalu lintas di suatu wilayah tertentu berada di tangan pemerintah daerah. Kebijakan 3 in 1 merupakan salah satu dari kebijakan yang diambil oleh pemerintah daerah DKI Jakarta untuk mengatasi kemacetan di wilayah DKI Jakarta. Sebelum implementasi kebijakan 3 in 1 ini, pemerintah daerah DKI Jakarta mengeluarkan suatu kebijakan yang kemudian menjadi dasar dari perencanaan 3 in 1. Secara umum, kebijakan merupakan suatu keputusan politik.

Kebijakan sosial yang menjadi cikal bakal perencanaan 3 in 1 bersumber dari SK Gubernur 4104/2003. Hal yang melatar belakangi munculnya kebijakan ini adalah karena banyaknya peningkatan jumlah kendaraan bermotor baru yang keluar seTip harinya. Pada tahun 2002, Gubernur Sutiyoso baru saja naik jabatan, sehingga 2002 sampai 2003 menjadi momen dimana ia mengevaluasi permasalahan yang muncul dari jabatan sebelumnya serta perubahan-perubahan apakah yang perlu diambil guna mengatasi permasalahan tersebut. Salah satu permasalahan yang dideteksi adalah bahwa kendaraan bermotor baru yang dikeluarkan STNK-nya di Jakarta berjumlah 800 kendaraan per hari,[24] sedangkan ruas jalan di Jakarta jumlahnya tidak berubah. Hal tersebut menunjukkan adanya isu social berdasarkan perkembangan jumlah kendaraan yang digunakan masyarakat tidak sesuai dengan ruas jalan. Akibatnya, terjadi “kontestasi ruang” antar masyarakat yang berasal dari Jakarta maupun sekitarnya, sehingga pada akhirnya akan mencapai titik kemacetan secara besar-besaran.

Hal tersebut juga menunjukkan bahwa kebijakan 3 in 1 ini merupakan kebijakan yang berbasis sustainable city, karena ini menekankan pada pembangunan di perkotaan yang berkelanjutan.  Jakarta, seperti yang sebelumnya di jelaskan, karena menjadi pusat perkotaan, maka seTip harinya sangat dipenuhi oleh kepadatan penduduk dan kendaraan pribadi. Tetapi, kepadatan yang berdampak pada kemacetan tersebut tidak diikuti dengan perencanaan yang mengatur pembangunan yang bersifat berkelanjutan. Pasalnya, kemacetan berdampak langsung ataupun tidak langsung pada masalah social maupun masalah alam. Berbagai dampak negative yang muncul dari kemacetan, seperti terbuangnya waktu untuk beristirahat dirumah, letih akibat menyupir di perjalanan yang panjang dan penuh dengan kemacetan, bahkan dapat berakibat pada stress. Dampak tersebut bertolak belakang dengan konsep socially sustainable, karena pada akhirnya kemacetan mengganggu fungsi manusia sebagai makhluk social. Kemudian, dari sisi lingkungan pun, kemacetan bertolak belakang dengan ecologically sustainable, seperti berdampak pada pollusi yang semakin memburuk serta penggunaan Bahan Bakar Minyak yang berlebihan. Dari situ, terlihat bahwa sebelum diberlakukannya 3 in 1 untuk menanggulangi isu kemacetan, pemerintah DKI Jakarta belum menekankan pada pembangunan perkotaan yang berkelanjutan. Tetapi, dengan landasan asumsi bahwa 3 in 1 dapat mengurangi pengguna jumlah kendaraan pribadi, itu merupakan sebuah upaya pemerintah dalam merealisasikan pembangunan perkotaan yang berkelanjutan atau sustainable city.  Maka dari itu, atas kesadaran tersebut, kemudian Gubernur Sutiyoso mengeluarkan Surat Keputusan yang mengatur mengenai jumlah penumpang dalam satu mobil pribadi yang diizinkan untuk melintas jalan dan waktu tertentu. Kebijakan yang dibuat oleh Gubernur ini merupakan sebuah kebijakan social, sebagai upaya menindaklanjuti isu-isu social, khususnya kemacetan.

Di sisi lain, perencanaan merupakan langkah bagaimana kebijakan dan strategi tersebut diimplementasikan. Menurut Waterston (1965), pada hakikatnya perencanaan adalah usaha yang secara sadar, terorganisasi, dan terus-menerus dilakukan guna memilih alternatif untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam kasus kebijakan 3 in 1, perencanaan merupakan langkah-langkah yang lebih konkret dalam mengimplementasikan kebijakan 3 in 1 yang bersumber dari SK Gubernur No. 1404/2003. Perencanaan kebijakan 3 in 1 mencakup wilayah mana saja yang akan diterapkan kebijakan tersebut, hari dan jam diberlakukannya aturan tersebut, siapa saja lembaga pemerintah  yang memiliki wewenang untuk menjadi pengawas dan penindak pelaku pelanggaran, apa saja peran-peran lembaga pemerintahan tersebut, siapa saja yang menjadi sasaran atau subjek aturan 3 in 1 tersebut, dan bagaimana sistem pengawasannya.

Jalan-jalan yang menjadi wilayah diberlakukannya kebijakan 3 in 1 meliputi (1) Jalan Sisingamangaraja, jalur cepat dan jalur lambat ; (2) Jalan Jenderal Sudirman, jalur cepat dan jalur lambat  ; (3) Jalan MH Thamrin, jalur cepat dan jalur lambat ; (4) Jalan Medan Merdeka Barat ; (5) Jalan Majapahit ; (6) Jalan Pintu Besar Selatan ; (7) Jalan Pintu Besar Utara ; (8) Jalan Hayam Wuruk ; (9) Sebagian jalan Jenderal Gatot Subroto antara persimpangan jalan Gatot Subroto-jalan Gerbang Pemuda ( Balai Sidang Senayan ) sampai dengan persimpangan jalan HR Rasuna Said – jalan Jenderal Gatot Subroto pada jalur umum bukan tol. Jalan-jalan inilah yang disebut dengan white area yang menjadi jalur yang dilewati RI 1 dan RI 2. Waktu diberlakukannya aturan minimal tiga penumpang dalam satu mobil ini berlaku pada hari senin sampai jumat, pukul 07.00-09.00 dan 16.30-19.00. Sasaran dari kebijakan ini adalah pengendara mobil pribadi. Angkutan umum dan motor bukan merupakan sasaran dari kebijakan 3 in 1.

Jalanan yang diambil untuk diberlakukannya kebijakan 3 in 1 adalah jalanan yang disebut sebagai “white area” atau protocol. Jalanan sepanjang Sudirman sampai Hayam Wuruk ini menjadi jalur utama yang dilewati oleh RI 1 (presiden), RI 2 (wakil presiden), serta jajaran menterinya seTip hari. Otomatis, jalanan tersebut harus bersifat “bersih” sehingga mempermudah para pejabat negara untuk melaluinya tanpa kemacetan. Selain dilalui oleh pejabat negara, jalan-jalan yang diterapkan kebijakan 3 in 1 juga  merupakan pusat aktivitas pemerintahan, bisnis, perkantoran, perbelanjaan, dan sebagainya. Itulah yang membuat jalanan ini menjadi sangat padat, sebab seTip gedung-gedung tinggi di sepanjang jalanan tersebut bahkan menanmpung sampai ribuan orang yang terkadang masing-masing membawa mobilnya sendiri. Oleh karena itu, jalanan yang diberlakukan 3 in 1 merupakan jalanan yang memang menjadi pusat kemacetan, sehingga membutuhkan intervensi pemerintah.

Selanjutnya, perencanaan lain dalam memberlakukan kebijakan 3 in 1 adalah menentukan pihak mana yang terlibat dalam pelaksanaannya. Lembaga-lembaga yang terlibat dalam penerapan kebijakan 3 in 1 ini adalah Dinas Perhubungan, Kepolisian Daerah DKI Jakarta, SATPOL PP, dan Dinas Sosial. Keempat instansi ini berada di bawah payung pemerintah daerah. Dinas Perhubungan memiliki peran sebagai pengawas dan pengendali. Perencanaan model 3 in 1 ini juga digodok oleh Dinas Perhubungan, setelah turun SK Gubernur tersebut. DISHUB lah yang mengurai aturan-aturan teknis dari SK Gubernur yang sifatnya umum. Dalam implementasi peraturan ini, DISHUB tidak memiliki wewenang untuk menindak pengendara mobil pribadi yang berisi kurang dari tiga orang saat memasuki wilayah 3 in 1. Sedangkan peran Polisi dalam hal ini adalah menindak pengendara mobil pribadi yang melanggar aturan 3 in 1 saat diberlakukannya kebijakan ini. Secara umum, tugas polisi adalah menindak pelanggaran lalu lintas. Oleh karena itulah, polisi memiliki wewenang untuk menangkap dan menindak pengendara yang tidak berjumlah tiga orang dalam satu kendaraan pribadi.

Lain hanya dengan wewenang SATPOL PP. Peran SATPOL PP dalam hal ini adalah menangkap joki. Kemunculan fenomena joki merupakan salah satu konsekuensi dari diterapkannya kebijakan 3 in 1. Munculnya joki-joki ini juga merupakan faktor utama kegagalan kebijakan 3 in 1. Tugas SATPOL PP adalah menangkap dan menyerahkan joki tersebut kepada Dinas Sosial untuk kemudian dibina selama beberapa hari. SATPOL PP memiliki wewenang untuk mengkap joki-joki yang berkeliaran di jalan-jalan menuju kawasan 3 in 1. Tugas utama SATPOL PP adalah menjaga ketertiban umum. Para joki tersebut dianggap mengganggu ketertiban umum karena berdiri di jalan-jalan sebelum memasuki kawasan 3 in 1. Oleh karena itulah, SATPOL PP memiliki wewenang untuk menangkap para joki tersebut. Dinas Sosial berperan sebagai penampung dan pemberi pembinaan kepada para joki yang tertangkap.

Hal-hal teknis tersebut tertuang dalam perencanaan yang dibuat oleh Dinas Perhubungan, di bawah pengawasan pemerintah daerah DKI Jakarta. Perencanaan tersebut dibuat berdasarkan SK Gubernur yang menyatakan bahwa untuk mengurangi kemacetan, satu mobil pribadi harus berisi tiga orang atau lebih. Perencanaan ini berisi hal-hal teknis dan langkah-langkah implementasinya demi tercapainya tujuan kebijakan. Dalam kasus ini tujuannya adalah untuk mengurangi kemacetan.

Tetapi sangat disayangkan bahwa program 3 in 1 tersebut tidak memberikan hasil yang cukup baik delapan delapan tahun terakhir ini, karena pada pengambilan keputusannya tidak bersifat partisipatory planning. Kebijakan 3 in 1 beserta perencanaannya hanya bersifat top-down, melibatkan pihak instansi aparat yang terkait dalam pelaksanaannya, yakni Dinas Perhubungan, satpol PP, serta polisi. Tetapi, gubernur sebagai pengambil kebijakan tidak meminta informasi yang dibutuhkan oleh para pengguna jalan protocol ini, yang mereka lalui menggunakan kendaraan pribadi seTip harinya. Dinas Perhubungan pun sebagai pembuat perencanaannya tidak melibatkan masyarakat pada umumnya. Akibatnya, strategi tersebut menjadi kurang tepat sasaran. Pada pengorganisasian perencanaannya pun, mereka tidak melibatkan masyarakat sekitar yang melewati wilayah ini seTip harinya dengan kendaraan pribadi mereka, seperti para pekerja di perkantoran sekitar Sudirman-Thamrin.  Dalam hal ini, partisipasi dari pengemudi kendaraan bermotor terlihat tidak ada. Mereka cenderung tetap menggunakan kendaraan pribadi untuk mencapai tujuan mereka, atau dengan kata lain tidak beralih ke kendaraan umum. Hal tersebut dapat dijelaskan dengan pernyataan dari informan kami yang merupakan pengemudi yang menggunakan jasa joki bahwa dengan mereka menggunakan kendaraan umum pun, mereka tidak akan luput dari kemacetan yang ada. Maka, “planning for and by the people” tidak berlaku, dimana perencanaan 3 in 1 ini berguna untuk kesejahteraan masyarakat, tetapi tidak dilakukan oleh masyarakat.

Saat pelaksanaannya, kebijakan 3 in 1 menimbulkan kesenjangan social dan budaya antara pihak perencana dengan masyarakat. Karena kebijakan ini basisnya tidak mendapatkan masukan dari masyarakat setempat, maka masyarakat pun cenderung menemukan berbagai celah untuk tidak berpartisipasi dalam perencanaannya. Hal ini dapat dilihat dengan maraknya kasus dimana program 3in1 tersebut dijadikan sebagai salah satu mata pencaharian orang-orang tertentu yang disebut sebagai Joki 3in1. Joki 3in1 merupakan seseorang yang menawarkan jasa untuk bersedia berada dalam mobil pengendara roda empat selama jarak tertentu untuk menghindari pelanggaran akibat pelaksanaan program tersebut. Dengan adanya joki, benar bahwa masyarakat ini berpartisipasi dalam pelaksanaan 3 in 1, tetapi tetap saja tidak sesuai dengan asumsi awal karena di dalamnya sebenarnya hanya mencakup 2 orang saja, dan 1 joki itu hanya berpura-pura. Penggunaan joki ini sebagai upaya masyarakat untuk melewati jalanan protocol, tanpa harus “berpartisipasi” dalam asumsi awal dari kebijakan 3 in 1. Selanjutnya, dengan pengguna kendaraan yang beralih melewati jalanan alternative sekitar jalan protocol. Itu bukanlah berpartisipasi dalam kebijakan 3 in 1 karena mereka tetap menggunakan mobil pribadinya yang berisi kurang dari 3 orang, serta akibatnya, justru kemacetan tersebut beralih menjadi di ruas jalan alternative tersebut. Artinya, kebijakan ini bukannya mengurangi kemacetan, tetapi justru mengalihkan kemacetan dari jalanan protocol menuju jalanan alternative. Dari hal tersebut terlihat bahwa, yang terjadi di dalam system kebijakan tersebut menimbulkan suatu ketergantungan baru yang saling menguntungkan antara pengemudi kendaraan beroda empat dengan para joki 3 in 1. Para pengemudi kendaraan merasa membutuhkan joki tersebut dengan landasan mereka akan melalui jalur 3 in 1 tanpa harus dikenai sanksi dari pihak kepolisian. Bahkan tidak jarang dari para pengemudi tersebut memiliki joki langganan. Sebaliknya, dari pihak joki sendiri yang notabenenya berasal dari kelas bawah, maka mereka membutuhkan suatu penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu, ketika mereka melihat terdapat suatu bentuk kesempatan dalam praktek 3 in 1 tersebut, maka mereka memanfaatkan hal tersebut.

Terakhir, masyarakat (pengemudi kendaraan bermotor) pun tidak berpartisipasi dengan cara menghindar dari waktu yang di tentukan saat berlangsungnya 3 in 1. Misalnya, para pekerja di jalanan protocol, mereka berangkat saat 3 in 1 belum dimulai, dan pulang saat 3 in 1 telah selesai. Akibatnya, kemacetan pun terjadi saat sebelum dan setelah waktu 3 in 1. Karena 3 in 1 yang tidak bersifat partisipatoris ini, maka jumlah pengguna kendaraan pun tidak berkurang, serta kemacetan tetap terjadi di bukan hanya daerah protocol, tetapi juga teralokasi di jalanan alternative, serta sebelum dan setelah waktu 3 in 1.

Di sisi lain aparat kepolisian di jalan protokol tersebut, walaupun mereka terlibat dalam perencanaan, tetapi saat implementasi, mereka tidak menjalankan tugasnya dengan sesuai.  Peran mereka dalam lalu lintas adalah mengawasi masyarakat jikala melanggar peraturan yang berlaku, termasuk salah satunya 3 in 1. Tetapi, saat kebijakan 3 in 1 diimplementasikan, kepolisian tidak memberikan sanksi tegas kepada pengendara roda empat yang melanggar aturan. Sebab, apabila petugas keamaan tersebut memberhentikan beberapa kendaraan yang melanggar maka konsekuensi yang akan di hadapi adalah semakin bertambahnya kemacetan yang terjadi di jalan tersebut akibat terhambatnya arus lalu lintas. Maka dari itu, seTip harinya banyak yang masih melewati jalan protocol pada waktu 3 in 1 tetapi hanya terdapat 1 orang saja di dalam mobil.

Sehingga dalam hal ini dapat dijelaskan bahwa perencanaan yang tidak diimbangi dengan dukungan dan partisipasi masyarakat akan berjalan kurang efektif. Partisipasi masyarakat sebagai sebuah tindakan yang dapat menentukan keberhasilan suatu program menjadi faktor utama yang harus diperhitungkan. Karena apabila kebijakan tersebut hanya berupa keputusan politik dan implementasi semata tanpa ada yang menjalankan kebijakan tersebut maka akan terlihat menjadi sia-sia.  Sehingga untuk mengatasi kemacetan dibutuhkan strategi baru yang sifatnya bottom – up yang diharapkan perencanaan tersebut dapat berjalan sesuai harapan dan tepat sasaran.

Pembagian tugas dan kewenangan antara POLDA, SATPOL PP, Dinas Perhubungan, Dinas Sosial memang memberikan kemudahan dalam pembagian tanggung jawab kebijakan 3 in 1. Namun hal ini belum bisa menjadi jaminan bahwa kebijakan ini akan berjalan lancer sesuai dengan yang direncanakan. Dalam tataran ideal memang pembagian kewenangan dan tanggung jawab ini baik namun dalam kenyataan empirik masih banyak muncul masalah terkait pembagian wewenang. Sebaiknya ada lembaga atau instansi atau pihak khusus yang bertanggungjawab atas berjalannya kebijakan 3 in 1 ini sesuai dengan yang diharapkan. Sehingga tidak ada saling lempar tanggung jawab jika sampai pada kenyataan saat ini bahwa 3 in 1 tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan.

Sehingga secara umum dapat dikatakan bahwa kebijakan untuk mengatasi kemacetan yang dilakukan PEMDA DKI Jakarta lebih bersifat proyek (project oriented).  Perlu diketahui bahwa kebijakan 3 in 1 yang sudah 8 tahun berjalan namun belum mencapai hasil yang maksimal, direncanakan akan segera dihapuskan. Setelah dihapus kemudian diganti dengan kebijakan yang baru seperti monorail dan ERP (Electronic Road Pricing). Namun, berhubung pembangunan monorail gagal diwujudkan maka proyek selanjutnya adalah ERP. ERP merupakan sistem elektronik yang menetapkan para pengguna mobil pribadi diwajibkan untuk membayar sekian jumlah untuk melewati jalanan tertentu di Jakarta, sama seperti konsep tol. PEMDA DKI dalam mengatasi kemacetan di Jakarta terlalu mengandalkan kebijakan yang project oriented.

 

B.   Kesimpulan dan Saran

Perjalanan kebijakan 3 in 1 yang tidak efektif dalam mengatasi kemacetan akibat meningkatnya penggunaan kendaraan pribadi telah diketahui secara umum oleh seluruh element masyarakat. Akan tetapi, kami sendiri masih melihat bahwa masih terdapat kesempatan agar 3 in 1 dapat berjalan efektif dengan beberapa solusi yang kami tawarkan. Pertama, ketika dilansir bahwa kegagalan utama dari kebijakan 3 in 1 ini adalah karena kemunculan joki-joki, maka solusi yang ditawarkan adalah pengawasan yang diperketat. Pengawasan ini sifatnya terdiri dari dua, yaitu pengawasan terhadap joki dan pengawasan terhadap SATPOL PP.

Pengawasan terhadap joki yang diperketat ini dilakukan dengan cara, yaitu penempatan SATPOL PP diseTip titik di mana para joki menawarkan jasanya kepada para pengemudi. Artinya adalah SATPOL PP tidak hanya berkeliling memantau joki, tetapi SATPOL PP benar-benar stand by di daerah-daerah yang terdapat joki. Hal ini diperlukan  karena dari fakta yang ada, ketika SATPOL PP sedang berpatroli, maka joki-joki tersebut akan bubar (menyebar), tetapi ketika sudah tidak ada SATPOL PP, maka para joki akan meneruskan aksinya.  Selain itu, pengawasan terhadap joki ini pun, diharapkan bukan saja dari SATPOL PP, melainkan dibutuhkan pula keterlibatan dari masyarakat setempat. Artinya di sini dibutuhkan suatu kerja sama antara POLRI dan Dishub dalam merangkul masyarakat setempat agar masyarakat dapat ikut mengawasi.

Selanjutnya, tidak dapat dipungkiri bahwa dengan penempatan SATPOL PP pada seTip titik di mana para joki 3 in 1 beraksi, dapat menimbulkan berbagai penyimpangan dari SATPOL PP sendiri, seperti kerja sama antara SATPOL PP dengan joki dalam pembagian “jatah” dari hasil perjokian. Oleh karena itu, kami melihat hal tersebut bahwa SATPOL PP pun harus diawasi agar menghindari penyimpangan-penyimpangan yang terjadi. Pengawasan ini dilaksanakan dengan cara yaitu pemasangan kamera CCTV diberbagai titik-titik strategis yang dapat mengawasi kinerja dari para SATPOL PP. Sehingga, diharapakan bahwa dengan terdapat alat pemantau yang mengawasi SATPOL PP itu sendiri, maka penyimpangan-penyimpangan itu dapat dihindari. Oleh karena itu, dalam menjalani pengawasan ini diperlukan suatu koordinasi yang baik di antara pihak-pihak yang berwenang seperti POLRI dengan Dishub.

Solusi kedua yang kami tawarkan yaitu adalah pemberdayaan terhadap joki-joki yang ada.secara jelas dan tegas. Dua dari nara sumber kami, yaitu joki, mereka keduanya pernah ditangkap ketika sedang beroperasi sebagai joki. Dan keduanya pun ditahan. Akan tetapi, salah satu informan mengatakan selama ditahan seminggu, ia tidak diapa-apakan dan hanya di data saja. Sedangkan informan lainnya, mengatakan bahwa ia selama ditahan dua hari, dirinya dijadikan pembantu, seperti memijat para preman yang ada di sana, lalu disuruh untuk melayani para aparat di sana (seperti membuatkan minuman dan makanan). Dari sini kami melihat bahwa tidak ada ketegasan dari para pihak yang berwenang, sehingga hal tersebut tidak menyebabkan efek jera, atau bahkan mengurangi dan menghilangkan keberadaan joki. Jika, secara jelas dan tegas joki tersebut ditangani dengan pemberdayaan yang baik, maka diharapkan orang-orang yang tadinya memiliki profesi joki, memiliki keterampilan khusus yang dapat membantunya dalam memenuhi kebutuhan hidup. Jadi, bagi kami, sebaiknya ada suatu perbaikan dalam bentuk penampungan dan pembinaan para joki.

Solusi untuk pemerintah DKI Jakarta secara umum adalah sebaiknya tidak lagi mengutamakan kebijakan yang sifatnya  project oriented. Karena kebijakan yang demikian dapat menimbulkan banyak efek samping yang tidak di duga, misalnya saja 3 in 1 menimbulkan masalah sosial seperti joki. Pemerintah DKI perlu memaksimalkan transportasi umum  dengan perbaikan pelayanan, kuantitas, serta kualitas sarana yang baik. Warga Jakarta membutuhkan transportasi yang cepat, aman, nyaman, dan terjangkau seTip harinya. Kami yakin jika sarana transportasi publik sudah dibenahi  dengan baik, maka akan lebih mudah untuk memobilisasi masyarakat yang seTip harinya menggunakan kendaraan pribadi menuju tranportasi umum. Hal ini akan menambah partisipasi masyarakat untuk ikut mengatasi kemacetan di Jakarta.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

 

Conyers, Diana. 1994. Perencanaan Sosial di Dunia Ketiga. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

 

Spicker, Paul. 1995. Social Policy: Themes and Approaches. British: Prentice Hall Harvester Wheatsheaf.

 

Byrne, David. 1998. Complexity Theory and the Social Sciences. London: Routledge.

 

http://www.koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=63574 . Diunduh pada 01 Februari 2013 pukul 22:10

 

http://www.beritajakarta.com/Download/SK/Detail/SK%20GUB%20No.%204104%20Tahun%202003%20PENETAPAN%20KAWSAN%203%20IN%201.pdf Diakses pada tanggal 01 Februari 2013 pukul 23.05 WIB

 

http://megapolitan.kompas.com/read/2011/03/23/20150392/Tak.Heran.apabila.Kemacetan.Sulit.Diurai Diakes pada tanggal 01 februari 2013 pukul 00.13 WIB.

 

 

 

 


[1] Materi Kuliah Dasar-Dasar Perencanaan Sosial Tanggal 07 Februari 2011, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Departemen Sosiologi, Universitas Indonesia.

[2] http://www.koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=63574 . Diunduh pada 1 Februari 2013  pukul 22.10

[3] Koran-jakarta.com, Op.cit.

 

[5] http://megapolitan.kompas.com/read/2011/03/23/20150392/Tak.Heran.apabila.Kemacetan.Sulit.Diurai Diakes pada tanggal 5 Mei 2011 pukul 23.50 WIB

[6] Materi Kuliah, Op.cit.

[7] Diana Conyers, (Perencanaan Sosial di Dunia Ketiga, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1994), hlm 4.

[8] Materi Kuliah, Op.cit.

[9] Ibid.

[10] Paul Spicker, (Social Policy: Themes and Approaches, British: Prentice Hall Harvester Wheatsheaf, 1995), hlm 3.

[11] Ibid., hlm 4.

[12] Perkuliahan mata kuliah Dasar-Dasar Perencanaan Sosial oleh Dody Prayogo, 14 Februari, 2011.

[13] Ibid.

[14]Diana Conyers, Op.cit. hlm 26-7.

[15] Ibid.

[16]David Byrne, (Complexity Theory and the Social Sciences. London: Routledge, 1998), hlm 150.

[17] Ibid.

[18] Ibid. hlm 152.

[19]Beritajakarta. com, Op.,cit.

[20] Wawancara dengan Pak Ridwan, 18 April 2011.

[21] Wawancara dilakukan pada tanggal 14 April 2011 di daerah Jakarta Selatan.

[22] Wawancara dilakukan pada tanggal 14 April 2011 di daerah Jakarta Selatan.

[23] Data ini didapatkan dengan wawancara yang dilakukan di dalam mobil informan pada tanggal 28 April 2011. Sekitar pukul 09.00 WIB. Kami berpura-pura menjadi joki di daerah Blok M dan kami  menumpang di kendaraannya.

[24] Berdasarkan wawancara dengan M.Ridwan, Koordinator Pengendalian dan Pengawalan Dinas Perhubungan, tanggal 18 April 2011.

Makalah : Karakteristik dan Model-model Pembelajaran ( rinastkip )


BAB I PENDAHULUAN

 

A. Latar Belakang

Model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar peserta didik untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi perancang pembelajaran dan guru dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas belajar mengajar

Secara luas, Joyce dan Weil (2000:13) mengemukakan bahwa model pembelajaran merupakan deskripsi dari lingkungan belajar yang menggambarkan perencanaan kurikulum, kursus-kursus, rancangan unit pembelajaran, perlengkapan belajar, buku-buku pelajaran, program multi media, dan bantuan belajar melalui program komputer. Hakikat mengajar menurut Joyce dan Weil adalah membantu belajar (peserta didik) memperoleh informasi, ide, keterampilan, nilai-nilai, cara berpikir, dan belajar bagaimana cara belajar.

Merujuk pada dua pendapat di atas, penulis memaknai model pembelajaran dalam BBM (Bahan Belajar Mandiri) ini sebagai suatu rencana mengajar yang memperlihatkan pola pembelajaran tertentu, dalam pola tersebut dapat terlihat kegiatan guru-peserta didik di dalam mewujudkan kondisi belajar atau sistem lingkungan yang menyebabkan terjadinya belajar pada peserta didik. Di dalam pola pembelajaran yang dimaksud terdapat karakteristik berupa rentetan atau tahapan perbuatan/kegiatan guru-peserta didik atau dikenal dengan istilah sintaks dalam peristiwa pembelajaran. Secara implisit di balik tahapan pembelajaran tersebut terdapat karakteristik lainnya dari sebuah model dan rasional yang membedakan antara model pembelajaran yang satu dengan model pembelajaran yang lainnya.

 

 

 

 

B. Identifikasi Masalah

Secara lebih luas Model-model pembelajaran.  didefinisikan sebagai berikut :

  1. Model-model pembelajaran dalam arti seluas-luasnya tidak lain adalah suatu proses mempersiapkan secara sistematis kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
  2. Model-model pembelajaran adalah suatu cara bagaimana mencapai tujuan sebaik-baiknya dengan sumber-sumber yang ada supaya lebih efisien dan efektif.
  3. Model-model pembelajaran adalah penentuan tujuan yang akan dicapai atau yang akan dilakukan, bagaimana, bilamana, dan siapa.

 

Prinsip – Prinsip Model-Model Pembelajaran

Agar Model-model pembelajaran dapat menghasilkan rencana yang efektif dan efisien, prinsip-prinsip berikut patut diperhatikan diantarany:.

  1. Model-model pembelajaran hendaknya mempunyai dasar nilai yang jelas dan mantap. Nilai yang menjadi dasar bisa berupa nilai budaya, nilai moral, dan nilai religius, maupun gabungan dari ketiganya. Acuan nilai yang jelas dan mantap akan memberikan motivasi yang kuat untuk menghasilkan rencana yang sebaik-baiknya;
  2. Model-model pembelajaran hendaknya berangkat dari tujuan umum, tujuan umum itu dirinci menjadi khusus, kemudian bila masih bisa dirinci menjadi tujuan khusus, itu dirinci menjadi lebih rinci lagi. Adanya rumusan tujuan umum dan tujuan khusus yang terinci akan menyebabkan berbagai unsur dalam laporan hasil penelitian, memiliki relevansi yang tinggi dengan tujuan yang akan dicapai.
  3. Model-model pembelajaran hendaknya realistis. Model-model pembelajaran hendaknya disesuaikan dengan sumber daya dan dana yang tersedia. Dalam hal sumber daya hendaknya dipertimbangkan kualitas maupun kuantitas manusia dan perangkat penunjangnya, laporan hasil penelitian sebaiknya tidak mengacu pada sumber  daya yang diperkiranan, melainkan pada sumber daya dan dana yang nyata.
  4. Model-model pembelajaran hendaknya mempertimbangkan kondisi sosial budaya masyarakat, baik yang mendukung maupun yang menghambat pelaksanaan laporan hasil penelitian nanti. Kondisi sosial budaya tersebut misalnya system nilai, adat istiadat, keyakinan, serta cita-cita. Terhadap kondisi sosial budaya yang mendukung pelaksanaan laporan hasil penelitian hendaknya telah direncanakan cara memanfaatkan secara maksimal faktor pendukung itu, sedangkan terhadap kondisi sosial budaya yang menghambat, hendaknya telah direncanakan cara untuk mengantisipasinya dan menekannya menjadi sekecil-kecilnya, dan;
  5. 5.      Model-model pembelajaran hendaknya fleksibel. Meskipun berbagai hal yang terkait dengan pelaksanaan rencana telah dipertimbangkan sebaik-baiknya, masih mungkin terjadi hal-hal yang diluar perhitungan model-model pembelajaran ketika rencana itu dilksanakan. Oleh karena itu, dalam membuat model-model pembelajaran hendaknya disediakan ruang gerak bagi kemungkinan dari rencana sebagai antisipasi terhadap hal-hal yang terjadi diluar perhitungan model-model pembelajaran

C. Batasan dan Rumusan Masalah Model-Model Pembelajaran

Pada garis besarnya suatu menulis model-model pembelajaran akan melalui langkah-langkah sebagai berikut :

  1. Menetapkan tujuan yang akan dicapai. Tujuan yang ditetapkan ini merupakan rincian yang lebih umum, baik tujuan individual maupun tujuan kelompok;
  2. Menetapkan standar keberhasilan. Standar keberhasilan ini meliputi standar kualitas;
  3. Menetapkan system evaluasi. Sistem evaluasi ini mencakup evaluasi proses dan evaluasi hasil;
  4. Menganalisis situasi dan kondisi yang terkait dengan tujuan yang akan dicapai. Situasi dan kondisi yang akan dianalisis misalnya ekonomi, politik, system nilai, adat istiadat, keyakinan serta cita-cita. Dalam analisis ini penekanannya terutama pada pengungkapan faktor-faktor penunjang maupun penghambat pencapai tujuan;
  5. Menetapkan kegiatan-kegiatan apa yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan. Kegiatan yang ditetapkan sudah mempertimbangkan faktor-faktor penunjang maupun penghambat pencapaian tujuan yang diperoleh dari hasil analisis terhadap situasi dan kondisi yang terkait dengan tujuan yang akan dicapai;
  6. Menetapkan urutan hierarkhis dari kegiatan-kegiatan untuk mencapai tujuan;
  7. Menetapkan alternative kegiatan-kegiatan lain untuk mengantisipasi kemungkinan tidak efektif dan tidak efisiennya kegiatan-kegiatan yang ditetapkjan sebagai kegiatan utama untuk mencapai tujuan;
  8. Menetapkan urutan hierarkhis dan kegiatan-kegiatan alternative sebagai kegiatan- kegiatan utama;
  9. Memerinci waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan setiap kegiatan, dan;
  10. Menetapkan personalia pelaksana setiap kegiatan.

 D. Tujuan dan Manfaat

Uraian tentang pengertian, prinsip, dan tahap-tahap  Model-model pembelajaran sebagaimana dikemukakan diatas menyiratkan sejumlah kemampuan yang harus dimiliki oleh seseorang penulis Model-model pembelajaran agar dapat dihasilkan rencana efektif dan efisien. Pada pokoknya kemampuan-kemampuan yang dituntut dari seorang penulis Model-model pembelajaran meliputi :

  1. Kemampuan memprediksi keadaan masa datang. Dengan kemampuan memprediksi yang memadai, akan dihasilkan rencana yang tidak mengalami banyak perubahan saat dilaksanakan nanti
  2. Kemampuan menganalisis kondisi nyata saat perencanaan dilakukan. Kemampuan ini sesungguhnya merupakan dasar bagi pengadaan prediksi yang tepat. Dengan menganalisis secara tepat kondisi nyata saat perencanaan dilakukan, sebagian dari prediksi yang tepat telah dilewati, dan;
  3. kemampuan melakukan perhitungan-perhitungan matematis yang akurat. Kemampuan sesungguhnya menjadi dasar bagi pengadaan analisis kondisi nyata secara akurat untuk keperluan perencanaan, maupun diperlukan untuk melakukan perhitungan-perhitungan matematis saat melakukan perencanaan.

Betapapun besarnya kemampuan seseorang dalam melakukan menulis model-model pembelajaran, manusia tetap memiliki keterbatasan dalam melakukan perencanaan, apalagi bila perencanaan yang dilakukan menyangkut suatu lembaga yang besar.

BAB II

PENGERTIAN, KARAKTERISTIK, DAN PENGGOLONGAN MODEL   PEMBELAJARAN

Dalam baacaan ini Anda akan mempelajari tentang pengertian, karakteristik, dan penggolongan model-model pembelajaran secara umum. Paparan dari masing-masing aspek tersebut adalah sebagai berikut.

A. Pengertian Model Pembelajaran

  1. Pembelajaran

Di dalam BBM ini istilah pembelajaran sama dengan  proses belajar mengajar. Dalam konteks pembelajaran terdapat dua komponen penting, yaitu guru dan peserta didik yang saling berinteraksi. Dengan demikian, dalam modul ini, pembelajaran didefinisikan sebagai pengorganisasian atau penciptaan atau pengaturan suatu kondisi lingkungan yang sebaik-baiknya yang memungkinkan terjadinya belajar pada peserta didik.

 

  1. Model pembelajaran

Model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar peserta didik untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi perancang pembelajaran dan guru dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas belajar mengajar (Syaiful Sagala, 2005).

Secara luas, Joyce dan Weil (2000:13) mengemukakan bahwa model pembelajaran merupakan deskripsi dari lingkungan belajar yang menggambarkan perencanaan kurikulum, kursus-kursus, rancangan unit pembelajaran, perlengkapan belajar, buku-buku pelajaran, program multi media, dan bantuan belajar melalui program komputer. Hakikat mengajar menurut Joyce dan Weil adalah membantu belajar (peserta didik) memperoleh informasi, ide, keterampilan, nilai-nilai, cara berpikir, dan belajar bagaimana cara belajar.

Merujuk pada dua pendapat di atas, penulis memaknai model pembelajaran dalam BBM ini sebagai suatu rencana mengajar yang memperlihatkan pola pembelajaran tertentu, dalam pola tersebut dapat terlihat kegiatan guru-peserta didik di dalam mewujudkan kondisi belajar atau sistem lingkungan yang menyebabkan terjadinya belajar pada peserta didik. Di dalam pola pembelajaran yang dimaksud terdapat karakteristik berupa rentetan atau tahapan perbuatan/kegiatan guru-peserta didik atau dikenal dengan istilah sintaks dalam peristiwa pembelajaran. Secara implisit di balik tahapan pembelajaran tersebut terdapat karakteristik lainnya dari sebuah model dan rasional yang membedakan antara model pembelajaran yang satu dengan model pembelajaran yang lainnya.

 

B.   Karakteristik Model Pembelajaran

Rangke L Tobing, dkk (1990:5) mengidentifikasi lima karakterististik suatu model pembelajaran yang baik, yang meliputi berikut ini.

  1. Prosedur Ilmiah

Suatu model pembelajaran harus memiliki suatu prosedur yang sistematik untuk mengubah tingkah laku peserta didik atau memiliki sintaks yang merupakan urutan langkah-langkah pembelajaran yang dilakukan guru-peserta didik.

  1. Spesifikasi hasil belajar yang direncanakan

Suatu model pembelajaran menyebutkan hasil-hasil belajar secara rinci mengenai penampilan peserta didik.

  1. Spesifikasi lingkungan belajar

Suatu model pembelajaran menyebutkan secara tegas kondisi lingkungan dimana tanggapan peserta didik diobservasi.

  1. Kriteria penampilan

Suatu model pembelajaran merujuk pada kriteria penerimaaan penampilan yang diharapkan dari para peserta didik. Model pembelajaran merencanakan tingkah laku yang diharapkan dari peserta didik yang dapat didemonstrasikannya setelah langkah-langkah mengajar tertentu.

  1. Cara-cara pelaksanaannya

Semua model pembelajaran menyebutkan mekanisme yang menunjukkan reaksi peserta didik dan interaksinya dengan lingkungan.

 

Bruce dan Weil (1980 dan 1992: 135-136) mengidentifikasi karakteristik model pembelajaran ke dalam aspek-aspek berikut.

1. Sintaks

Suatu model pembelajaran memiliki sintaks atau urutan atau tahap-tahap kegiatan belajar yang diistilahkan dengan fase yang menggambarkan bagaimana model tersebut dalam praktiknya, misalnya bagaimana memulai pelajaran.

2. Sistem sosial

Sistem sosial menggambarkan bentuk kerja sama guru-peserta didik dalam pembelajaran atau peran-peran guru dan peserta didik dan hubungannya satu sama lain dan jenis-jenis aturan yang harus diterapkan. Peran kepemimpinan guru bervariasi dalam satu model ke model pembelajaran lainnya. Dalam beberapa model pembelajaran, guru bertindak sebagai pusat kegiatan dan sumber belajar (hal ini berlaku pada model yang terstruktur tinggi), namun dalam model pembelajaran yang terstruktur sedang peran guru dan peserta didik seimbang. Setiap model memberikan peran yang berbeda pada guru dan peserta didik.

3. Prinsip reaksi

Prinsip reaksi menunjukkan kepada guru bagaimana cara menghargai atau menilai peserta didik dan bagaimana menanggapi apa yang dilakukan oleh peserta didik. Sebagai contoh, dalam suatu situasi belajar, guru memberi penghargaan atas kegiatan yang dilakukan peserta didik atau mengambil sikap netral.

4.  Sistem pendukung menggambarkan kondisi-kondisi yang diperlukan untuk mendukung keterlaksanaan model pembelajaran, termasuk sarana dan prasarana, misalnya alat dan bahan, kesiapan guru, serta kesiapan peserta didik.

5. Dampak pembelajaran langsung dan iringan

Dampak pembelajaran langsung merupakan hasil belajar yang dicapai dengan cara mengarahkan para peserta didik pada tujuan yang diharapkan sedangkan dampak iringan adalah hasil belajar lainnya yang dihasilkan oleh suatu proses pembelajaran sebagai akibat terciptanya suasana belajar yang dialami langsung oleh pebelajar.

 

 

C.   Penggolongan dan Jenis-Jenis Model Pembelajaran

Joyce dan Weil (1980; 1992) dalam bukunya Models of Teaching menggolongkan model-model pembelajaran ke dalam empat rumpun. Keempat rumpun model pembelajaran tersebut adalah: (1) rumpun model pembelajaran pemrosesan iInformasi, (2) rumpun model pembelajaran personal, (3) rumpun model pembelajaran sosial, dan (4) rumpun model pembelajaran perilaku.

  1. 1.    Rumpun model-model Pemrosesan Informasi

Model-model pembelajaran dalam rumpun Pemrosesan Informasi bertitik tolak dari prinsip-prinsip pengolahan informasi, yaitu yang merujuk pada cara-cara bagaimana manusia menangani rangsangan dari lingkungan, mengorganisasi data, mengenali masalah, menyusun konsep, memecahkan masalah, dan menggunakan simbol-simbol. Beberapa model pembelajaran dalam rumpun ini berhubungan dengan kemampuan peserta didik untuk memecahkan masalah, dengan demikian peserta didik dalam belajar menekankan pada berpikir produktif. Sedangkan beberapa model pembelajaran lainnya berhubungan dengan kemampuan intelektual secara umum, dan sebagian lagi menekankan pada konsep dan informasi yang berasal dari disiplin ilmu secara akademis.

Jenis model-model pembelajaran yang termasuk ke dalam rumpun pemrosesan informasi ini adalah seperti pada tabel 1.

 

Tabel 1. Model-Model Pembelajaran yang Tergolong Rumpun

Pemrosesan Informasi

 

No Nama Model Pembelajaran Tokoh Misi/tujuan/manfaat
1 Berpikir Induktif Hilda Taba Ditujukan secara khusus untuk pembentukan kemampuan berpikir induktif yang banyak diperlukan dalam kegiatan akademik meskipun diperlukan juga untuk kehidupan pada umumnya. Model ini memiliki keunggulan melatihkan kemampuan menganalisis informasi dan membangun konsep yang berhubungan dengan kecakapan berpikir.

 

2. Latihan Inkuari Richard Suchman Sama dengan model berpikir induktif, model ini ditujukan untuk pembentukan kemampuan berpikir induktif yang banyak diperlukan dalam kegiatan akademik meskipun diperlukan juga untuk kehidupan pada umumnya. Kelebihan model ini dibandingkan dengan berpikir induktif lebih banyak melatihkan metode ilmiah.

 

3. Pembentukan

konsep

Jerome Bruner, Goodnow, dan Austin Dirancang terutama untuk pembentukan kemampuan berpikir induktif, peserta didik dilatih mempelajari konsep secara efektif.

 

4 Perkembangan

kognitif

Jean Piaget,

Irving Siegel,

Edmund Sullivan,

Lawren-ce Kohl-berg

Dirancang terutama untuk pembentukan kemampuan berpikir/pengembangan intelektual pada umumnya, khususnya berpikir logis, meskipun demikian kemampuan ini dapat diterapkan pada kehidupan sosial dan pengembangan moral.
5 Advanced organizer David Ausubel Dirancang untuk meningkatkan kemampuan mengolah informasi melalui penyajian materi beragam (ceramah, membaca, dan media lainnya) dan  menghubungkan pengetahuan baru dengan struktur kognitif yang telah ada.

 

6. Mnemonics Pressley, Levin, Delaney Strategi belajar untuk mengingat dan mengasimilasi informasi.

 

2. Rumpun model-model Pribadi/individual

Model-model pembelajaran yang termasuk rumpun model-model personal/individual menekankan pada pengembangan pribadi. Model-model pembelajaran ini menekankan pada proses dalam “membangun/mengkonstruksi” dan mengorganisasi realita, yang memandang manusia sebagai pembuat makna. Model-model pembelajaran rumpun ini memberikan banyak perhatian pada kehidupan emosional. Fokus pembelajaran ditekankan untuk membantu individu dalam mengembangkan hubungan individu dengan lingkungannya dan untuk melihat dirinya sendiri. Jenis-jenis model pembelajaran pribadi seperti tercantum pada tabel 2.

 

Tabel 2. Model-Model Pembelajaran Personal (Pribadi)

Nama Model Tokoh Misi/Tujuan  
Pengajaran Non Direktif Carl Rogers Penekanan pada pembentukan kemampuan belajar sendiri untuk mencapai pemahaman dan penemuan diri sendiri sehingga terbentuk konsep diri. Model ini menekankan pada hubungan guru-peserta didik.
Latihan Kesadaran Fritz Pearls

William Schutz

Pembentukan kemampuan menjajaga dan menyadari  pemahaman diri sendiri.
Sinektik William Gordon Pengembangan individu dalam hal kreativitas dan pemecahan masalah kreatif.
Sistem Konseptual David Hunt Didesain untuk meningkatkan kompleksitas pribadi dan fleksibilitas.
Pertemuan kelas William Glasser Pengembangan  pemahaman diri dan tanggungjawab pada diri sendiri dan kelompok sosial lainnya.

 

 

3. Rumpun model-model Interaksi Sosial

Model-model pembelajaran yang termasuk dalam rumpun sosial ini menekankan hubungan individu dengan masyarakat atau orang lain. Model-model ini memfokuskan pada proses negosiasi sosial. Model-model pembelajaran dalam kelompok ini  memberikan prioritas pada peningkatan kemampuan individu untuk berhubungan dengan orang lain dalam upaya peningkatan proses demokratis dalam bermasyarakat secara produktif.

Tokoh-tokoh teori sosial juga peduli dengan pengembangan pikiran (mind)  diri sebagai pribadi dan materi keakademisan. Jenis-jenis model pembelajaran rumpun Interaksi Sosial adalah seperti dalam tabel 3 berikut ini.

Tabel 3. Model-model Pembelajaran Interaksi Sosial

Nama Model Tokoh Misi/tujuan
Kerja kelompok. (investigati-on group) Herbert Thelen

John Dewey

Mengembangkan keterampilan-keterampilan untuk berperan dalam kelompok yang menekankan keterampilan komunikasi interpersonal dan keterampilan inkuari ilmiah. Aspek-aspek pengembangan pribadi merupakan hal yang penting dari model ini.

 

Inkuari Sosial Byron Massialas Benjamin Cox

 

Pemecahan masalah sosial, terutama melalui inkuari ilmiah dan penalaran logis.
Jurispru-dential National Training Laboratory,

Bethel, Maine

Donald  Oliver

James P.Shaver

 

Pengembangan keterampilan interpersonal dan kerja kelompok untuk mencapai, kesadaran, dan fleksibilitas pribadi. Didesain utama untuk melatih kemampuan mengolah informasi dan menyelesaikan isu kemasyarakatan dengan kerangka acuan atau cara berpikir jurisprudensial (ilmu tentang hukum-hukum manusia).
Role playing (Bermain peran) Fannie Shaftel George Shafted Didesain untuk mengajak peserta didik dalam menyelidiki nilai-nilai pribadi dan sosial melalui tingkah laku mereka sendiri dan nilai-nilai yang menjadi sumber dari penyelidikan itu
Simulasi Sosial Sarene Boocock,

Harold Guetzkow

Didisain untuk membantu pengalaman peserta didik melalui proses sosial dan realitas dan untuk menilai reaksi mereka terhadap proses-proses sosial tersebut, juga untuk memperoleh konsep-konsep dan keterampilan-keterampilan pengambilan keputusan.

 

 

4. Rumpun Model-model Perilaku

Semua model pembelajaran rumpun ini didasarkan pada suatu pengetahuan yang mengacu pada teori perilaku, teori belajar, teori belajar sosial, modifikasi perilaku, atau perilaku terapi. Model- model pembelajaran rumpun ini mementingkan penciptaan lingkungan belajar yang memungkinkan manipulasi penguatan perilaku secara efektif sehingga terbentuk pola perilaku yang dikehendaki. Adapun jenis-jenis model pembelajaran perilaku seperti pada tabel 4.

Tabel 4. Model-model Pembelajaran Rumpun Perilaku

Model Tokoh Misi atau tujuan
Contingency Management (manajemen dari akibat/hasil  perlakuan) B.F. Skinner Model ini dirancang untuk mengajak peserta didik mempelajari fakta-fakta, konsep-konsep dan keterampilan sebagai akibat dari suatu perlakuan tertentu.
Self Control B.F. Skinner Model ini dirancang untuk mengajak peserta didik untuk memiliki keterampilan mengendalikan perilaku sosial/keterampilan-keterampilan sosial.
Relaksasi Rimm & Masters Wolpe Model ini dirancang untuk mengajak peserta didik menemukan tujuan-tujuan pribadi.
Stress Reduction

(pengurangan stres)

Rimm & Masters Model ini ditujukan untuk membelajarkan peserta didik dalam  cara relaksasi dalam mengatasi kecemasan dalam situasi sosial
Assertive Training (Latihan  berekspresi) Wolpe, lazarus, Salter Menyatakan perasaan secara langsung dan spontan dalam situasi sosial
Desensititation Wolpe Pola-pola perilaku, keterampilan–keterampilan
Direct training/direct instruction Gagne

Smith & Smith

Pola tingkah laku, keterampilan-keterampilan.

 

 

 BAB III

 KESIMPULAN

A. Pengertian Model Pembelajaran

(1)   Pembelajaran

(2)   Model pembelajaran

 

B.   Karakteristik Model Pembelajaran

Rangke L Tobing, dkk (1990:5) mengidentifikasi lima karakterististik suatu model pembelajaran yang baik, yang meliputi berikut ini.

(1)   Prosedur Ilmiah

(2)   Spesifikasi hasil belajar yang direncanakan

(3)   Spesifikasi lingkungan belajar

(4)   Kriteria penampilan

(5)   Cara-cara pelaksanaannya

 

Bruce dan Weil (1980 dan 1992: 135-136) mengidentifikasi karakteristik model pembelajaran ke dalam aspek-aspek berikut.

(1)   Sintaks

(2)   Sistem sosial

(3)   Prinsip reaksi

(4)   Sistem pendukung

C.   Penggolongan dan Jenis-Jenis Model Pembelajaran

Joyce dan Weil (1980; 1992) dalam bukunya Models of Teaching menggolongkan model-model pembelajaran ke dalam empat rumpun. Keempat rumpun model pembelajaran tersebut adalah:

(1) rumpun model pembelajaran pemrosesan informasi,

(2) rumpun model pembelajaran personal,

(3) rumpun model pembelajaran sosial, dan

(4) rumpun model pembelajaran perilaku.

DAFTAR PUSTAKA

 

Arronson, E (2000). History of The Jigsaw, An Account from Professor Aronson [on line]. Tersedia :http://www.jigsaw.org/history.htm [ 15 Januari 2003]

Blosser, P. E. (1992). Using Cooperative Learning in Science Education. ERIC Clearing House. Tersedia [on line] http://www.eric.edu.

BSNP, ( 2006), Standar Kompetensi Mata Pelajaran IPA, Jakarta: BSNP.

Syaiful Sagala, 205, Konsep dan Makna Pembelajaran, Bandung: Penerbit Alfabeta Wilkins, Robert A, 1990, Model Lessons Bridging the gap between models of teaching and classroom application,  Curtin University of Technology.

Tobing, Rangke L , Setia Adi, Hinduan, 1990, Model-Model mengajar Metodik Khusus Pendidikan Ilmu pengetahuan Alam Sekolah Dasar, makalah dalam penataran Calon Penatar Dosen Pendidikan Guru SD (Program D-II).

 

Makalah S2 : Analisis mengenai Pertumbuhan Penduduk, Pertumbuhan Ekonomi, Pendidikan dan Pengangguran terhadap Pengentasan Kemiskinan Di Wilayah Kabupaten Bogor


Analisis mengenai  Pertumbuhan Penduduk, Pertumbuhan Ekonomi, Pendidikan dan Pengangguran terhadap Pengentasan Kemiskinan Di Wilayah Kabupaten Bogor

Tugas Mata Kuliah Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif

BAB I    PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Ujang Jaelani Masalah kemiskinan merupakan salah satu permasalahan dalam proses pembangunan ekonomi. Hampir setiap Negara mengalami perrmasalahan kemiskinan, baik negara maju maupun negara berkembang. Kemiskinan menjadi isu dunia yang banyak diminati oleh para peneliti karena jumlahnya yang besar dan dampak yang ditimbulkannya sangat buruk bagi kehidupan masyarakat. World Bank (2004) melaporkan bahwa seperempat penduduk dunia dewasa ini tergolong miskin. Kemiskinan di Indonesia jika dihitung berdasarkan standar hidup minimum dengan pengeluaran per kapita per hari US$ 2, maka penduduk yang tergolong miskin mencapai 59,99 persen (World Bank, 2007). Menurut Yudhoyono dan Harniati (2007), kemiskinan mempunyai dampak menurunkan kualitas hidup, menimbulkan beban sosial ekonomi masyarakat, menurunkan kualitas sumberdaya manusia, dan menurunkan ketertiban umum.

Strategi penurunan kemiskinan pada masa pemerintahan orde baru, lebih ditekankan pada pembangunan ekonomi yang mengutamakan tingginya angka pertumbuhan ekonomi. Ini dikarenakan keyakinan para pembuat kebijakan dan perencana pembangunan akan adanya trickle down effect (Tambunan 2003). Pertumbuhan ekonomi diharapkan dapat memberikan manfaat bagi semua kalangan masyarakat, terutama masyarakat miskin melalui penciptaan lapangan kerja. Lapangan kerja yang lebih banyak dapat memperluas kesempatan kerja bagi penduduk miskin, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraannya dan mampu keluar dari kemiskinan.

Fakta memperlihatkan bahwa trickle down effect yang diinginkan tidak tercapai. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak diikuti oleh ketersediaan kesempatan kerja yang memadai, sehingga tingkat kemiskinan sulit turun. Mempertimbangkan keadaan ini maka strategi pembangunan mulai diubah, tidak hanya mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi, akan tetapi juga berorientasi pada peningkatan kesejahteraan rakyat (Tambunan 2006).

Rakyat yang sejahtera bisa tercapai, jika pembangunan ekonomi memperhatikan semua golongan masyarakat, terutama golongan masyarakat miskin. Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin, maka beberapa program penanggulangan kemiskinan diimplementasikan pemerintah dengan cara memenuhi hak-hak dasar warga negara secara layak, meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat miskin, penguatan kelembagaan sosial ekonomi masyarakat, serta melaksanakan percepatan pembangunan daerah tertinggal.

Berbagai kritik terhadap program penanggulangan kemiskinan menunjukkan bahwa beberapa aspek perlu diperhatikan dalam menanggulangi kemiskinan di setiap kawasan. Aspek-aspek tersebut mencakup aspek sosial, ekonomi, budaya, politik serta aspek waktu dan ruang. Faktor-faktor penyebab kemiskinan perlu terlebih dahulu diperhatikan agar kebijakan penanggulangan kemiskinan sesuai dengan kondisi wilayah dan masyarakat di setiap wilayah.

B. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEMISKINAN

1.  Jumlah Penduduk

Sumber daya manusia merupakan faktor penting dalam pertumbuhan ekonomi, namun tidak semata-mata tergantung dari jumlah penduduknya saja, tetapi lebih ditekankan pada efisiensi dan produktivitas dari penduduk tersebut. Jumlah penduduk yang terlalu banyak atau kepadatan penduduk yang terlalu tinggi akan menjadi penghambat pembangunan ekonomi di negara berkembang. Pendapatan per kapita yang rendah dan tingkat pembentukan modal yang rendah semakin sulit bagi negara berkembang untuk menopang ledakan jumlah penduduk. Sekalipun output meningkat sebagai hasil teknologi yang lebih baik dan pembentukan modal, peningkatan ini akan ditelan oleh jumlah penduduk yang terlalu banyak. Alhasil, tidak ada perbaikan dalam laju pertumbuhan nyata perekonomian (Jhingan, 2003)

Pada tahun 2008 Jhingan mengemukakan pengaruh buruk pertumbuhan penduduk yang tinggi terhadap perekonomian yang dalam hal ini pendapatan per kapita. Pertumbuhan penduduk cenderung memperlambat pendapatan per kapita melalui tiga cara, yaitu: 1) memperberat beban penduduk pada lahan; 2) menaikkan barang konsumsi karena kekurangan faktor pendukung untuk menaikkan penawaran mereka; 3) memerosotkan akumulasi modal, karena dengan tambah anggota keluarga, biaya meningkat. Kondisi ini akan semakin parah apabila persentase anak-anak pada keseluruhan penduduk tinggi, karena anak-anak hanya menghabiskan dan tidak menambah produk, dan jumlah anak yang menjadi tanggungan keluarga lebih besar daripada jumlah mereka yang menghasilkan, sehingga pendapatan per kapita menjadi rendah. Siregar dan Wahyuniarti (2007) dalam penelitiannya “ Dampak Pertumbuhan Ekonomi terhadap Penurunan Jumlah Penduduk Miskin” menghasilkan temuan bahwa peningkatan jumlah populasi penduduk sebesar 1000 orang akan meningkatkan jumlah penduduk miskin sebanyak 249 orang. Penemuan yang sama diperoleh Suparno (2010) yang menunjukkan bahwa peningkatan jumlah penduduk terbukti meningkatkan jumlah kemiskinan di Indonesia.

2.  Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

Pro poor growth menurut Kakwani, et al. (2004) yaitu pertumbuhan ekonomi yang lebih memberikan keuntungan atau manfaat bagi penduduk miskin dan memberikan kesempatan untuk memperbaiki keadaan ekonominya. Jika ini terjadi maka akan berdampak semakin banyak penduduk miskin yang mengalami peningkatan pendapatan dan mampu keluar dari kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi yang pro poor akan terwujud jika pertumbuhan ekonomi lebih banyak dihasilkan dari partisipasi ekonomi penduduk miskin. Hal ini berdampak pada tingkat kemiskinan yang semakin mengecil.

Beberapa pendapat mengenai keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan seperti diuraikan Todaro dan Smith (2006). Pendapat pertama,pertumbuhan yang cepat berakibat buruk pada kaum miskin. Hal ini terjadi karena kaum miskin akan tergilas dan terpinggirkan oleh perubahan struktural pertumbuhan modern. Pendapat kedua, di kalangan pembuat kebijakan, pengeluaran publik yang digunakan untuk menanggulangi kemiskinan akan mengurangi dana yang dapat digunakan untuk untuk mempercepat pertumbuhan. Pendapat ketiga, kebijakan untuk mengurangi kemiskinan bukan memperlambat laju pertumbuhan, dengan argumen sebagai berikut:

1. Kemiskinan membuat kaum miskin tidak punya akses terhadap sumber daya, menyekolahkan anaknya, tidak punya peluang berinvestasi sehingga akan memperlambat pertumbuhan perkapita.

2.  Data empiris menunjukkan kaum kaya di negara miskin tidak mau menabung dan berinvestasi di negara mereka sendiri.

3.  Kaum miskin memiliki standar hidup seperti kesehatan, gizi dan pendidikan yang rendah sehingga menurunkan tingkat produktivitas.

4.   Peningkatan pendapatan kaum miskin akan mendorong kenaikan permintaan produk lokal, sementara golongan kaya cenderung mengkonsumsi barang impor.

5.  Penurunan kemiskinan secara masal akan menciptakan stabilitas sosial dan memperluas partisipasi publik dalam proses pertumbuhan.

Berbagai kebijakan pembangunan ekonomi seharusnya diterapkan dengan mempertimbangkan kepentingan seluruh elemen masyarakat, agar seluruh elemen masyarakat dapat berperan aktif dalam proses pertumbuhan ekonomi termasuk penduduk miskin. Peningkatan peran serta penduduk miskin dapat dilakukan dengan lebih memberdayakan penduduk miskin melalui perbaikan sumber daya manusia (pendidikan dan kesehatan) dan peningkatan akses terhadap sumber daya faktor produksi.

3.  Tingkat Pendidikan

Pendidikan berfungsi sebagai driving force atau daya penggerak transformasi masyarakat untuk memutus rantai kemiskinan. Pendidikan membantu menurunkan kemiskinan melalui efeknya pada produktivitas tenaga kerja dan melalui jalur manfaat sosial, maka pendidikan merupakan sebuah tujuan pembangunan yang penting bagi bangsa (World Bank, 2005). Pendidikan sebagai sarana untuk memperoleh wawasan, ilmu pengetahuan dan keterampilan agar peluang kerja lebih terbuka dan upah yang didapat juga lebih tinggi. Rahman (2006) menemukan adanya hubungan positif antara tingkat pendidikan dengan upah/gaji yang diterima oleh pekerja.

Menurut teori pertumbuhan endogen yang dipelopori oleh Lucas dan Romer (1996), pendidikan merupakan salah satu faktor pendorong pertumbuhan ekonomi. Pendidikan menjadi sarana untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang nantinya menghasilkan tenaga kerja yang lebih produktif. Tenaga kerja yang mempunyai produktivitas tinggi akan menghasilkan output yang lebih banyak sehingga secara agregat akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Andersson et.al (2005) dalam penelitiannya yang berjudul Determinants of Poverty in Lao PDR menyatakan bahwa pendidikan seseorang sebagai salah satu determinan konsumsi per kapita. Suparno (2010) menemukan bahwa rata-rata lama sekolah yang menunjukkan tingkat pendidikan masyarakat mampu menurunkan tingkat kemiskinan di Indonesia. Masyarakat yang berpendidikan tinggi akan mempunyai keterampilan dan keahlian, sehingga dapat meningkatkan produktivitasnya. Peningkatan produktivitas akan meningkatkan output perusahaan, peningkatan upah pekerja, peningkatan daya beli masyarakat sehingga akan mengurangi kemiskinan.

4.  Pengangguran

Pengangguran adalah seseorang yang tergolong angkatan kerja dan ingin mendapat pekerjaan tetapi belum dapat memperolehnya. Menurut The National Anti-Poverty Strategy (NAPS,1999), berdasarkan penelitian yang telah dilakukannya di Ireland menyatakan bahwa pengangguran merupakan penyebab terbesar terjadinya kemiskinan. Keterkaitan antara pengangguran dengan kemiskinan sangat kuat. Pada tahun 1994, lebih dari setengah dari total keluarga di Ireland dipimpin oleh kepala keluarga yang tidak mempunyai pekerjaan.

Sukirno (2004), menyatakan bahwa efek buruk dari pengangguran adalah berkurangnya tingkat pendapatan masyarakat yang pada akhirnya mengurangi tingkat kemakmuran/kesejahteraan. Kesejahteraan masyarakat yang turun karena menganggur akan meningkatkan peluang mereka terjebak dalam kemiskinan karena tidak memiliki pendapatan. Apabila pengangguran di suatu negara sangat buruk, maka akan timbul kekacauan politik dan sosial dan mempunyai efek yang buruk pada kesejahteraan masyarakat serta prospek pembangunan ekonomi dalam jangka panjang. Suparno (2010) menemukan bahwa banyaknya pengangguran akan berdampak pada peningkatan kemiskinan di Indonesia.

BAB II PEMBAHASAN 

A. Hasil Analisis Granger Causality

Untuk melihat hubungan antara kemiskinan, PDRB, jumlah penduduk, tingkat pendidikan dan pengangguran dilakukan uji kausalitas Granger (Ujang Jaelani,  2013). Uji ini dilakukan dengan mengamati perilaku siklikal kelima komponen tersebut dalam suatu periode tertentu. Hasil dari uji kausalitas tersebut disajikan di dalam Gambar di bawah ini dengan tiga lag waktu yaitu lag 1,2 dan 3 atau tahun pertama, kedua dan ketiga.

granger.png

Hasil Uji Kausalitas Granger

Pertumbuhan ekonomi akan mempengaruhi pertumbuhan penduduk pada tahun berikutnya dengan tingkat kesalahan 10 %, namun tidak berlaku sebaliknya. Pertumbuhan penduduk ini akhirnya akan mempengaruhi kemiskinan. Pengaruh pertumbuhan penduduk terhadap kemiskinan ini akan terasa pada tahun berikutnya hingga dua tahun kemudian. Kemiskinan ini akan mempengaruhi tingkat pengangguran pada tahun ketiga. Sebaliknya, pengangguran akan menyebabkan kemiskinan pada tahun kedua. Pengangguran juga akan menyebabkan berkurangnya akses terhadap pendidikan sehingga mempengaruhi rata-rata lama sekolah baik pada tahun pertama maupun kedua. Pendidikan juga akan mempengaruhi pertumbuhan penduduk pada tahun kedua. Selain itu, pendidikan akan menyebabkan pertumbuhan ekonomi pada tahun pertama dan ketiga.

Analisis Granger causality hanya melihat ada tidaknya hubungan sebab akibat antara dua variabel. Adapun besar kecilnya hubungan antara variabel belum dapat dijelaskan dalam Granger causality. Analisis data panel dapat menjawab seberapa besar hubungan antara beberapa variabel.

B. Hasil Analisis Data Panel

Analisis data panel digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kemiskinan. Model regresi panel pertama yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut:

Model+Kemiskinan.png

Keterangan :

MISKINit                    =  jumlah Penduduk Miskin di kabupaten i tahun t.

PENDUDUKit              =  jumlah penduduk di kabupaten i tahun t.

PDRBit                      =  PDRB di kabupaten i tahun t.

RLSit                        =  rata-rata lama sekolah di kabupaten i tahun t

PENGANGGURANit     =  jumlah pengangguran di kabupaten i tahun t.

βj                                  =  parameter yang diestimasi, j =  0, 1, 2, 3, 4.

αi                                 =  efek individu kabupaten i

µt                            =  efek waktu tahun t

ui                            =  komponen error.

Pengaruh Pertumbuhan Penduduk, Pertumbuhan Ekonomi, Pendidikan dan Pengangguran terhadap Pengentasan Kemiskinan (Jaelani, 2013)

Variable

Coefficient

Std. Error

t-Statistic

Prob.

(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

     C

-20.98648

6.684282

-3.139676

0.0040

 1. Penduduk

4.089762

0.835343

4.895907

0.0000

 2. PDRB

-1.289988

0.433259

-2.977407

0.0059

 3. RLS

-2.421340

0.728541

-3.323545

0.0025

 4. Pengangguran

0.011814

0.057945

0.203889

0.8399

R-squared

0.991597

Adjusted R-squared

0.988296

F-statistic

300.3689

Prob(F-statistic)

0.000000

         

Sumber : Output Hasil Analisis Regresi Data Panel (Jaelani, 2013)

C. Penduduk

Peningkatan perekonomian dan penanggulangan kemiskinan tidak terlepas dari peran penduduk. Nilai elastisitas jumlah penduduk di Kabupaten Bogor sebesar 4,09.  Hal ini mempunyai arti,  setiap kenaikan 1 persen jumlah penduduk, maka akan meningkatkan jumlah penduduk miskin sebesar 4,09 persen, ceteris paribus. Hasil estimasi ini sesuai dengan hipotesis selama ini bahwa pertumbuhan jumlah penduduk memberikan pengaruh positif terhadap pertumbuhan jumlah penduduk miskin. Pertumbuhan penduduk di Kabupaten Bogor dipengaruhi oleh pertumbuhan penduduk alami (kelahiran dan kematian) dan secara signifikan juga oleh migrasi masuk. Menurut hasil SP2010, dari tahun 2000 sampai tahun 2010 terjadi penambahan jumlah penduduk Kabupaten Bogor sebesar 1.263.106 jiwa.

Pada tahun 2010 terdapat sekitar 22,28 persen (1.062.951 jiwa) dari jumlah penduduk Kabupaten Bogor sebesar 4.771,932 jiwa merupakan migran seumur hidup (tempat lahir berbeda dengan saat sensus)

Pada tahun 2008, Jhingan mengemukakan pengaruh buruk pertumbuhan penduduk yang tinggi terhadap perekonomian (pendapatan per kapita).  Pertumbuhan penduduk cenderung memperlambat pendapatan per kapita melalui tiga cara, yaitu:

1.  Memperberat beban penduduk pada lahan

2. Menaikkan barang konsumsi karena kekurangan faktor pendukung untuk menaikkan penawaran mereka

3. Memerosotkan akumulasi modal, karena dengan tambah anggota keluarga, biaya meningkat. Kondisi ini akan semakin parah apabila persentase anak-anak pada keseluruhan penduduk tinggi, karena anak-anak hanya menghabiskan dan tidak menambah produk, dan jumlah anak yang menjadi tanggungan keluarga lebih besar daripada jumlah mereka yang menghasilkan, sehingga pendapatan per kapita menjadi rendah.

Nilai elastisitas jumlah penduduk menunjukkan angka terbesar jika dibandingkan dengan variabel bebas lainnya. Ini mengindikasikan bahwa pertumbuhan jumlah penduduk di wilayah Kabupaten Bogor menjadi faktor utama tingginya angka kemiskinan. Banyaknya penduduk menyebabkan persaingan dalam memperoleh pekerjaan semakin kuat, sementara lapangan kerja terbatas. Penduduk yang kalah dalam persaingan akan menganggur atau bekerja dengan pendapatan yang rendah, sehingga keduanya akan berdampak pada bertambahnya kemiskinan. Selain itu, penduduk di Kabupaten Bogor memiliki angka beban ketergantungan yang masih tinggi yaitu 53,75. Tingginya angka beban tanggungan akan mengurangi pendapatan per kapita yang diterima oleh setiap penduduk, sehingga berakibat pada tingginya angka kemiskinan.

Secara tradisional, pertumbuhan penduduk akan menyebabkan kenaikan tenaga kerja dan akan memberikan pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal ini berarti: (1) semakin banyak jumlah angkatan kerja berarti semakin banyak pasokan tenaga kerja dan akan meningkatkan jumlah output, dan (2) semakin banyak jumlah penduduk akan meningkatkan potensi pasar domestik (Arsyad, 2010). Teori pertumbuhan ekonomi klasik yang dikemukakan oleh Adam Smith (Dornbusch et.al, 2008) menyatakan bahwa salah satu faktor yang menentukan pertumbuhan ekonomi adalah perkembangan penduduk. Penduduk yang bertambah akan memperluas pasar dan perluasan pasar akan meningkatkan spesialisasi dalam perekonomian. Selanjutnya spesialisasi akan meningkatkan produktivitas tenaga kerja sehingga meningkatkan upah dan keuntungan. Dengan demikian, proses pertumbuhan akan berlangsung sampai seluruh sumberdaya termanfaatkan.

Teori pertumbuhan neoklasik yang dikenal dengan model pertumbuhan Solow menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi terjadi karena dipengaruhi secara positif oleh peningkatan modal (melalui tabungan dan investasi) dan peningkatan kuantitas dan kualitas tenaga kerja (pertumbuhan jumlah penduduk dan perbaikan pendidikan) dan peningkatan teknologi, dengan asumsi:

1.     Diminishing return to scale bila input tenaga kerja dan modal digunakan secara parsial dan constant return to scale bila digunakan secara bersama-sama.

2.     Perekonomian berada pada keseimbangan jangka panjang (full employment).

D. Pertumbuhan Ekonomi

Hasil estimasi menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi di wilayah Kabupaten Bogor secara nyata menurunkan persentase penduduk miskin. Elastisitas kemiskinan terhadap pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Bogor sebesar -1,29, yang berarti setiap peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar 1 persen, maka persentase penduduk miskin akan berkurang sebesar 1,29 persen (ceteris paribus). Kondisi ini dapat dipahami,mengingat pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan meningkatkan kapasitas perekonomian dan meningkatkan pendapatan per kapita.

Pendapatan per kapita yang meningkat, berarti penduduk miskin akan berkurang. Jadi,jelaslah bahwa pertumbuhan ekonomi baik untuk pengentasan kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Bogor didominasi oleh sektor industri dengan kontribusi terhadap PDRB sebesar 59,40 persen. Pertumbuhan sektor industri di Kabupaten Bogor selama periode 2000-2009 cukup berfluktuatif. Sektor lainnya yang cukup signifikan mendongkrak pertumbuhan ekonomi adalah sektor pertanian, sektor pertambangan & penggalian, sektor bangunan, dan sektor perdagangan, hotel dan restoran.

Sektor-sektor tersebut sangat berperan dalam mengurangi jumlah penduduk miskin, karena sektor-sektor tersebut sangat mudah dimasuki oleh penduduk yang tergolong memiliki kemampuan dan pendidikan yang tergolong rendah.

Hal lainnya adalah sektor-sektor tersebut tidak terlalu memerlukan keahlian yang khusus dan umumnya sektor-sektor tersebut tidak terlalu memerlukan high technology. Walaupun sektor industri dan pertambangan & penggalian tergolong sektor yang bisa menurunkan kemiskinan, tetapi industri dan pertambanggan & penggalian yang dimaksud yang low technoloy.

E. Rata-Rata Lama Sekolah

Variabel ketiga yang mempengaruhi kemiskinan adalah rata-rata lama sekolah. Hasil estimasi menunjukkan bahwa rata-rata lama sekolah signifikan dapat mereduksi jumlah penduduk miskin di wilayah Kabupaten Bogor dan sekitarnya. Pendidikan menyangkut pembangunan karakter dan sekaligus mempertahankan jati diri manusia suatu bangsa. Frankel (1997) menyatakan bahwa pendidikan khususnya peningkatan jumlah tahun belajar merupakan suatu syarat untuk tahap dari pembangunan ekonomi. Semakin tinggi pendidikan seseorang, maka kualitas sumberdaya manusia juga akan semakin baik dan akan memengaruhi produktifitas. Ketika produktifitas meningkat maka penghasilan atau upah yang didapat juga akan meningkat sehingga akan membantu masyarakat keluar dari jerat kemiskinan.

Di Kabupaten Bogor, elastisitas kemiskinan terhadap rata-rata lama sekolah sebesar -2,42, yang berarti peningkatan rata-rata lama sekolah pekerja 1 persen akan menurunkan kemiskinan sebesar 2,42 persen (ceteris paribus). Temuan ini sejalan dengan teori human capital yang menyatakan bahwa pendidikan dapat memperbaiki produktivitas tenaga kerja, meningkatkan daya saing dan pertumbuhan ekonomi serta memperbaiki income. Pendidikan dapat berperan dalam pengentasan kemiskinan tergantung pada tingkat pembangunan suatu negara/wilayah, aspek ekonomi, sosial dan politik yang mempengaruhi upah dan permintaan tenaga kerja (Gundlach et al, 2001).

Rata-rata lama sekolah di Kabupaten Bogor adalah sebesar 7,98 tahun. Nilai ini masih di bawah rata-rata lama sekolah Jawa Barat yang mencapai 8,02. Oleh sebab itu, peningkatan rata-rata lama sekolah di Kabupaten Bogor mutlak diperlukan guna penurunan angka kemiskinan.

Model pertama dalam analisis data panel dapat menjelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi dapat menurunkan kemiskinan. Namun, pertumbuhan ekonomi sektor mana sajakah yang dapat berperan dalam penurunan kemiskinan belum terjawab. Oleh sebab itu dalam model kedua akan dianalisis sektor-sektor mana sajakah yang dapat menurunkan kemiskinan.

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN 

A. KESIMPULAN

  1. Hasil analisis menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan adalah pertumbuhan penduduk, pendidikan/rata-rata lama sekolah dan laju pertumbuhan ekonomi.

B. SARAN-SARAN 

  1.  Menggalakkan kembali program pengendalian laju pertumbuhan penduduk, mengingat pengaruhnya yang positif terhadap peningkatan persentase penduduk miskin.
  2. Meningkatkan rata-rata lama sekolah di Kabupaten Bogor melalui capaian program wajib belajar sembilan tahun. Bukti empiris menunjukkan semakin lama rata-rata lama sekolah maka persentase penduduk miskin akan semakin berkurang.
  3. Meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan laju pertumbuhan sektor kunci di Kabupaten Bogor.

DAFTAR PUSTAKA

Andersson, Engvall and Kokko. 2005. Determinants of Poverty in Lao PDR. Stockholm School of Asian Studies. Stockholm School of Economics.

Dornbusch R, Fischer S, Startz R. 2004. Macroeconomics 8th Edition. New York: McGraw-Hill.

Jhingan, M.L. 2003. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Penerjemah: D. Guritno. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Jhingan, M.L. 2008. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Gujarati DN. 2004. Basic Econometrics 4th Edition. New York: McGraw Hill.

Granger, C. W. J. (1969). Investigating causal relations by econometric models and cross-spectral methods. Econometrica37, 424–438.

Gundlach, E.; de Pablo, J.N.; Weisert, N. 2001. Education is good for the poor. World Institute for Development Economics Research, Discussion Paper . 2001/137.

Lucas, R.E.B. 1997. Handbook of Family and Economics Internal Migration in Developing Countries, ed. M. R. Rosenzweig and Stark. Boston. Elseviere-Science Press, 721-78.

Kakwani, N. S. Khandker and H.H. Son. 2004. Pro-Poor Growth: Concepts and Measurement with Country Case Studies. United Nations Development Programme International Poverty Centre. Vol 1. Brasil.

NAPS. 1999. Unemployment and Poverty. Poverty Briefing No 7 Unemployment and Poverty. Poverty Agency.

Rahman, R.I. 2006. Access to Education and Employment: Implications for Poverty.PRCPB Working Paper No. 14. Bangladesh Institute of Development Studies (BIDS). Dhaka, Bangladesh

Siregar, H dan D. Wahyuniarti. 2007. Dampak Pertumbuhan Ekonomi terhadap Penurunan Jumlah Penduduk Miskin. MB-IPB. Bogor.

Suparno. 2010. Analisis Pertumbuhan Ekonomi dan Pengurangan Kemiskinan: Studi Pro Por Growth Policy di Indonesia. IE-IPB. Bogor

Tambunan, T. 2003. Perkembangan Sektor Pertanian di Indonesia. Beberapa Isu Penting. Jakarta. Penerbit: Ghalia Indonesia.

Tambunan, T. 2006. Perekonomian Indonesia sejak Orde Lama hingga Pasca Krisis. Pustaka Quantum. Jakarta.

Todaro, M. P and S. C. Smith. 2006. Pembangunan Ekonomi. Jilid 1. Edisi 9. Alih Bahasa. Penerbit Erlangga. Jakarta.

World Bank. 2004a. Mewujudkan Pelayanan Umum bagi Masyarakat Miskin. The World Bank, Jakarta.

World Bank. 2004b. Meningkatkan Pelayanan Umum bagi Rakyat Miskin. Konferensi Nasional Penanggulangan Kemiskinan dan Pencapaian Tujuan Millenium. The World Bank, Jakarta.

World Bank. 2005. Era Baru dalam Pengentasan Kemiskinan di Indonesia (ikhtisar). The World Bank Office Jakarta. Jakarta.

World Bank. 2007. World Development Indicators. World Bank, Washington.

Yudhoyono, S.B. dan Harniati. 2004. Pengurangan Kemiskinan di Indonesia : Mengapa Tidak Cukup dengan Memacu Pertumbuhan Ekonomi . Brighten Press, Bogor.

————————————————————————————–

Sumber Tulisan  : Ujang Jaelani & Tim Penyusun Indikator Ekonomi Kabupaten Bogor

http://analisis-lintassektor.blogspot.com/2013/01/analisis-keterkaitan-kemiskinan-dengan.html

Lembaga Keuangan Syariah (Contoh tugas makalah mata kuliah Dasar-dasar Ekonomi Islam, Rinastkip)


MAKALAH Lembaga Keuangan Syariah  

Contoh tugas mata kuliah Dasar-dasar Ekonomi Islam

A. Pendahuluan

Lembaga bisnis Islami (syariah) merupakan salah satu instrument yang digunakan untuk mengatur aturan-aturan ekonomi Islam. Sebagai bagian dari sistem ekonomi, lembaga tersebut merupakan bagian dari keseluruhan sistem sosial. Oleh karenanya, keberadaannya harus dipandang dalam konteks keseluruhan keberadaan masyarakat (manusia), serta nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.

Islam menolak pandangan yang menyatakan bahwa ilmu ekonomi merupakan ilmu yang netral-nilai.[1] Padahal ilmu ekonomi merupakan ilmu yang syarat orientasi nilai.

Sebenarnya, bisnis secara syariah tidak hanya berkaitan dengan larangan bisnis yang berhubungan dengan, seperti masalah alkohol, pornografi, perjudian, dan aktivitas lain yang menurut pandangan Islam seperti tidak bermoral dan antisosial. Akan tetapi bisnis secara syariah ditunjukan untuk memberikan sumbangan positif terhadap pencapaian tujuan sosial-ekonomi masyarakat yang lebih baik. Bisnis secara syariah dijalankan untuk menciptakan iklim bisnis yang baik dan lepas dari praktik kecurangan.

Dalam segenap aspek kehidupan bisnis dan transaksi, dunia Islam mempunyai sistem perekonomian yang berbasiskan nilai-nilai dan prinsip-prinsip Syariah yang bersumber dari Al Quran dan Al Hadits serta dilengkapi dengan Al Ijma dan Al Qiyas. Sistem perekonomian Islam, saat ini lebih dikenal dengan istilah Sistem Ekonomi Syariah.
Al Quran mengatur kegiatan bisnis bagi orang-perorang dan kegiatan ekonomi secara makro bagi seluruh umat di dunia secara eksplisit dengan banyaknya instruksi yang sangat detail tentang hal yang dibolehkan dan tidak dibolehkan dalam menjalankan praktek-praktek sosial-ekonomi. Para ahli yang meneliti tentang hal-hal yang ada dalam Al Quran mengakui bahwa praktek perundang-undangan Al Quran selalu berhubungan dengan transaksi. Hal ini, menandakan bahwa betapa aktivitas ekonomi itu sangat penting menurut Al Quran.

Ekonomi Syariah menganut faham Ekonomi Keseimbangan, sesuai dengan pandangan Islam, yakni bahwa hak individu dan masyarakat diletakkan dalam neraca keseimbangan yang adil tentang dunia dan akhirat, jiwa dan raga, akal dan hati, perumpamaan dan kenyataan, iman dan kekuasaan. Ekonomi Keseimbangan merupakan faham ekonomi yang moderat tidak menzalimi masyarakat, khususnya kaum lemah sebagaimana yang terjadi pada masyarakat kapitalis. Di samping itu, Islam juga tidak menzalimi hak individu sebagaimana yang dilakukan oleh kaum sosialis, tetapi Islam mengakui hak individul dan masyarakat.

Dari kajian-kajian yang telah dilakukan, ternyata Sistem Ekonomi Syariah mempunyai konsep yang lengkap dan seimbang dalam segala hal kehidupan, namun sebagian umat Islam, tidak menyadari hal itu karena masih berpikir dengan kerangka ekonomi kapitalis-sekuler, sebab telah berabad-abad dijajah oleh bangsa Barat, dan juga bahwa pandangan dari Barat selalu lebih hebat. Padahal tanpa disadari ternyata di dunia Barat sendiri telah banyak negara mulai mendalami sistem perekonomian yang berbasiskan Syariah.

Lembaga Keuangan Syariah sebagai bagian dari Sistem Ekonomi Syariah, dalam menjalankan bisnis dan usahanya juga tidak terlepas dari saringan Syariah. Oleh karena itu, Lembaga Keuangan Syariah tidak akan mungkin membiayai usaha-usaha yang di dalamnya terkandung hal-hal yang diharamkan, proyek yang menimbulkan kemudharatan bagi masyarakat luas, berkaitan dengan perbuatan mesum/ asusila, perjudian, peredaran narkoba, senjata illegal, serta proyek-proyek yang dapat merugikan syiar Islam. Untuk itu dalam struktur organisasi Lembaga Keuangan Syariah harus terdapat Dewan Pengawas Syariah yang bertugas mengawasi produk dan operasional lembaga tersebut.
Dalam operasionalnya, Lembaga Keuangan Syariah berada dalam koridor-koridor
prinsip-prinsip:
1. Keadilan, yakni berbagi keuntungan atas dasar penjualan riil sesuai kontribusi dan resiko masing-masing pihak;

2. Kemitraan, yang berarti posisi nasabah investor (penyimpan dana), dan pengguna dana, serta lembaga keuangan itu sendiri, sejajar sebagai mitra usaha yang saling bersinergi untuk memperoleh keuntungan;

3. Transparansi, lembaga keuangan Syariah akan memberikan laporan keuangan secara terbuka dan berkesinambungan agar nasabah investor dapat mengetahui kondisi dananya;
4. Universal, yang artinya tidak membedakan suku, agama, ras, dan golongan dalam masyarakat sesuai dengan prinsip Islam sebagai rahmatan lil alamin.

Lembaga Keuangan Syariah, dalam setiap transaksi tidak mengenal bunga, baik dalam menghimpun tabungan investasi masyarakat ataupun dalam pembiayaan bagi dunia usaha yang membutuhkannya. Menurut Dr. M. Umer Chapra , penghapusan bunga akan menghilangkan sumber ketidakadilan antara penyedia dana dan pengusaha. Keuntungan total pada modal akan dibagi di antara kedua pihak menurut keadilan. Pihak penyedia dana tidak akan dijamin dengan laju keuntungan di depan meskipun bisnis itu ternyata tidak menguntungkan.

Sistem bunga akan merugikan penghimpunan modal, baik suku bunga tersebut tinggi maupun rendah. Suku bunga yang tinggi akan menghukum pengusaha sehingga akan menghambat investasi dan formasi modal yang pada akhirnya akan menimbulkan penurunan dalam produktivitas dan kesempatan kerja serta laju pertumbuhan yang rendah. Suku bunga yang rendah akan menghukum para penabung dan menimbulkan ketidakmerataan pendapatan dan kekayaan, karena suku bunga yang rendah akan mengurangi rasio tabungan kotor, merangsang pengeluaran konsumtif sehingga akan menimbulkan tekanan inflasioner, serta mendorong investasi yang tidak produktif dan spekulatif yang pada akhirnya akan menciptakan kelangkaan modal dan menurunnya kualitas investasi.

Ciri-ciri sebuah Lembaga Keuangan Syariah dapat dilihat dari hal-hal sebagai berikut:
1. Dalam menerima titipan dan investasi, Lembaga Keuangan Syariah harus sesuai dengan fatwa Dewan Pengawas Syariah;

2. Hubungan antara investor (penyimpan dana), pengguna dana, dan Lembaga Keuangan Syariah sebagai intermediary institution, berdasarkan kemitraan, bukan hubungan debitur-kreditur;
3. Bisnis Lembaga Keuangan Syariah bukan hanya berdasarkan profit orianted, tetapi juga falah orianted, yakni kemakmuran di dunia dan kebahagiaan di akhirat;

4. Konsep yang digunakan dalam transaksi Lembaga Syariah berdasarkan prinsip kemitraan bagi hasil, jual beli atau sewa menyewa guna transaksi komersial, dan pinjam-meminjam (qardh/ kredit) guna transaksi sosial;

5. Lembaga Keuangan Syariah hanya melakukan investasi yang halal dan tidak menimbulkan kemudharatan serta tidak merugikan syiar Islam

Dalam membangun sebuah usaha, salah satu yang dibutuhkan adalah modal. Modal dalam pengertian ekonomi syariah bukan hanya uang, tetapi meliputi materi baik berupa uang ataupun materi lainnya, serta kemampuan dan kesempatan. Salah satu modal yang penting adalah sumber daya insani yang mempunyai kemampuan di bidangnya.
Sumber Daya Insani (SDI) yang dibutuhkan oleh sebuah lembaga keuangan syariah, adalah seorang yang mempunyai kemampuan profesionalitas yang tinggi, karena kegiatan usaha lembaga keuangan secara umum merupakan usaha yang berlandaskan kepada kepercayaan masyarakat.

Untuk SDI lembaga keuangan syariah, selain dituntut memiliki kemampuan teknis perbankan juga dituntut untuk memahami ketentuan dan prinsip syariah yang baik serta memilik akhlak dan moral yang Islami, yang dapat dijabarkan dan diselaraskan dengan sifat-sifat yang harus dipenuhi, yakni:

-Siddiq, yakni bersikap jujur terhadap diri sendiri, terhadap orang, dan Allah SWT;
-Istiqomah, yakni bersikap teguh, sabar dan bijaksana;

-Fathonah, yakni professional, disiplin, mentaati peraturan, bekerja keras, dan
inovatif;
-Amanah, yakni penuh tanggungjawab dan saling menghormati dalam menjalankan tugas dan melayani mitra usaha;

-Tabligh, yakni bersikap mendidik, membina, dan memotivasi pihak lain untuk
meningkatkan fungsinya sebagai kalifah di muka bumi.

Selain peningkatan kompetensi dan profesionalisme melalui pendidikan dan pelatihan, perlu juga diciptakan suasana yang mendukung di setiap lembaga keuangan syariah, tidak terbatas hanya pada layout serta physical performance, melainkan juga nuansa non fisik yang melibatkan gairah Islamiyah.

Hal ini perlu dilakukan sebagai environmental enforcement, mengingat agar sumber daya yang telah belajar dan mendapatkan pendidikan serta pelatihan yang baik, ketika masuk ke dalam pekerjaannya menjadi sia-sia karena lingkungannya tidak mendukung.

Bisnis berdasarakan syariah di negeri ini tampak mulai tumbuh. Pertumbuhan itu tampak jelas pada sektor keuangan. Dimana kita telah mencatat tiga bank umum syariah, 78 BPR Syariah, dan lebih dari 2000 unti Baitul Mal wa Tamwil. Lembaga ini telah mengelola berjuta bahkan bermiliar rupiah dana masyarakat sesuai dengan prinsip syariah. Lembaga keuangan tersebut harus beroperasi secara ketat berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Prinsip ini sangat berbeda dengan prinsip yang dianut oleh lembaga keuangan non-syariah.

Adapun prinsip-prinsip yang dirujuk adalah:[2]

  1. Larangan menerapkan bunga pada semua bentuk dan jenis transaksi
  2. Menjalankan aktivitas bisnis dan perdagangan berdasarkan pada kewajaran dan keuntungan yang halal.
  3. Mengeluarkan zakat dari hasil kegiatannya.
  4. Larangan menjalankan monopoli.
  5. Bekerja sama dalam membangun masyarakat, melalui aktivitas bisnis dan perdagangan yang tidak dilarang oleh Islam.

 

  1. Lembaga Keuangan Syariah

Di atas telah disebutkan bahwa lembaga keuangan syariah bukan hanya bank,  secara garis besar dapat digambarkan di bawah ini lembaga-lembaga keuangan syariah yang ada, yaitu:

  1. 1.      Bank Syariah

i.            Pengertian

Bank merupakan suatu lembaga keuangan yang mempunyai fungsi utamanya adalah menerima simpanan uang, meminjamkan uang, dan jasa pengiriman uang,  pada awalnya istilah bank memang tidak di dikenal di dunia islam, yang lebih dikenal adalah jihbiz yang mempunyai arti penagih pajak yang pada waktu itu jihbiz dikenal dengan penagih dan penghitung pajak pada benda  yang kena pajak yaitu barang dan tanah.

Pada zaman Bani Abbasiyyah, jihbiz lebih dikenal dengan profesi penukaran uang yang pada waktu itu diperkenalkan mata uang yang dikenal dengan fulus yang terbuat dari tembaga, dengan adanya fulus para gubernur pemerintahan cenderung mencetak fulusnya masing-masing sehingga akan berbeda-beda nilai dari fulus tersebut, kemudian ada sistem penukaran uang. Selain melakukan penukaran uang jihbiz juga menerima titipan dana, meminjamkan uang, dan jasa pengiriman uang.

ii.            Sejarah Bank Syariah

Ide untuk menggunakan bank dengan sistem bagi hasil telah muncul sejak lama dan ditandai dengan munculnya para pemikir islam yang menulis mengenai bank syariah, mereka diantaranya Anwar Quraeshi (1946), Naiem Siddiqi (1948), dan Mahmud Ahmad (1952) dan ditulis kembali secara terperinci oleh Mawdudi (1961), selain itu tulisan-tulisan Muhammad Hamidullah pada tahun 1944-1962 bisa dikatakan sebagai pendahulu mengenai perbankan syariah.

Perkembangan bank syariah modern tercatat di Pakistan dan Malaysia sekitar tahun 1940, yang pada waktu itu adalah usaha pengelolaan dana jamaah haji secara non-konvensional. Pada tahun 1940 di Mesir didirikan Mit Ghamr Lokal Saving Bank oleh Ahmad El-Najar yang dibantu oleh Raja Faisal dari Arab Saudi. Dalam jangka waktu empat tahun Mit Ghamr berkembang dengan membuka sembilan cabang dengan nasabah mencapai satu juta orang.

Gagasan lain muncul dari konferensi negara-negara Islam se-dunia di Kuala Lumpur pada tanggal 21-27 April 1969 yang diikuti oleh 19 negara peserta.

Di Indonesia sendiri sudah muncul gagasan mengenai bank syariah pada pertengahan 1970 yang dibicarakan pada seminar Indonesia-Timur Tengah pada tahun 1974 dan Seminar Internasional pada tahun 1976. Bank syariah pertama di Indonesia adalah Bank Muamalat yang merupakan hasil kerja tim Perbankan MUI yang ditandatangani pada tanggal 1 Nopember 1991.

iii.            Produk-produk Bank Syariah

Secara garis besar produk perbankan syariah dapat dibagi menjadi tiga yaitu Produk penyaluran dana, produk penghimpunan dana, dan produk jasa yang diberikan bank kepada nasabahnya.

  • Penyaluran Dana

Prinsip Jual Beli (Ba’i)

Jual beli dilaksanakan karena adanya pemindahan kepemilikan barang. Keuntungan bank disebutkan di depan dan termasuk harga dari harga yang dijual. Terdapat tiga jenis jual beli dalam pembiayaan modal kerja dan investasi dalam bank syariah, yaitu:

  • Ba’i Al Murabahah: Jual beli dengan harga asalditambah keuntugan yang disepakati antara pihak bank dengan nasabah, dalam hal ini bank menyebutkan harga barang kepada nasabah yang kemudian bank memberikan laba dalam jumlah tertentu sesuai dengan kesepakatan.
  • Ba’i Assalam: Dalam jual beli ini nasabah sebagai pembeli dan pemesan memberikan uangnya di tempat akad sesuai dengan harga barang yang dipesan dan sifat barang telah disebutkan sebelumnya. Uang yang tadi diserahkan menjadi tanggungan bank sebagai penerima pesanan dan pembayaran dilakukan dengan segera.
  • Ba’i Al Istishna: Merupakan bagian dari Ba’i Asslam namun ba’i al ishtishna biasa digunakan dalam bidang manufaktur. Seluruh ketentuan Ba’i Al Ishtishna mengikuti Ba’i Assalam namun pembayaran dapat dilakukan beberapa kali pembayaran.

Prinsip Sewa (Ijarah)

Ijarah adalah kesepakatan pemindahan hak guna atas barang atau jasa melalui sewa tanpa diikuti pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa. Dalam hal ini bank meyewakan peralatan kepada nasabah dengan biaya yang telah ditetapkan secara pasti sebelumnya.

Prinsip Bagi Hasil (Syirkah)

Dalam prinsip bagi hasil terdapat dua macam produk, yaitu:

  • Musyarakah: Adalah salah satu produk bank syariah yang mana terdapat dua pihak atau lebih yang bekerjasama untuk meningkatkan aset yang dimiliki bersama dimana seluruh pihak memadukan sumber daya yang mereka miliki baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud. Dalam hal ini seluruh pihak yang bekerjasama memberikan kontribusi yang dimiliki baik itu dana, barang, skill, ataupun aset-aset lainnya. Yang menjadi ketentuan dalam musyarakah adalah pemilik modal berhak dalam menetukan kebijakan usaha yang dijalankan pelaksana proyek.
  • Mudharabah: Mudharabah adalah kerjasama dua orang atau lebih dimana pemilik modal memberikan memepercayakan sejumlah modal kepada pengelola dengan perjanjian pembagian keuntungan. Perbedaan yang mendasar antara musyarakah dengan mudharabah adalah kontribusi atas manajemen dan keuangan pada musyarakah diberikan dan dimiliki dua orang atau lebih, sedangkan pada mudharabah modal hanya dimiliki satu pihak saja.
  • Penghimpun Dana

Produk penghimpunan dana pada bank syariah meliputi giro, tabungan, dan deposito. Prinsip yang diterapkan dalam bank syariah adalah:

Prinsip Wadiah

Penerapan prinsip wadiah yang dilakukan adalah wadiah yad dhamanah yang diterapkan pada rekaning produk giro. Berbeda dengan wadiah amanah, dimana pihak yang dititipi (bank) bertanggung jawab atas keutuhan harta titipan sehingga ia boleh memanfaatkan harta titipan tersebut. Sedangkan pada wadiah amanah harta titipan tidak boleh dimanfaatkan oleh yang dititipi.

Prisip Mudharabah

Dalam prinsip mudharabah, penyimpan atau deposan bertindak sebagai pemilik modal sedangkan bank bertindak sebagai pengelola. Dana yang tersimpan kemudian oleh bank digunakan untuk melakukan pembiayaan, dalam hal ini apabila bank menggunakannya untuk pembiayaan mudharabah, maka bank bertanggung jawab atas kerugian yang mungkin terjadi.

Berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh pihak penyimpan, maka prinsip mudharabah dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:

  • Mudharabah mutlaqah: prinsipnya dapat berupa tabungan dan deposito, sehingga ada dua jenis yaitu tabungan mudharabah dan deposito mudharabah. Tidak ada pemabatasan bagi bank untuk menggunakan dana yang telah terhimpun.
  • Mudharabah muqayyadah on balance sheet: jenis ini adalah simpanan khusus dan pemilik dapat menetapkan syarat-syarat khusus yang harus dipatuhi oleh bank, sebagai contoh disyaratkan untuk bisnis tertentu, atau untuk akad tertentu.
  • Mudharabah muqayyadah off balance sheet:Yaitu penyaluran dana langsung kepada pelaksana usaha dan bank sebagai perantara pemilik dana dengan pelaksana usaha. Pelaksana usaha juga dapat mengajukan syarat-syarat tertentu yang harus dipatuhi bank untuk menentukan jenis usaha dan  pelaksana usahanya.
  • Jasa Perbankan

Selain dapat melakukan kegiatan menghimpun dan menyalurkan dana, bank juga dapat memberikan jasa kepada nasabah dengan mendapatan imbalan berupa sewa atau keuntungan, jasa tersebut antara lain:

Sharf (Jual Beli Valuta Asing)

Adalah jual beli mata uang yang tidak sejenis namun harus dilakukan pada waktu yang sama (spot). Bank mengambil keuntungan untuk jasa jual beli tersebut.

Ijarah (Sewa)

Kegiatan ijarah ini adalah menyewakan simpanan (safe deposit box) dan jasa tata-laksana administrasi dokumen (custodian), dalam hal ini bank mendapatkan imbalan sewa dari jasa tersebut.

  1. Bank Perkreditan Rakyat Syariah
  1. Pengertian

Menurut undang-undang  (UU) Perbankan No. 7 tahun 1992, BPR adalah lembaga keuangan yang menerima simpanan uang hanya dalam bentuk deposito berjangka tabungan, dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dalam bentuk itu dan menyalurkan dana sebagai usaha BPR. Pada UU Perbankan No. 10 tahun 1998, disebutkan bahwa BPR adlah lemabaga keuangan bank yang melaksanakan kegiatan usahanya secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah.

Pengaturan pelaksanaan BPR yang menggunakan prinsip syariah tertuang pada surat Direksi Bank Indonesia No. 32/36/KEP/DIR/tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah tanggal 12 Mei 1999. Dalam hal ini pada teknisnya BPR syariah beroperasi layaknya BPR konvensional namun menggunakan prinsip syariah.

  1. Sejarah

BPR merupakan penjelmaan dari Bank Desa, Lumbung Desa, Bank Pasar, Bank Pegawai Lumbung Nagari (LPN), Lembaga perkreditan Desa (LPD), Badan Kredit Desa (BKD), Bada Kredit Kecamatan (BKK), Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK), Lembaga Perkreditan Kecamatan (LPK), Bank  Karya Produksi Desa (BKPD), dan atau lembaga lainnya yang dapat dipersamakan dengan itu.

Lembaga-lembaga keuangan yang disebutkan merupakan lembaga yang berpengaruh atas berdirinya BPR Syariah, keberadaan lembaga keuangan tersebut memunculkan pemikiran untuk mendirikan Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang berdiri pada tahun 1992, namun pada kenyatannya cakupan wilayah untuk BMI sangat terbatas pada wilayah tertentu seperti kecamatan, kabupaten, dan desa. Maka dalam hal ini diperlukan adanya BPR untuk menangani masalah keuangan di wilayah-wilayah yang tidak dijangakau oleh BMI.

Pada awalnya ditetapkan tiga lokasi untuk mendirikan BPR Syariah, yaitu PT BPR Dana Mardhatillah di Kecamatan Margahayu-Bandung, PT BPR Berkah Amal Sejahtera di Kecamatan Padalarang-Bandung, dan PT BPR Amanah Rabbaniyah di Kecamatan Banjaran-Bandung. Ketiga BPR tersebut mendapatkan izin prinsip Menteri Keuangan RI pada tanggal 8 Oktober 1990.

  1. Tujuan

Tujuan didirikannya BPR Syariah adalah sebagai berikut:

  1. Meningkatkan kesejahteraan ekonomi umat islam, terutama masyarakat golongan ekonomi lemah yang pada umumnya di daerah pedesaan.
  2. Menambah lapangan kerja terutama di tingkat kecamatan sehingga dapat mengurangi arus urbanisasi.
  3. Membina semangat ukhuwah islamiyyah melalui kegiatan ekonomi dalam rangka meningkatkan pendapatan per kapita menuju kualitas hidup yang memadai.

Untuk mencapai tujuan operasional BPR Syariah tersebut diperlukan strategi operasional sebagai berikut:

  1. BPR Syariah tidak bersifat menunggu terhadapa datangnya permintaan fasilitas melainkan bersifat aktif dengan melakukan sosialisasi/penelitian kepada usaha-usaha berskala kecil yang perlu dibantu tambahan modal, sehingga memiliki prospek bisnis yang baik.
  2. BPR Syariah memiliki jenis usaha yang waktu perputaran uangnya jangka pendek dengan mengutamakan usaha skala menengah dan kecil.
  3. BPR Syariah mengkaji pangsa pasar, tingkat kejenuhan serta tingkat kompetitifnya produk yang akan diberi pembiayaan.
  4. Usaha-usaha BPR Syariah

Usaha BPR Syariah untuk melangsungkan kegiatan operasionalnya antara lain:

  1. Menghimpun dana dari masyarakat dalam simpanan deposito berjangka, tabungan, dan atau bentuk tabungan lainnya yang dipersamakan dengan itu.
  2. Menyediakan pembiayaan dan penempatan dana berdasarkan prinsip syariah sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
  3. Menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia, deposito berjangka, serifikat deposito, dan atau tabungan pada bank lain.

UU BPR Syariah kemudian dipertegas dalam kegiatan operasional BPR Syariah dalam pasal 27 SIK DIR. BI 32/36/1999, sebagai berikut:

  1. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan yang meliputi:
  • Tabungan berdasarkan prinsip wadiah dan mudharabah.
  • Deposito berjangka berdasarkan prinsip mudharabah.
  • Bentuk lain yang menggunakan prinsip wadiah atau mudharabah.
  1. Melakukan penyaluran dana melalui:
  • Transaksi jual beli melalui prinsip murabahah, istishna, salam, ijarah, dan jual beli lainnya.
  • Pembiayaan bagi hasil berdasarkan prinsip mudharabah, musyarakah, dan bagi hasil lainnya.
  • Pembiayaan lain berdasarkan prinsip rahn dan qardh.
  1. Melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan BPR Syariah sepanjang disetujui oleh Dewan Syariah Nasional.
  1. Pegadaian Syariah
  1. Rukun dan Syarat Transaksi Gadai:

i.i Rukun Gadai

  1. Ada ijab dan qabul (shigat).
  2. Terdapat orang yang berakad adalah yang menggadaikan (rahin) dan yang menerima gadai (murtahin).
  3. Ada jaminan (marhum) berupa barang / harta.
  4. Utang (marhun bih).

i.ii. Syarat Sah Gadai

  1. Shigat
  2. Orang yang berakad
  3. Barang yang dijadikan pinjaman
  4. Utang (marhun bih)
  5.      Hak dan Kewajiban Pihak yang Berakad

ii.i Penerima Gadai (Murtahin)

Hak

  • Apabila rahin tidak dapat memenuhi kewajibannya pada saat jatuh tempo, murtahirin berhak untuk menjual marhun
  • Untuk menjaga keselamatan marhun, pemegang gadai berhak mendapatkan penggantian biaya yang dikeluarkan
  • Pemegang gadai berhak menahan barang gadai dari rahin, selama pinjaman belum dilunasi

Kewajiban

  • Apabila terjadi sesuatu (hilang ataupun cacat) terhadap marhun akibat dari kelalaian, maka murtahin harus bertanggung jawab
  • Tak boleh menggunakan marhun untuk kepentingan pribadi
  • Sebelum diadakan pelelangan marhun harus ada pemberitahuan kepada rahin

ii.ii. Pemberi Gadai

Hak

  • Setelah pelunasan pinjaman, rahin berhak atas barang gadai yang ia serahkan kepada murtahin
  • Apabila terjadi kerusakan atau hilangnya barang gadai akibat kelalaian murtahin, rahin menuntut ganti rugi atas marhun
  • Setelah dikurangi biaya pinjaman dan biaya-biaya lainnya, rahin berhak menerima sisa hasil penjualan mahun
  • Apabila diketahui terdapat penyalahgunaan marhun oleh murtahin, maka rahin berhak untuk meminta marhunnya kembali

Kewajiban

  • Melunasi pinjaman yang telah diterima serta biaya-biaya yang ada didalam kurun waktu yang telah ditentukan
  • Apabila dalam jangka waktu yang telah ditentukan rahin tak dapat melunasi pinjamannya, maka harus merelakan penjalan atas marhun miliknya
  1. Akad Perjanjian Transaksi Gadai

iii.i Qadr al-Hasan

Akad ini digunakan nasabah untuk tujuan komsumtif. Oleh karena itu nasabah akan dikenakan biaya perawatan dan penjagaan barang gadaian kepada pegadai.

iii.ii Mudharabah

Akad ini diberikan bagi nasabah yang ingin memperbesar modal usahanya atau untuk pembiayaan lain yang bersifat produktif.

iii.iii Ba’i Muqayyadah

Akad ini diberikan bagi nasabah untuk keperluan yang bersifat produktif.

iii.iv Ijarah

Obyek dari akad ini adalah pertukaran manfaat tertentu, bentuknya adalah murtahin menyewakan tempat penyimpanan barang.

  1. Mekanisme Operasional Pegadaian Syariah

Teknis pelaksanaan kegiatan pegadaian syariah adalah, sebagai berikut :

iv.i Jenis barang yang digadaikan

  • Perhiasan
  • Alat-alat rumah tangga, dapur, makan-minum, kebun, dan sejenisnya
  • Kendaraan

iv.ii Biaya biaya

  • Biaya administrasi pinjaman
  • Jasa simpanan

iv.iii Sistem cicilan atau perpanjangan

iv.iv Ketentuan pelunasan pinjaman dan pengambilan barang gadai

No. Besarnya Taksiran Nilai Taksiran Biaya Administrasi Tarif Jasa Simpanan Kelipat -an
A 100.000 – 500.000 500000 5.000 45 10
B 510.000 – 1.000.000 > 500.000 – 1.000.000 6.000 225 50
C 1.050.000 – 5.000.000 > 1.000.000 – 5.000.000 7.500 450 100
D 5.050.000 – 10.000.000 > 5.000.000 – 10.000.000 10.000 2.250 500
E 10.050.000 > 10.000.000 15.000 4.500 1.000

iv.v Proses pelelangan barang gadai

Pelelangan baru dapat dilakukan jika nasabah tak dapat mengembalikan pinjamannya. Teknisnya harus ada pemberitahuan 5 hari sebelum tanggal penjualan.

  1. Jasa dan Produk Pegadaian Syariah
  • Pemberian pinjaman atau pembiayaan atas dasar hukum gadai
  • Penaksiran nilai barang
  • Penitipan barang (ijarah)
  • Gold counter
  1. Asuransi Syariah
  1. Pengertian

Kata asuransi berasal dari bahasa inggris, “insurance”. Dalam bahasa arab istilah asuransi biasa diungkapkan dengan kata at-tamin yang secara bahasa berarti tuma’ ninatun nafsi wa zawalul khauf, tenangnya jiwa dan hilangnya rasa takut.

Asuransi menurut UU RI No.2 th. 1992 tentang usaha perasuransian, yang dimaksud dengan asuransi yaitu perjanjian antara dua belah pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri dengan pihak tertanggung, dengan menerima premi asuransi untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tak pasti atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seeseorang yang dipertanggungkan.

Sedangkan pengertian asuransi syariah menurut fatwa DSN-MUI adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong diantara sejumlah orang atau pihak melalui investasi dalam bentuk asset dan atau tabarru memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad yang sesuai dengan syariah.

  1. Pendapat Ulama Tentang Asuransi

Pada ulasan asuransi, pada awalnya para ulama berbeda pendapat dalam menentukan keabsahan praktek hukum asuransi, disanalah menjadi controversial, dan terhadap masalah ini dapat dipilah menjadi dua kelompok, adanya ulama yang mengharamkan asuransi, dan ada juga yang memperbolehkan asuransi.berikut alasan / argumentasinya :

Alasan ulama yang mengharamkan praktek asuransi, adalah :

  • Asuransi mengandung unsur perjudian yang sangat dilarang di islam
  • Asuransi mengandung unsur ketidakpastian
  • Asuransi mengandung unsur riba yang dilarang dalam islam
  • Asuransi termasuk jual-beli atau tukar-menukar mata uang tidak secara tunai
  • Asuaransi obyek bisnisnya digantungkan pada hidup matinya seseorang, yang berarti mendahului takdir Allah SWT
  • Asuransi mengandung unsur eksploitasi yang bersifat menekan

Argumentasi ulama dalam memperbolehkan asuransi, adalah :

  • Tidak terdapat nash Al-Qur’an atau Hadist yang melarang asuransi
  • Dalam asuransi terdapat kesepakatan dan kerelaan antara kedua belah pihak
  • Asuransi menguntungkan kedua belah pihak
  • Asuransi mengandung unsur kepentingan umum, sebab premi-premi yang dapat diinvestasikan dalam kegiatan pembangunan
  • Asuransi termasuk akad mudharobah antara pemegang polis dengan perusahaan asuransi
  • Asuransi termasuk syirikah at-ta’awuniyah, usaha bersama yang didasarkan pada prinsip tolong-menolong
  1. Akad Pada Asuransi Syariah

Akad pada operasional asuransi syariah dapat didasarkan pada akad tabarru’, yaitu akad yang didasarkan atas pemberian dan pertolongan dari satu pihak kepada pihak yang lain.

Dengan akad tabbaru’ berarti peserta asuransi telah melakukan persetujuan dan perjanjian dengan perusahaan asuransi untuk menyerahkan pembayaran sejumlah dana (premi) ke perusahaan agar dikelolah dan dimanfaatkan untuk membantu peserta lain yang kebetulan mengalami kerugian. Akad tabarru’ ini mempunyai tujuan utama yaitu terwujudnya kondisi saling tolong-menolong antara peserta asuransi untuk saling menanggung (tafakul) bersama

Akad lain yang dapat diterapkan dalam bisnis asuransi adalah akad mudharabah , yaitu satu bentuk akad yang didasarkan pada prinsip profit dan loss sharing atas untung dan rugi, dimana dana yang terkumpul dalam total rekening tabungan dapat di investasikan oleh perusahaan asuransi yang risiko investasi ditanggung bersama antara perusahaan dan nasabah.

  1. Perbedaan Asuransi Syariah dan Asuransi Konvensional
No. Materi Pembeda Asuransi Syariah Asuransi Konvensional
1 Akad Tolong-menolong dan investasi Jual-beli (tabaduli)
2 Kepemilikan dana Dana yang terkumpul dari nasabah (premi) merupakan milik peserta, perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengolahnya Dana yang terkumpul dari nasabah (premi) menjadi milik perusahaan. Perusahaan bebas untuk menentukan investasinya
3 Investasi dana Investasi dana berdasar syariah dengan sistem bagi hasil (mudharabah) Investasi dana berdasarkan bunga (riba)
4 Pembayaran klaim Dari rekening tabarru’ (dana sosial) seluruh peserta Dari rekening dana perusahaan
5 Keuntungan Dibagi antara perusahaan dengan peserta, sesuai prinsip bagi hasil Seluruhnya menjadi milik perusahaan
6 Dewan pengawas syariah Ada dewan pengawas syariah mengawasi manajemen, produk, dan investasi Tidak ada
  1. Baitul Maal Wattamwil (BMT)

i.                                          Pengertian

Baitul Maal wat Tamwil (BMT) atau Balai Usaha Mandiri Terpadu, adalah lembaga keuangan mikro yang dioperasikan dengan prinsip bagi hasil, menumbuh kembangkan derajat dan martabat serta membela kepentingan kaum fakir miskin, ditumbuhkan atas prakarsa dan modal awal dari tokoh-tokoh masyarakat setempat dengan berlandaskan pada system ekonomi yang salaam.

ii.      Asas dan Prinsip Dasar

Prinsip dasar BMT, adalah:

  1. Ahsan (mutu hasil terbaik), thayyiban (terindah), ahsanu ’amala(memuaskan semua pihak), dan sesuai dengan nilai-nilai salaam: keselamatan, kedamaian, dan kesejahteraan.
  2. Barokah, artinya berdaya guna, berhasil guna, adanya penguatan jaringan, transparan(keterbukaan), dan bertangggung jawab sepenuhnya kepada masyarakat.
  3. Spiritual communication (penguatan nilai ruhiyah)
  4. Demokratis, partisipatif, dan inklusif.
  5. Keadilan social dan kesetaraan jender, non-diskriminatif
  6. Ramah lingkungan
  7. Peka dan bijak terhadap pengetahuan dan budaya local, serta keanekaragaman budaya.
  8. Keberlanjutan, memberdayakan masyarat dengan meningkatkan kemampuan diri dan lembaga masyarakat lokal.

iii.      Sifat, Peran, dan Fungsi

BMT bersifat terbuka, independen, tidak partisan, berorientasi pada pengembangan tabungan dan pembiayaan untuk mendukung bisnis ekonomi yang produktif bagi anggota dan kesejahteraan social masyarakat sekitar, terutama usaha mikro dan fakir miskin.

Peran BMT di masyarakat sebagai berikut :

  1. Motor penggerak ekonomi dan social masyarakat banyak
  2. Ujung tombak pelaksanaan system ekonomi syariah
  3. Penghubung antara kaum aghnia (kaya) dan kaum dhu’afa (miskin)
  4. Sarana pendidikan informal untuk mewujudkan prinsip hidup yang barakah, ahsanu ‘amaia dan salaam melalui spiritual communication dengan dzikir qalbiyah ilahiah.

Fungsi BMT di masayarakat

  1. Meningkatkan kualitas SDM anggota, pengurus, dan pengelola menjadi lebih professional, salaam, dan amanah sehingga semakin utuh dan tangguh dalam berjuang dan berusaha menghadapi tantangan global.
  2. Mengorganisir dan memobilisasi dana sehingga dana yang dimiliki oleh masyarakat dapat termanfaatkan secara optimal di dalam dan luar organisasi untuk kepentingan rakyat banyak.
  3. Mengembangkan kesempatan kerja.
  4. Mengukuhkan dan meningkatkan kualitas usaha dan pasar produk-produk anggota
  5. Memperkuat dan meningkatkan kualitas lembaga-lembaga ekonomi dan sosial rakyat banyak.

iv.      Pendirian BMT

BMT dapat didirikan oleh :

  1. Sekurang-kurangnya 20 orang.
  2. Satu pendiri dengan lainnya sebaiknya tidak memiliki hubungan keluarga vertical dan horizontal satu kali.
  3. Sekurang-kurangnya 70% anggota pendiri bertempat tinggal di sekitar daerah kerja BMT.
  4. Pendiri dapat bertambah dalam tahun-tahun kemudian jika disepakati oleh rapat para pendiri.

v.      Permodalan BMT

Modal BMT terdiri dari :

  1. Simpanan pokok.
  2. Simpanan Pokok Khusus.

vi.          Mekanisme kerja BMT

Cara kerja BMT adalah sebagai berikut :

  1. Pendamping atau beberapa pemrakarsa yang mengetahui tentang BMT, menyampaikan dan menjelaskan idea tau gagasan ini kepada rekan-rekannya sebagai upaya untuk menarik beberapa orang sebagai pemrakarsa awal hingga mencapai lebih dari 20 orang.
  2. Dua puluh orang atau lebih tersebut kemudian menyepakati pendirian BMT di desa, kecamatan, pasar, atau masjid dan bersepakat mengumpulkan modal awal pendirian BMT.
  3. Modal awal kemudian ditentukan sesuai dengan kesepakata bersama (tidak harus sama jumlahnya antara pemrakarsa, hingga mencapai jumlah yang telah ditentukan untuk pendirian sebuah BMT).
  4. Pemrakarsa membuat rapat untuk memilih pengurus BMT.
  5. Pengurus BMT kemudian merapatkan dan merekrut pengelola/ manajemen BMT dari lingkungan tersebut yang memiliki sifat sidiq, amanah, fathanah dan benar-benar menguasai visi, misi, tujuan dan usaha-usaha BMT, serta memiliki keinginan keras dan dengan sepenuh hati untuk mengembangkan BMT.
  6. Penggurus BMT menghubungi PINBUK setempat untuk memberikan pelatihan kepada calon pengelola/manajemen BMT tersebut(umumnya 2 minggu pelatihan dan magang).
  7. Pengelola yang telah diberi pelatihan kemudian membuka kantor dan menjalankan BMT, dengan giat menggalakan simpanan masyarakat dan memberikan pembiayaan pada usaha mikro dan kecil di sekitarnya.
  8. Pembiayaan pada usaha mikro dilakukan dengan menerapkan system bagi hasil yang disampaikan sesuai dengan akad yang telah disepakati.
  9. Hasil dari bagi hasil ini kemudian digunakan oleh para pengelola untuk membayar honor para pengelola dan membayar kegiatan operasional BMT.
  10. Hasil dari bagi hasil juga digunakan untuk membayar bagi hasil kepada penyimpanan data, diupayakan agar nilai bagi hasil yang diperoleh para penyimpan dana bias lebih besar dari bunga bank konvensional.
  1. 6.      Pasar Modal Syariah
    1. Pengertian

Istilah sekuritas (securities) seringkali disebut juga dengan efek, yakni sebuah nama kolektif untuk macam-macam surat berharga, misalnya saham, obilgasi, surat hipotik, dan jenis surat lain yang membuktikan hak milik atas sesuatu barang. Dengan istilah yang hampir sama, sekuritas juga dapat dipahami sebagai promissory notes/commercial bank notes yang menjadi bukti bahwa satu pihak mempunyai tagihanpada  pihak lain. Adapun,yang dimaksud dengan sekuritas syariah atau efek syariah adalah efek sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal yang akad, pengelolaan perusahaan, maupun cara penerbitannya memenuhi prinsip-prinsip syariah.

Diantara bank-bank islam yang ada, terdapat dua pendapat yang berbeda dalam menyikapi surat berharga. Pertama, mayoritas bank islam menolak perdagangan surat berharga. Kedua, bank islam di Malaysia, dalam beberapa kondisi termasuk juga bank islam di Indonesia, menerima transaksi surat berharga.

Alasan penyangkalan mereka yang enolak surat berharga adalah karena di dalamnya terkandung bai ad-dyn (jual beli utang). Sementara itu islam secara tegas telah engharamkan jual beli utang. Reaksi yang berbeda dikemukakan oleh pendapat kedua, yakni mereka yang mengabsahkan transaksi surat berharga. Umumnya mereka menyandarkan pada prinsip bahwa surat berharga tersebut haruslah di endors(dijamin) oleh pihak penerbit, kemudian surat berharga tersebut haruslah timbul dari aktivatas yang tidak bertentangan dengan syariah. Jadi, selama kedua hal ini tidak dilanggar, tarnsaksi surat berharga menjadi sah karenanya.

Terlepas bagaimanapun reaksi yang diungkapkan oleh umat. Yang pasti, islam sangat menganjurkan umatnya untuk melakukan aktifitas ekonomi (mu’amalah) dengan cara yang benar dan baik, serta melarang penimbunan barang, atau membiakan harta menjadi tidak produktif, sehingga aktifitas ekonomi yang dilakukan depat meningkatkan ekonomi umat. Tujuan utamanya adalah untuk memproleh keuntungan (falah), baik materi maupun non materi, dunia dan akhirat. Sementara itu, segala bentuk aktivitas ekonomi yang dilakukan haruslah berdasarkan suka sama suka, berkeadilan, dan tidak saling merugikan.

Karena itu sehubungan dengan pembahasan sekuritas syariah ini, ada tiga kategori sekuritas. Pertama, segala jenis sekuritas yang menawarkan predetermined fixed income tidak diperbolehkan dalam islam, karena termasuk kategori riba. Dengan demikian, interest bearing security baik long term maupun short term. Akan masuk daftar instrument investasi yang tidak sah. Saham preferen (preference stock), debenture, treasury securities and consul, dan commercial papers masuk dalam kategori ini.

Kategori kedua, sekuritas- sekuritas yang berbeda dalam grey area (questionable) karena dicurigai sarat dengan gharar, meliputi produk-produk derivates, seperti forward, future dan juga options.

Kategori ketiga, yakni sekuritas yang diperbolehkan, baik secara penuh maupun dengan catatan-catatan meliputi, saham, dan islmic bonds, profit loss sharing based, government securities, penggunaan institusi pasar sekunder dan mekanismenya semisal margin trading. Karena sering seklai catatan-catatannya begitu dominan.

  1. 7.      Reksa Dana Syariah

Reksa dana diartikan sebagai wadah yang dipergunkanan untuk menghimpun dana dari masyarakat investor untuk selanjutnya diinvestasikan dalam portofolio efek oleh manajer investasi. Reksa dana merupakan investasi campuran yang menggabungkan saham dan obligasi dalam satu produk.

Sedangkan Reksa Dana Syariah merupakan sarana investasi campuran yang menggabungkan saham dan obligasi syariah dalam satu produk yang dikelola oleh manajer investasi. Manajer investasi menawarkan Reksa Dana Syariah kepada para investor yang berminat, sementara dana yang diperoleh dari investor tersebut dikelola oleh manajer investasi untuk ditanamkan dalam saham atau obligasi syariah yang dinilai menguntungkan.

 

Keuntungan Investasi Melalui Reksa Dana

1. Diversifikasi investasi

Diversifikasi yang terwujud dalam bentuk portofolio akan menurunkan tingkat resiko. Reksa Dana melakukan diversifikasi dalam berbagai instrumen efek, sehingga dapat menyebarkan resiko atau memperkecil resiko. Investor walaupun tidak memiliki dana yang cukup besar dapat melakukan diversifikasi investasi dalam efek sehingga dapat memperkecil risiko. Hal ini berbeda dengan pemodal individual yang misalnya hanya dapat membeli satu atau dua jenis efek saja.

2. Kemudahan Investasi

Reksa Dana mempermudah investor untuk melakukan investasi di pasar modal. Kemudahan investasi tercermin  dari kemudahan pelayanan administrasi dalam pembelian maupun penjualan kembali unit penyertaan. Kemudahan juga diperoleh investor dalam melakukan reinvestasi pendapatan yang diperolehnya sehingga unit penyertaannya dapat terus bertambah.

3. Efisiensi Biaya dan Waktu

Karena reksa dana merupakan kumpulan dana dari banyak investor, maka biaya investasinya akan lebih murah bila dibandingkan jika investor melakukan transaksi secara individual di bursa. Pengelolaan yang dilakukan oleh manajer investasi secara profesional, tidak perlu bagi bagi investor untuk memantau sendiri kinerja investasinya tersebut.

4. Likuiditas

Pemodal dapat mencairkan kembali saham / unit penyertaan setiap saat sesuai ketetapan yang dibuat masing-masing reksa dana, sehingga memudahkan investor untuk mengelola hasilnya. Reksa dana wajib membeli kembali unit penyertaannya, sehingga sifatnya menjadi likuid.

5. Transparansi Informasi

Reksa dana diwajibkan memberikan informasi atas perkembangan portofolio dan biayanya, secara berkala dan kontinyu, sehingga pemegang unit penyertaan dapat memantau  keuntungan, biaya dan resikonya.

 

 

Risiko Investasi dengan Reksa Dana

1. Risiko berkurangnya nilai unit penyertaan.

Risiko ini dipengaruhi oleh turunnya harga dari efek (saham, obligasi, dan surat berharga lainnya) yang masuk dalam portofolio reksa dana tersebut.

2. Risiko Likuiditas

Risiko ini menyangkut kesulitan yang dihadapi manajer investasi jika sebagian besar pemegang unit melakukan penjualan kembali (redemption) atas unit-unit yang dipegangnya. Manajer investasi akan mengalami kesulitan dalam menyediakan uang tunai atas redemption tersebut.

3. Risiko Politik dan Ekonomi

Perubahan kebijakan ekonomi politik dapat mempengaruhi kinerja bursa dan perusahaan sekaligus. Dengan demikian harga sekuritas akan terpengaruh yang kemudian mempengaruhi portofolio yang dimiliki reksa dana.

4. Risiko Pasar

Hal ini terjadi karena sekuritas di pasar efek memang berfluktuasi sesuai dengan kondisi ekonomi secara umum. Terjadinya fluktuasi di pasar efek akan berpengaruh langsung pada nilai bersih portofolio, terutama jika terjadi koreksi atau pergerakan negatif.

5. Risiko Inflasi

Terjadinya inflasi akan menyebabkan menurunnya total real return investasi. Pendapatan yang diterima dari investasi dalam reksa dana bisa jadi tidak dapat menutup kehilangan karena menurunnya daya beli (loss of purchasing power).

6. Risiko Nilai Tukar

Risiko ini dapat terjadi jika terdapat sekuritas luar negeri dalam portofolio yang dimiliki. Pergerakan nilai tukar akan mempengaruhi nilai sekuritas yang termasuk foreign invesment setelah dilakukan konversi dalam mata uang domestik.

7. Risiko Spesifik

Risiko ini adalah risiko dari setiap sekuritas yang dimiliki. Disamping dipengaruhi pasar secara keseluruhan, setiap sekuritas mempunyai risiko sendiri-sendiri. Setiap sekuritas dapat menurun nilainya jika kinerja perusahaannya sedang tidak bagus, atau juga adanya kemungkinan mengalami  default, tidak dapat membayar kewajibannya.

Dilihat dari portofolio investasinya atau kemana kumpulan dana diinvestasikan, reksa dana dapat dibedakan menjadi :

1. Reksa dana pasar Uang

Reksa dana jenis ini hanya melakukan investasi pada efek bersifat utang dengan jatuh tempo kurang dari satu tahun. Tujuannya adalah untuk menjaga likuiditas dan menjaga modal.

2. Reksa Dana Pendapatan Tetap

Reksa dana jenis ini melakukan investasi sekurang-kurangnya 80% dari aktivanya dalam bentuk efek bersifat utang. Reksa dana ini memiliki risiko yang relatif lebih besar dari pada Reksa Dana Pasar Uang. Tujuannya adalah untuk menghasilkan tingkat pengembalian yang stabil.

3. Reksa Dana Saham

Reksa dana yang melakukan investasi sekurang-kurangnya  80% dari aktivanya dalam bentuk efek bersifat ekuitas. Karena investasinya dilakukan pada saham, maka risikonya lebih tinggi dari dua jenis reksa dana sebelumnya namun menghasilkan tingkat pengembalian yang tinggi.

4. Reksa Dana Campuran

Reksa dana jenis ini melakukan investasi dalam efek bersifat ekuitas (contoh: saham) dan efek bersifat utang (contoh : obligasi).

Reksa Dana Syariah ditujukan untuk memenuhi kebutuhan kelompok investor yang menginginkan memperoleh pendapatan investasi dari sumber dan cara yang bersih dapat dipertanggungjawabkan secara religius yang memang sejalan dengan prinsip syariah.

Reksa Dana Syariah dapat mengambil bentuk seperti reksa dana konvensional. Namun memilki perbedaan dalam operasionalnya, dan yang paling tampak adalah proses screening dalam mengontruksi portofolio. Filterisasi menurut prinsip syariah akan mengeluarkan saham yang memiliki aktivitas haram seperti riba, gharar, minuman keras, judi, daging babi, rokok, prostitusi, pornografi dan seterusnya. Reksa Dana Syariah di dalam investasinya tidak hanya bertujuan untuk mendapatkan return yang tinggi. Tidak hanya melakukan maksimalisasi kesejahteraan yang tinggi terhadap pemilik modal, tetapi memperhatikan pula bahwa portofolio yang dimiliki tetap berada pada aspek investasi pada perusahaan yang memiliki produk halal dan baik yang tidak melanggar aturan syariah.

Perbedaan Reksa dana Syariah dan Konvensional

Ada beberapa hal yang membedakan antara reksa dana konvensional dan reksa dana syariah. Dan tentunya ada beberapa hal yang juga harus diperhatikan dalam investasi syariah ini.

a. Kelembagaan

Dalam syariah islam belum dikenal lembaga badan hukum seperti sekarang. Tapi lembaga badan hukum ini sebenarnya mencerminkan kepemilkikan saham dari perusahaan yang secara syariah diakui. Namun demikian, dalam hal reksa dana syariah, keputusan tertinggi dalam hal keabsahan produk adalah Dewan Pengawas syariah yang beranggotakan beberapa alim ulama dan ahli ekonomi syariah yang direkomendasikan oleh Dewan Pengawas Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia. Dengan begitu proses didalam akan terus diikuti perkembangannya agar tidak keluar dari jalur syariah yang menjadi prinsip investasinya.

b. Hubungan Investor dan Perusahaan
Akad antara investor dengan lembaga hendaknya dilakukan dengan sistem mudharabah. Secara teknis, al-mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan secara mudharabah  dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi, ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian tersebut bukan akibat kelalaian si pengelola. Seandainya kerugian tersebut karena kecurangan atau kelalaian pengelola maka pengelola harus bertanggungjawab atas kerugian tersebut. Dalam hal ini transaksi jual beli, saham-saham dalam reksa dana syariah dapat diperjual belikan. Saham-saham dalam reksa dana syariah merupakan yang harta (mal) yang dibolehkan untuk diperjual belikan dalam syariah. Tidak adanya unsur penipuan (gharar) dalam transaksi saham karena nilai saham jelas. Harga saham terbentuk dengan adanya hukum supply and demand. Semua saham yang dikeluarkan reksa dana tercatat dalam administrasi yang rapih dan penyebutan harga harus dilakukan dengan jelas.

c. Kegiatan Investasi Reksa Dana

Dalam melakukan kegiatan investasi reksa dana syariah dapat melakukan apa saja sepanjang tidak bertentangan dengan syariah, diantara investasi tidak halal yang tidak boleh dilakukan adalah investasi dalam bidang perjudian, pelacuran, pornografi, makanan dan minuman yang diharamkan, lembaga keuangan ribawi dan lain-lain yang ditentukan oleh Dewan Pengawas Syariah. Dalam kaitannya dengan saham-saham yang diperjual belikan dibursa saham, BEJ sudah mengeluarkan daftar perusahaan yang tercantum dalam bursa yang sesuai dengan syariah Islam atau saham-saham yang tercatat di Jakarta Islamic Index (JII). Dimana saham-saham yang tercantum didalam indeks ini sudah ditentukan oleh Dewan Syariah.

Dalam melakukan transaksi reksa dana syariah tidak diperbolehkan melakukan tindakan spekulasi, yang didalamnya mengandung gharar seperti penawaran palsu dan tindakan spekulasi lainnya.

  1. 8.      Obligasi Syariah

Obligasi syariah di dunia internasional dikenal dengan sukuk. Sukuk berasal dari bahasa Arab “sak” (tunggal) dan “sukuk” (jamak) yang memiliki arti mirip dengan sertifikat atau note. Dalam pemahaman praktisnya, sukuk merupakan bukti (claim) kepemilikan. Sebuah sukuk mewakili kepentingan, baik penuh maupun proporsional dalam sebuah atau sekumpulan aset.

Berbeda dengan konsep obligasi konvensional selama ini, yakni obligasi yang bersifat hutang dengan kewajiban membayar berdasarkan bunga, obligasi syariah adalah suatu surat berharga berjangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan Emiten kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan Emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil/margin/fee serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo (lihat Fatwa DSN, 2004).

Jika ditinjau dari aspek akad, obligasi dapat dimodifikasi ke pelbagai jenis seperti obligasi saham, istisna, murabahah, musyarakah, mudharabah ataupun ijarah, namun yang lebih populer dalam perkembangan obligasi syariah di Indonesia hingga saat ini adalah obligasi mudharabah dan ijarah.

Obligasi syariah di Indonesia mulai diterbitkan pada paruh akhir tahun 2002, yakni dengan disahkannya Obligasi Indosat obligasi yang diterbitkan ini berdasarkan prinsip mudharabah. Obligasi mudharabah mulai diterbitkan setelah fatwa tentang obligasi syariah (Fatwa DSN-MUI No.32/DSN-MUI/ /2002)dan obligasi syariah mudharabah (Fatwa DSN-MUI No.33/DSN-MUI/ /2002). Sedangkan obligasi syariah ijarah pertama kali diterbitkan pada tahun 2004 setelah dikeluarkannya fatwa tentang obligasi syariah ijarah (Fatwa DSN-MUI No.41/DSN-MUI/ /2003).

Penerapan mudharabah dalam obligasi cukup sederhana. Emiten bertindak selaku mudharib, pengelola dana dan investor bertindak sebagai shahibul mal, alias pemilik modal. Keuntungan yang diperoleh investor merupakan bagian proporsional keuntungan dari pengelolaan dana oleh investor.

Dalam perdagangan obligasi syariah tidak boleh diterapkan harga diskon atau harga premium yang lazim dilakukan oleh obligasi konvensional. Prinsip transaksi obligasi syariah adalah transfer service atau pengalihan piutang dengan  tanggung bagi hasil, sehingga jual beli obligasi syariah hanya boleh pada harga nominal pelunasan jatuh tempo obligasi.

Di Indonesia penerbitan obligasi syariah umumnya menggunakan akad mudharabah. Prinsip-prinsip pokok dalam mekanisme penerbitan obligasi syariah dapat dilihat pada hal-hal sebagai berikut :

1. Kontrak atau akad mudharabah atau akad syariah lainnya yang sesuai dituangkan  dalam  perjanjian perwaliamanatan.

2.  Rasio atau persentase bagi hasil (nisbah) dapat ditetapkan berdasarkan komponen pendapatan (revenue) atau keuntungan (profit; operating profit, EBIT atau EBITDA).

3. Nisbah ini dapat ditetapkan konstan, meningkat, ataupun menurun, dengan mempertimbangkan proyeksi pendapatan emiten, tetapi sudah ditetapkan di awal kontrak.

4.  Pendapatan bagi hasil berarti jumlah pendapatan yang dibagihasilkan yang menjadi hak dan oleh karenanya harus dibayarkan oleh Emiten pada pemegang obligasi syariah yang dihitung berdasarkan perkalian antara nisbah pemegang obligasi syariah dengan pendapatan/keuntungan yang dibagihasilkan yang jumlahnya tercantum dalam keuangan konsolidasi emiten.

5. Pembagian hasil pendapatan ini keuntungan dapat dilakukan secara periodik (tahunan, semesteran, kuartalan, bulanan)

6. Karena besarnya pendapatan bagi hasil akan ditentukan oleh kinerja aktual emiten, maka obligasi syariah memberikan indicative return tertentu.

Landasan Dasar Obligasi Syariah

1. Firman Allah SWT :

Al-Baqarah ayat 275

“Dan Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba . . .”

Al-Mujamil ayat 20

“Dan sebagian mereka berjalan di muka bumi mencari karunia Allah”

2. Sabda Rasulullah SAW:

“Tiga bentuk usaha yang didalamnya mengandung barakah: yaitu jual-beli secara tangguh, mudharabah/kerjasama dalam bagi hasil dan mencampur gandum dengan kedelai (hasil keringat sendiri) untuk kepentingan keluarga bukan untuk dijual. (HR. Ibnu Majah)

3. Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) No.32/DSN-MUI/IX/2002, tentang obligasi syariah.

Perbedaan Obligasi Syariah dan Obligasi Konvensional

1. Dari sisi orientasi, obligasi konvensional hanya memperhitungkan keuntungannya semata. Tidak demikian pada obligasi syariah, disamping memperhatikan keuntungan, obligasi syariah harus memperhatikan pula sisi halal-haram, artinya setiap investasi yang diharamkan dalam obligasi pada produk-produk yang sesuai dengan prinsip syariah.

2. Obligasi konvensional, keuntungannya di dapat dari besaran bunga yang ditetapkan, sedangkan obligasi syariah keuntungan akan diterima dari besarnya margin/fee yang ditetapkan ataupun dengan sistem bagi hasil yang didasakan atas aset dan prooduksi.

3. Obligasi syariah disetiap transaksinya ditetapkan berdasarkan akad. Diantaranya adalah akad mudharabah, musyarakah, murabahah, salam, istisna,dan ijarah. Dana yang dihimpun tidak dapat diinvestasikan kepasar uang dan atau spekulasi di lantai bursa. Sedangkan untuk obligasi konvensional tidak terdapat akad disetiap transaksinya.

 

  1. 9.      Lembaga Zakat
    1. Pengertian

Zakat dalam arti fikih berarti sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah diserahkan kepada orang-orang yang berhak. Dalam sebuah hadist tentang penempatan Muaz di Yaman, Rasulullah berkata “Terangkan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan sedekah yang dikenakan pada kekayaan orang-orang kaya”. Dalam beberapa ayat zakat diterangkan sebagai sedekah.

  1. Sejarah

Pada tahun ke-9 Hijriyah mulai ada kewajiban tentang zakat, sedangkan shodaqoh dan fitrah pada tahun ke-2 Hijriyah. Akan tetapi ada ulama yang berpendapat bahwa kewajiban tentang zakat ada sebelum tahun ke-9 Hijriyah. Pada awalnya zakat bersifat sukarela dan belum ada peraturan ketentuan khusus tentang zakat, pada tahun ke-9 Hijriyah kemudian disusun peraturan dan standar tentang zakat karena pada waktu itu islam telah kuat. Pada masa itu pengelola zakat tidak mendapatkan gaji resmi tapi mendapatkan bayaran dari dana tersebut.

Zakat pada masa itu merupakan salah satu pendapatan negara, berbeda dengan pajak dan tidak diperlakukan seperti pajak. Zakat merupakan kewajiban dan salah satu rukun islam, pengeluaran untuk zakat ada pada Al Quran surat At taubah ayat 60.

Pada zaman Rasulullah zakat dikenakan pada benda-benda berikut:

  1. Benda logam yang terbuat dari emas dan perak seperti koin, perkakas, ornamen, atau dalam bentuk lainnya.
  2. Binatang ternak seperti unta, sapi, domba, dan kambing.
  3. Berbagai jenis barang dagangan termasuk budak dan hewan.
  4. Hasil pertanian termasuk buah-buahan.
  5. Luqta, harta benda yang ditinggalkan musuh.
  6. Barang temuan.
  7. Perbedaan zakat dengan pajak

Berikut adalah tabel perbedaan zakat dengan pajak:

ZAKAT PAJAK
  1. Merupakan kewajiban agamadan merupakan salah satu bentuk ibadah.
  2. Diwajibkan kepada seluruh umat islam saja di suatu negara.
  3. Kewajiban agama bagi umat islam yang harus dibayar dalam keadaan seperti apapun.
  4. Sumber dana besar zakat ditentukan berdasarkan kitab suci Al Quran dan Sunnah dan tidak boleh diubah oleh seseorang maupun pemerintah.
  5. Butir-butir pengeluaran dan orang-orang yang berhak menerima harta zakat juga dinyatakan oleh Al Quran dan Sunnah zakat diperoleh dari orang berharta dan diterima kepada golongan yang ditentukan Al Quran dan Al Hadist.
  6. Zakat dikenakan bukan terhadap uang saja tetapi juga terhadap baranag-barang komersil, hasil pertanian, barang tambang, dan ornamen.
  1. Merupakan kebijakan ekonomi  yaang diterapkan untuk memperoleh pendapatan pemerintah.
  2. Dikenakan kepada seluruh masyarakat tanpa mempertimbangkan agama maupun ras.
  3. Dapat ditangguhkan oleh pemerintah yang berkuasa.
  4. Besarnya pajak dapat diubah dari waktu ke waktu berdasarkan keperluan pemerintah suatu negara.
  5. Pemebelanjaan pajak biasanya dapat diubah atau dimodifikasi menurut kebutuhan pemerintah.
  6. Pajak biasa memberikan manfaat kepada orang kaya sekaligus orang miskin.
  7. Pajak dikenakan terhadap uang.
  1. Organisasi lembaga pengelola zakat

UU RI Nomor 38 tahun 1998 tentang pengelolaan zakat Bab III pasal 6 dan 7 menyatakan bahwa lembaga pengelola zakat di Indonesia terdiri dari dua macam, yaitu Badan Amil Zakat (BAZ) yang dibentuk oleh pemerintah dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang dibentuk oleh masyarakat.

  1. 10.  Koperasi Syariah

Koperasi sebagai sebuah istilah yang telah diserap ke dalam bahasa Indonesia dari kata ‘Cooperation’ (Inggris). Secara semantic koperasi berarti kerja sama. Kata koperasi mempunyai padanan makna dengan kata syirkah dalam bahasa Arab.[3] Syirkah ini merupakan wadah kemitraan, kerjasama, kekeluargaan, kebersamaan usaha yang sehat baik dan halal yang sangat terpuji dalam islam.

Menurut Row Ewell Paul koperasi merupakan wadah perkumpulan (asosiasi) sekelompok orang untuk tujuan kerja sama dalam bidang bisnis yang saling menguntungkan diantara anggota perkumpulan.

Bung Hatta dalam buku Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun mengkategorikan delapan nilai sebagai spirit koperasi yaitu:

  1. Kebenaran untuk menggerakan kepercayaan (trust)
  2. Keadilan dalam usaha bersama
  3. Kebaikan dan kejujuran mencapai perbaikan
  4. Tanggung jawab dalam individualitas dan solidaritas
  5. Paham yang sehat, cerdas dan tegas
  6. Kemauan menolong diri sendiri
  7. Menggerakan keswasembadaan dan otoaktif
  8. Kesetiaan dalam kekeluargaan.

Dalam implementasinya tujuh nilai yang menjiwai koperasi versi Hatta, dituangkan dalam tujuh prinsip operasional koperasi secara internal dan eksternal,yaitu:

  1. Keanggotaan sukarela dan terbuka
  2. Pengendalian oleh anggota secara demokratis
  3. Partisipasi ekonomis anggota
  4. Otonomi dan kebebasan
  5. Pendidikan, pelatihan dan informasi
  6. Kerjasama antarkoperasi
  7. Kepedulian terhadap komunitas.
  1. 11.  Wakaf Tunai

i.            Pengertian

Wakaf diambil dari kata “waqafa” yang berarti menahan atau berhenti. Dalam hukum islam wakaf berarti menyerahkan suatu hak milik yang tahan lama (zatnya) kepada seseorang atau nadzir (penjaga wakaf), baik berupa perorangan maupun badan pengelola dalam hal ini bisa bank syariah maupun lembaga swasta dalam ketentuan hasil atau manfaatnya digunakan sesuai dengan syariat islam. Harta yang telah diwakfkan keluar dari hak milik yang mewakafkan, dan bukan pula menjadi hak milik nadzir tetapi menjadi hak milik Allah dalam pengertian masyarakat umum.

ii.            Rukun Wakaf Tunai

Dalam wakaf terdapat 4 rukun, yaitu:

  1. Al Wakif: Orang yang melakukan perbuatan wakaf hendaklah dalam keadaan sehat rohaninya dan tidak dalam keaddan terpaksa atau dalam keaddan jiwanya tertekan.
  2. Al Mauquf: Harta benda yang diwakafkan harus jelas wujudnya atau zatnya yang bersifat abadi, artinya bahwa harta itu tidak habis sekali pakai dan dapat diambil manfaatnya dalam jangka waktu yang lama.
  3. Al Mawqul ‘alaih: Sasaran yang berhak menerima hasil atau manfaat wakaf dapat dibagi menjadi dua macam, wakaf khairi dimana wakaf dimana wakifnya tidak membatasi sasaran wakafnya untuk pihak tertentu tapi untuk kepentingan umum, sedangkan wakaf dzurri adalah wakaf dimana wakifnya membatasi sasaran wakafnya untuk pihak tertentu, yaitu keluarga keturunannya.
  4. Sighah: Pernyataan pemberian wakaf, baik dengan lafadz, tulisan, maupun isyarat.

iii.            Tujuan Wakaf Tunai

Tujuan dari penggalangan wakaf tunai adalah:

  1. Menggalang tabungan sosial dan mentranformasikan tabungan sosial menjadi modal sosial serta membantu mengembangkan pasar modal sosial.
  2. Meningkatkan investasi sosial.
  3. Menyisihkan sebagian keuntungan dari sumber daya orang kaya/berkecukupan kepada fakir miskin dan anak-anak generasi berikutnya.
  4. Menciptakan kesadaran diantara orang-orang kaya/berkecukupan menggali tanggung jawab sosial mereka terhadap masyarakat sekitarnya.
  5. Menciptakan integrasi antara keamanan dan kedamaian sosial serta meningkatkan kesejahteraan.

iv.            Perbedaan Wakaf dengan Shodaqoh/Hibah

Berikut adalah perbedaan antara wakaf dengan shadaqah/hibah:

Wakaf Shodaqoh
  1. Menyerahkan kepemilikan suatu barang kepada orang lain.
  2. Hak milik atas barang dikembalikan kepada Allah.
  3. Objek wakaf tidak boleh diberikan atau dijual kepada pihak lain.
  4. Manfaat barang biasanya dinikmati untuk kepentingan sosial.
  5. Objek wakaf biasanya kekal zatnya.
  6. Pengelolaan objek wakaf diserahkan kepada administratur yang disebut nadzir/mutawalli.
  7. Menyerahkan kepemilikan suatu barang kepada pihak lain.
  8. Hak milik atas barang diberikan kepada penerima shadaqah/hibah.
  9. Objek shadaqah/hibah boleh diberikan atau dijual pada pihak lain.
  10. Manfaat barang dinikmati oleh penerima shadaqah/hibah.
  11. Objej shadaqah/hibah tidak harus kekal zatnya.
  12. Pengelolaan shadaqah/hibah diserahkan kepada penerima.

 

 

  1. C.    Kesimpulan

Di dalam suatu Negara dibutuhkan suatu lembaga yang mengatur setiap kegiatan perekonomian sehingga dapat berjalan dengan lancar sesuai dengan ketetapan yang telah dibuat dan diatur oleh pemerintah. Ada dua jenis lembaga keuangan yaitu lembaga keuangan Bank dan nonBank.

Dengan menggunakan prinsip syariah dalam setiap kegiatan ekonomi maka insyaallah segala kegiatannya akan berjalan dengan lancar karena diridoi oleh Allah guna mencapai falah (kebahagiaan dunia akhirat) dan tidak akan ada kemudharatan.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

  1. Arbi, Syafii. 2003. Mengenal Bank dan Lembaga Keuangan Nonbank. Jakarta:Djambatan
  2. Antonio, M.Syafi’i. 2001. Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani Press.
  3. Euis Amalia,dkk. 2007. Serial Buku Pedoman Praktyekum Fakultas Syariah dan Hukum No 1, Buku Modul Praktekum Bank Mini, Konsep dan Mekanisme Bank Syariah. Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
  4. Muhamad. 2000. Prinsip-prinsip Akuntansi dalam Al-Quran, UII Press Yogyakarta.
  5. Muhammad, 2007. Lembaga Ekonomi Syariah, Yogyakarta: Graha Ilmu.
  6. Muhammad. 2005. Pengantar Akuntansi Syariah Edisi 2. Jakarta: Salemba Empat.
  7. Nejatullah. S, Muhammad.1985. Asuransi di Dalam Islam. Bandung: Pustaka.
  8. Saladin, Djaslim dan Abdus Salam DZ. 2000. Konsep Dasar Ekonomi Dan Lembaga Keuangan. Bandung: Linda Karya
  9. Sudarsono, Heri. 2003. Bank & Lembaga Keuangan Syariah. Yogyakarta: EKONISIA Kampus Fakultas Ekonomi UII.
  10. M. Nadratuzzaman Hosen, AM Hasan Ali, dan A. Bahrul Muhtasib. 2008. Materi Dakwah Ekonomi Syariah.
  11. www. google.com

[1] Muhamad, Prinsip-prinsip Akuntansi dalam Al-Quran, UII Press Yogyakarta, 2000, hal 5.

[2] Muhamad, Lembaga Keuangan Umat Kontemporer, UII Press Yogyakarta, 2000, hal 25

[3] Muhamad, Lembaga Ekonomi Syariah, Graha Ilmu,2007, hal 92

sumber : images.pengantarekonomiis.multiply.multiplycontent.com

MAKALAH BIOLOGI UMUM I : FOTOSINTESIS


CONTOH MAKALAH BIOLOGI UMUM I : FOTOSINTESIS

                                                                             BAB I

PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Anabolisme adalah reaksi pembentukan molekul sederhana menjadi molekul yang kompleks. Reaksi anabolisme merupakan peristiwa sintesis atau penyusunan sehingga memerlukan energi, dan dibentuk reaksi endergonik. Contoh reaksi anabolisme di antaranya adalah fotosintesis atau sintesis karbohidrat dengan bantuan energi cahaya matahari, kemosintesis dengan bantuan energi kimia.
Fotosintesis adalah suatu proses biokimia yang dilakukan tumbuhan untuk memproduksi energi terpakai (nutrisi) dengan memanfaatkan energi cahaya. Fotosintesis juga dapat di artikan proses penyusunan atau pembentukan dengan menggunakan energi cahaya atau foton. Sumber energi cahaya alami adalah matahari yang memiliki spektrum cahaya infra merah (tidak kelihatan), merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, ungu dan ultra ungu (tidak kelihatan).
Hampir semua makhluk hidup bergantung dari energi yang dihasilkan dalam fotosintesis. Akibatnya fotosintesis menjadi sangat penting bagi kehidupan di bumi. Fotosintesis juga berjasa menghasilkan sebagian besar oksigen yang terdapat di atmosfer bumi. Organisme yang menghasilkan energi melalui fotosintesis (photos berarti cahaya) disebut sebagai fototrof. Fotosintesis merupakan salah satu cara asimilasi karbon karena dalam fotosintesis karbon bebas dari [[CO2]] diikat (difiksasi) menjadi gula sebagai molekul penyimpan energi. Cara lain yang ditempuh organisme untuk mengasimilasi karbon adalah melalui kemosintesis, yang dilakukan oleh sejumlah bakteri belerang.
B.     Rumusan masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan anabolisme?
2.      Apa yang dimaksud dengan fotosintesis?
3.      Apa yang dimaksud dengan kemosintesis?
C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui apa itu anabolisme.
2.      Untuk mengetahui apa itu fotosintesis.
3.      Untuk mengetahui apa itu kemosintesis.
BAB I
PEMBAHASAN
A.    ANABOLISME
Anabolisme adalah suatu peristiwa perubahan senyawa sederhana menjadi senyawa kompleks, nama lain dari anabolisme adalah peristiwa sintesis atau penyusunan. Anabolisme memerlukan energi, misalnya : energi cahaya untuk fotosintesis, energi kimia untuk kemosintesis.
Anabolisme dibedakan menjadi dua bagian :
A.    Polomerisasi, yaitu penyusunan zat organik sederhana menjadi zat organaik kompleks, contohnya pada pembentukan protein dari asam amino, pembentikan amilum dari glukosa.
B.     Asimilasi, yaitu proses pembentukan zat organik dari zat anorganik.
Proses asimilasi masih dibagi menjadi dua :
1.      Asimilasi Carbon (C) = pembentukan karbohidrat. Pembentukan karbohidrat dengan bantuan cahaya disebut dengan fotolisintesis, kemosintesissedangkan dengan bantuan reaksi kimia disebut dengan kemosintesis. Jadi perbedaan utama antara kemosintesis dengan fotosintesis adalah terletak pada energi luar.
2.      Asimilasi Nitrogen (N), yaitu pembentukan protein yang terjadi pada organel sel ribosom.
B.FOTOSINTESIS
Fotosintesis merupakan sintesis yang memerlukan cahaya (fotos = cahaya; sintesis = penyusunan atau membuat bahan kimia). Fotosintesis adalah peristiwa pembentukan karbohidrat dari karbondioksida dan air dengan bantuan energi cahaya matahari. Secara sederhana, reaksi fotosintesis yang melibatkan berbagai enzim dapat dituliskan sebagai berikut:
Fotosintesis terjadi di dalam kloroplas. Kloroplas merupakan organel plastida yang mengandung pigmen hijau daun (klorofil). Sel yang mengandung kloroplas terdapat pada mesofil daun tanaman yang disebut palisade atau jaringan tiang dan sel-sel jaringan bunga karang yang disebut spons.
Kloroplas tersusun atas bagian-bagian sebagai berikut:
a) Stroma ialah struktur kosong di dalam kloroplas, merupakan tempat glukosa terbentuk dari karbondioksida.
b) Tilakoid ialah struktur cakram bertumpuktumpuk, yang terbentuk dari pelipatan membran dalam kloroplas, dan berfungsi menangkap energi cahaya dan mengubahnya menjadi energi kimia.
c) Grana ialah selubung tangkai penghubung tilakoid.
Klorofil merupakan pigmen utama yang terdapat pada tumbuhan yang berfungsi menyerap cahaya radiasi elektromagnetik pada spektrum kasat mata. Klorofil dapat dibedakan menjadi klorofil a dan klorofil b. Klorofil a mampu menyerap cahaya merah dan biru keunguan. Klorofil a sangat berperan dalam reaksi gelap fotosintesis. Sedangkan, klorofil b merupakan klorofil yang mampu menyerap cahaya biru dan  merah kejinggaan. Di dalam kloroplas, selain klorofil juga terdapat pigmen karotenoid, antosianin, dan fikobilin. Jadi, hanya tumbuhan yang dapat melakukan fotosintesis karena mengandung kloroplas pada daunnya. Oleh karena itu, tumbuhan merupakan produsen makanan (karena dapat menghasilkan makanan dengan bantuan cahaya matahari), dan disebut juga organisme autotrof (auto = sendiri; trophic = makanan), yaitu organisme yang dapat membuat makanan sendiri.
Proses reaksi fotosintesis dalam tumbuhan tinggi dibagi menjadi dua tahap, yaitu reaksi terang dan reaksi gelap. Untuk mengetahui bagaimana proses kedua reaksi tersebut, mari cermati uraian berikut ini.
a.      Reaksi terang
Pada tahap pertama, energi matahari ditangkap oleh pigmen penyerap cahaya dan diubah menjadi bentuk energi kimia, ATP, dan senyawa pereduksi NADPH. Proses ini disebut tahap reaksi terang. Atom hidrogen dari molekul H2O dipakai untuk mereduksi NADP+ menjadi NADPH, dan O2 dilepaskan sebagai hasil samping reaksi fotosintesis. Reaksi ini juga dirangkaikan dengan reaksi endergonik, membentuk ATP dari ADP + Pi. Dengan demikian, reaksi terang dapat dituliskan dengan persamaan:
Pembentukan ATP dari ADP + Pi, merupakan suatu mekanisme penyimpanan energi matahari yang diserap kemudian diubah menjadi bentuk energi kimia. Proses ini disebut fosforilasi fotosintesis atau fotofosforilasi. Pada reaksi terang yang terjadi di grana, energi cahaya memacu pelepasan elektron dari fotosistem di dalam membran tilakoid. Fotosistem adalah tempat berkumpulnya beratus-ratus molekul pigmen fotosintesis. Aliran elektron melalui sistem transpor menghasilkan ATP dan NADPH. ATP dan NADPH dapat terbentuk melalui jalur non siklik, yaitu elektron mengalir dari molekul air, kemudian melalui fotosistem II dan fotosistem I. Elektron dan ion hidrogen akan membentuk NADPH dan ATP. Oksigen yang dibebaskan berguna untuk respirasi aerob. Pusat reaksi pada fotosistem I mengandung klorofil a, disebut sebagai P700, karena dapat menyerap foton terbaik pada panjang gelombang 700 nm. Pusat reaksi pada fotosistem II mengandung klorofil a yang disebut sebagai P680, karena dapat menyerap foton terbaik pada panjang gelombang 680 nm.
b.      Reaksi gelap (reaksi tidak tergantung cahaya)
Disebut juga siklus Calvin-Benson. Reaksi ini disebut reaksi gelap, karena tidak tergantung secara langsung dengan cahaya matahari. Reaksi gelap terjadi di stroma. Namun demikian, reaksi ini tidak mutlak terjadi hanya pada kondisi gelap. Reaksi gelap memerlukan ATP, hidrogen, dan elektron dari NADPH, karbon dan oksigen dari karbondioksida, enzim yang mengkatalisis setiap reaksi, dan RuBp (Ribulosa bifosfat) yang merupakan suatu senyawa yang mempunyai 5 atom karbon.
Reaksi gelap terjadi melalui beberapa tahapan, yaitu:
1.      Karbondioksida diikat oleh RuBp (Ribulosa bifosfat yang terdiri atas 5 karbon) menjadi senyawa 6 karbon yang labil. Senyawa 6 karbon ini kemudian memecah menjadi 2 fosfogliserat (PGA).
2.       Masing-masing PGA menerima gugus pfosfat dari ATP dan menerima hidrogen serta e- dari NADPH. Reaksi ini menghasilkan PGAL (fosfogliseraldehida).
3.       Tiap 6 molekul karbon dioksida yang diikat dihasilkan 12 PGAL.
4.       Dari 12 PGAL, 10 molekul kembali ke tahap awal menjadi RuBp, dan seterusnya RuBp akan mengikat CO2 yang baru.
5.      Dua PGAL lainnya akan berkondensasi menjadi glukosa
6.      Fosfat. Molekul ini merupakan prekursor (bahan baku) untuk produk akhir menjadi molekul sukrosa yang merupakan karbohidrat untuk diangkut ke tempat penimbunan tepung pati yang merupakan karbohidrat yang tersimpan sebagai cadangan makanan.
C.    KEMOSINTESIS
Kemosintesis adalah sintesis senyawa organik dengan menggunakan energi kimia  yang berasal dari oksidasi dari bahan inorganik sederhana.
Tidak semua tumbuhan dapat melakukan asimilasi C menggunakan cahaya sebagai sumber energi. Beberapa macam bakteri yang tidak mempunyai klorofil dapat mengadakan asimilasi C dengan menggunakan energi yang berasal dan reaksi-reaksi kimia, misalnya bakteri sulfur, bakteri nitrat, bakteri nitrit, bakteri besi dan lain-lain. Bakteri-bakteri tersebut memperoleh energi dari hasil oksidasi senyawa-senyawa tertentu.
Bakteri besi memperoleh energi kimia dengan cara oksidasi Fe2+ (ferro) menjadi Fe3+ (ferri). Bakteri Nitrosomonas dan Nitrosococcus memperoleh energi dengan cara mengoksidasi NH3, tepatnya Amonium Karbonat menjadi asam nitrit dengan reaksi:
Nitrosomonas
(NH4)2CO3 + 3 O2 ———————> 2 HNO2 + CO2 + 3 H20 + Energi
Nitrosococcus
a.        Sintesis Lemak
Lemak dapat disintesis dari karbohidrat dan protein, karena dalam metabolisme, ketiga zat tersebut bertemu di dalarn daur Krebs. Sebagian besar pertemuannya berlangsung melalui pintu gerbang utama siklus (daur) Krebs, yaitu Asetil Ko-enzim A. Akibatnya ketiga macam senyawa tadi dapat saling mengisi sebagai bahan pembentuk semua zat tersebut. Lemak dapat dibentuk dari protein dan karbohidrat, karbohidrat dapat dibentuk dari lemak dan protein dan seterusnya.
a.1. Sintesis Lemak dari Karbohidrat :
Glukosa diurai menjadi piruvat ———> gliserol.
Glukosa diubah ———> gula fosfat ———> asetilKo-A ———> asam lemak.
Gliserol + asam lemak ———> lemak.
a.2. Sintesis Lemak dari Protein:
Protein ————————> Asam Amino
protease
Sebelum terbentuk lemak asam amino mengalami deaminasi lebih dabulu, setelah itu memasuki daur Krebs. Banyak jenis asam amino yang langsung ke asam piravat ———> Asetil Ko-A.
Asam amino Serin, Alanin, Valin, Leusin, Isoleusin dapat terurai menjadi Asam pirovat, selanjutnya asam piruvat ——> gliserol ——> fosfogliseroldehid Fosfogliseraldehid dengan asam lemak akan mengalami esterifkasi membentuk lemak.
Lemak berperan sebagai sumber tenaga (kalori) cadangan. Nilai kalorinya lebih tinggi daripada karbohidrat. 1 gram lemak menghasilkan 9,3 kalori, sedangkan 1 gram karbohidrat hanya menghasilkan 4,1 kalori saja.
b.       Sintesis Protein
Sintesis protein yang berlangsung di dalam sel, melibatkan DNA, RNA dan Ribosom. Penggabungan molekul-molekul asam amino dalam jumlah besar akan membentuk molekul polipeptida. Pada dasarnya protein adalah suatu polipeptida.
Setiap sel dari organisme mampu untuk mensintesis protein-protein tertentu yang sesuai dengan keperluannya. Sintesis protein dalam sel dapat terjadi karena pada inti sel terdapat suatu zat (substansi) yang berperan penting sebagai “pengatur sintesis protein”. Substansi-substansi tersebut adalah DNA dan RNA..
Hasil akhir dari fotosintesis Oksigen yang sangat di perlukan bagi kehidupan manusia untuk bernafas. Di Indonesia, Oksigen terbesar di hasilkan dari hutan hutan yang masih lestari. Hutan tersebut akan menghasilkan Oksigen yang banyak sebagai salah satu manfaat hutan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Anabolisme adalah suatu peristiwa perubahan senyawa sederhana menjadi senyawa kompleks, nama lain dari anabolisme adalah peristiwa sintesis atau penyusunan.
Anabolisme dibedakan menjadi bagian yaitu : polimerisasi dan asimilasi
Fotosintesis adalah suatu proses biokimia yang dilakukan tumbuhan untuk memproduksi energi terpakai (nutrisi) dengan memanfaatkan energi cahaya.
Kemosintesis adalah sintesis senyawa organik dengan menggunakan energi kimia  yang berasal dari oksidasi dari bahan inorganik sederhana.
sumber : http://hasanlombok811.blogspot.com/2012/03/makalah-biologi-umum-i-fotosintesis.html

Artikel : Membangun Karakter melalui Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)


Kawan, jika saya ditanya kapan sih waktu yang tepat untuk menentukan kesuksesan dan keberhasilan seseorang? Maka, jawabnya adalah saat masih usia dini. Benarkah? Baiklah akan saya bagikan sebuah fakta yang telah banyak diteliti oleh para peneliti dunia.

Pada usia dini 0-6 tahun, otak berkembang sangat cepat hingga 80 persen. Pada usia tersebut otak menerima dan menyerap berbagai macam informasi, tidak melihat baik dan buruk. Itulah masa-masa yang dimana perkembangan fisik, mental maupun spiritual anak akan mulai terbentuk. Karena itu, banyak yang menyebut masa tersebut sebagai masa-masa emas anak (golden age).

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh seorang ahli Perkembangan dan Perilaku Anak dari Amerika bernama Brazelton menyebutkan bahwa pengalaman anak pada bulan dan tahun pertama kehidupannya sangat menentukan apakah anak ini akan mampu menghadapi tantangan dalam kehidupannya dan apakah ia akan menunjukkan semangat tinggi untuk belajar dan berhasil dalam pekerjaannya.

Nah, oleh karena itu, kita sebagai orang tua hendaknya memanfaatkan masa emas anak untuk memberikan pendidikan karakter yang baik bagi anak. Sehingga anak bisa meraih keberhasilan dan kesuksesan dalam kehidupannya di masa mendatang. Kita sebagai orang tua kadang tidak sadar, sikap kita pada anak justru akan menjatuhkan si anak. Misalnya, dengan memukul, memberikan pressure yang pada akhirnya menjadikan anak bersikap negatif, rendah diri atau minder, penakut dan tidak berani mengambil resiko, yang pada akhirnya karakter-karakter tersebut akan dibawanya sampai ia dewasa. Ketika dewasa karakter semacam itu akan menjadi penghambat baginya dalam meraih dan mewujudkan keinginannya. Misalnya, tidak bisa menjadi seorang public speaker gara-gara ia minder atau malu. Tidak berani mengambil peluang tertentu karena ia tidak mau mengambil resiko dan takut gagal. Padahal, jika dia bersikap positif maka resiko bisa diubah sebagai tantangan untuk meraih keberhasilan. Anda setuju kan?

 

Banyak yang mengatakan keberhasilan kita ditentukan oleh seberapa jenius otak kita. Semakin kita jenius maka semakin sukses. Semakin kita meraih predikat juara kelas berturut-turut, maka semakin sukseslah kita. Benarkah demikian? Eit tunggu dulu!

Saya sendiri kurang setuju dengan anggapan tersebut. Fakta membuktikan, banyak orang sukses justru tidak mendapatkan prestasi gemilang di sekolahnya, mereka tidak mendapatkan juara kelas atau menduduki posisi teratas di sekolahnya. Mengapa demikian? Karena sebenarnya kesuksesan tidak hanya ditentukan oleh kecerdasan otak kita saja. Namun kesuksesan ternyata lebih dominan ditentukan oleh kecakapan membangung hubungan emosional  kita dengan diri sendiri, orang lain dan lingkungan. Selain itu, yang tidak boleh ditinggalkan adalah hubungan spiritual kita dengan Tuhan Yang Maha Esa.

Tahukah anda bahwa kecakapan membangun hubungan dengan tiga pilar (diri sendiri, sosial, dan Tuhan) tersebut merupakan karakter-karakter yang dimiliki orang-orang sukses. Dan, saya beritahukan pada anda bahwa karakter tidak sepenuhnya bawaan sejak lahir. Karakter semacam itu bisa dibentuk. Wow, Benarkah? Saya katakan Benar! Dan pada saat anak berusia dini-lah terbentuk karakter-karakter itu. Seperti yang kita bahas tadi, bahwa usia dini adalah masa perkembangan karakter fisik, mental dan spiritual anak mulai terbentuk. Pada usia dini inilah, karakter anak akan terbentuk dari hasil belajar dan menyerap dari perilaku kita sebagai orang tua dan dari lingkungan sekitarnya. Pada usia ini perkembang mental berlangsung sangat cepat. Pada usia itu pula anak menjadi sangat sensitif dan peka mempelajari dan berlatih sesuatu yang dilihatnya, dirasakannya dan didengarkannya dari lingkungannya. Oleh karena itu, lingkungan yang positif akan membentuk karakter yang positif dan sukses.

 

Lalu, bagaimana cara membangun karakter anak sejak usia dini?

Karakter akan terbentuk sebagai hasil pemahaman 3 hubungan yang pasti dialami setiap manusia (triangle relationship), yaitu hubungan dengan diri sendiri (intrapersonal), dengan lingkungan (hubungan sosial dan alam sekitar), dan hubungan dengan Tuhan YME (spiritual). Setiap hasil hubungan tersebut akan memberikan pemaknaan/pemahaman yang pada akhirnya menjadi nilai dan keyakinan anak. Cara anak memahami bentuk hubungan tersebut akan menentukan cara anak memperlakukan dunianya. Pemahaman negatif akan berimbas pada perlakuan yang negatif dan pemahaman yang positif akan memperlakukan dunianya dengan positif. Untuk itu, Tumbuhkan pemahaman positif pada diri anak sejak usia dini, salah satunya dengan cara memberikan kepercayaan pada anak untuk mengambil keputusan untuk dirinya sendiri, membantu anak mengarahkan potensinya dengan begitu mereka lebih mampu untuk bereksplorasi dengan sendirinya, tidak menekannya baik secara langsung atau secara halus, dan seterusnya. Biasakan anak bersosialisasi dan berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Ingat pilihan terhadap lingkungan sangat menentukan pembentukan karakter anak. Seperti kata pepatah bergaul dengan penjual minyak wangi akan ikut wangi, bergaul dengan penjual ikan akan ikut amis. Seperti itulah, lingkungan baik dan sehat akan menumbuhkan karakter sehat dan baik, begitu pula sebaliknya. Dan yang tidak bisa diabaikan adalah membangun hubungan spiritual dengan Tuhan Yang Maha Esa. Hubungan spiritual dengan Tuhan YME terbangun melalui pelaksanaan dan penghayatan ibadah ritual yang terimplementasi pada kehidupan sosial.

Nah, sekarang kita memahami mengapa membangun pendidikan karakter anak sejak usia dini itu penting. Usia dini adalah usia emas, maka manfaatkan usia emas itu sebaik-baiknya.

 

Bahan Kuliah / Makalah : TEORI ORGANISASI


TEORI ORGANISASI

 

Manusia adalah mahluk social yang cinderung untuk hidup bermasyarakat serta mengatur dan mengorganisasi kegiatannya dalam mencapai sautu tujuan tetapi karena keterbatasan kemampuan menyebabkan mereka tidak mampu mewujudkan tujuan tanpa adanya kerjasama. Hal tersebut yang mendasari manusia untuk hidup dalam berorganisasi.

 

Beberapa definisi tentang Organisasi:

Menurut ERNEST DALE:

Organisasi adalah suatu proses perencanaan yang meliputi penyusunan, pengembangan, dan pemeliharaan suatu  struktur atau pola hubunngan kerja dari orang-orang dalam suatu kerja kelompok.

 

Menurut CYRIL SOFFER:

Organisasi adalah perserikatan orang-orang yang masing-masing diberi peran tertentu dalam suatu system kerja dan pembagian dalam mana pekerjaan itu diperinci menjadi tugas-tugas, dibagikan kemudian digabung lagi dalam beberapa bentuk hasil.

 

Menurut KAST & ROSENZWEIG:

Organisasi adalah sub system teknik, sub system structural, sub system pshikososial dan sub system manajerial dari lingkungan yang lebih luas dimana ada kumpulan orang-orang berorenteasi pada tujuan.

 

Definisi UMUM:

“Kelompok orang yang secara bersama-sama ingin mencapai tujuan”

 

CIRI-CIRI ORGANISASI:

  • Lembaga social yang terdiri atas kumpulan orang dengan berbagai pola interaksi yang ditetapkan.
  • Dikembangkan untuk mencapai tujuan
  • Secara sadar dikoordinasi dan dengan sengaja disusun
  • Instrumen social yang mempunyai batasan yang secara relatif dapat diidentifikasi.

Dubawah ini merupakan bagan tentang perkembangan teori organisasi:

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

  1. TEORI ORGANISASI KLASIK

Teori ini biasa disebut dengan “teori tradisional” atau disebut juga “teori mesin”. Berkembang mulai 1800-an (abad 19).  Dalam teori ini organisasi digambarkan sebuah lembaga yang tersentralisasi dan tugas-tugasnnya terspesialisasi serta memberikan petunjuk mekanistik structural yang kaku tidak mengandung kreatifitas.

 

Dalam teori ini organisasi digambarkan seperti toet piano dimana masing-masing nada mempunyai spesialisasi (do.. re.. mi.. fa.. so.. la.. si..) dimana apabila tiap nada dirangkai maka akan tercipta lagu yang indah begitu juga dengan organisasi.

 

Dikatakan teori mesin karena organisasi ini menganggab manusia bagaikan sebuah onderdil yang setiap saat bisa dipasang dan digonta-ganti sesuai kehendak pemimpin.

Defisi Organisasi menurut Teori Klasik:

 

Organisasi merupakan struktur hubungan, kekuasaan-kejuasaan, tujuan-tujuan, peranan-peranan, kegiatan-kegiatan, komunikasi dan factor-faktor lain apabila orang bekerja sama.

 

Teori Organisasi klasik sepenuhnya menguraikan anatomi organisasi formal. Empat unsure pokok yang selalu muncul dalam organisasi formal:

  1. Sistem kegiatan yang terkoordinasi
  2. Kelompok orang
  3. Kerjasama
  4. Kekuasaan & Kepemimpinan

Sedangkan menurut penganut teori klasik suatu organisasi tergantung pada empat kondisi pokok: Kekuasaan) Saling melayani) Doktrin) Disiplin)

Sedangkan yang dijadikan tiang dasar penting dalam organisasi formal adalah:

  1. Pembagian kerja (untuk koordinasi)
  2. Proses Skalar & Fungsional (proses pertumbuhan vertical dan horizontal)
  3. Struktur (hubungan antar kegiatan)
  4. Rentang kendali (berapa banyak atasan bisa mengendalikan bawahan).

 

Teori Klasik berkembang dalam 3 Aliran:

¨       BIROKRASI) Dikembangkan dari Ilmu Sosiologi

¨       ADMINISTRASI) Langsung dari praktek manajemen memusatkan Aspek Makro sebuah organisasi.

¨       MANAJEMEN ILMIAH)  Langsung dari praktek manajemen memusatkan Aspek Mikro sebuah organisasi.

Semua teori diatas dikembangkan sekitar tahun 1900-1950. Pelopor teori ini kebanyakan dari sebuah negara berbentuk kerajaan “Mesir, Cina & Romawi”.

 

 

TEORI BIROKRASI

Dikemukakan oleh “MAX WEBER” dalam buku “The Protestant Ethic and Spirit of Capitalism” dan “The Theory of Social and Economic Organization”.

Istilah BIROKRASI berasal dari kata LEGAL_RASIONAL:

“Legal” disebakan adanya wewenang dari seperangkat aturan prosedur dan peranan yang dirumuskan secara jelas.  Sedangkan “Rasional”  karena adanya penetapan tujuan yang ingin dicapai.

Karekteristik-karekteristik birokrasi menurut Max Weber:

©       Pembagian kerja

©       Hirarki wewenang

©       Program  rasional

©       Sistem Prosedur

©       Sistem Aturan hak kewajiban

©       Hubungan antar pribadi yang bersifat impersonal

 

 

TEORI ADMINISTRASI

Teori ini dikembangkan oleh Henry Fayol, Lyndall Urwick dari Eropa  dan James D. Mooney, Allen Reily dari Amerika.

 

HENRY FAYOL (1841-1925): Seorang industrialis asal Perancis tahun 1916 menulis sebuah buku “Admistration industrtrielle et Generale” diterjemahkan dalam bahasa inggris 1926 dan baru dipublikasikan di amerika 1940.

14 Kaidah manjemen menurut Fayol yang menjadi dasar teori administrasi:

ª       Pembagian kerja

ª       Wewenang & tanggung jawab

ª       Disiplin

ª       Kesatuan perintah

ª       Kesatuan pengarahan

ª       Mendahulukan kepentingan umum

ª       Balas jasa

ª       Sentralisasi

ª       Rantai Skalar

ª       Aturan

ª       Keadilan

ª       Kelanggengan personalia

ª       Inisiatif

ª       Semangat korps

 

Fayol membagi kegiatan industri menjadi 6 kelompok:

  • Kegiatan Teknikal (Produksi, Manufaktur, Adaptasi)
  • Kegiatan Komersil (Pembelian, Penjualan, Pertukaran)
  • Kegiatan Financial (penggunaan optimum modal)
  • Kegiatan Keamanan
  • Kegiatan Akuntansi
  • Kegiatan Manajerial atau “FAYOL’s FUNCTIONALISM” yaitu:
  1. Perencanaan
  2. Pengorganisasian
  3. Pemberian perintah
  4. Pengkoordinasian
  5. Pengawasan

 

JAMES D. MOONEY & ALLEN REILLY :1931) Menerbitkan sebuah buku “ONWARD INDUSTRY” inti dari pendapat mereka adalah “koordinasi merupakan factor terpenting dalam perencanaan organisasi”. Tiga prinsip yang harus diterapkan dalam sebuah organisasi menurut mereka adalah:

  1. Prinsip Koordinasi
  2. Prinsip Skalar & Hirarkis
  3. Prinsip Fungsional

 

 

MANAJEMEN ILMIAH

Dikembangkan tahun 1900 oleh FREDERICK WINSLOW TAYLOR).  Definisi Manajemen Ilmiah:

“Penerapan metode ilmiah pada studi, analisa dan pemecahan masalah organisasi” atau “Seperangkat mekanisme untuk meningkatkan efesiensi kerja”.

 

F.W. TAYLOR menuangkan ide dalam tiga makalah: “Shop Management”, “The Principle Oif Scientific Management” dan “Testimony before the Special House Comitte”.  Dari tiga makalah tersebut lahir sebuah buku “Scientific Management”.

 

Berkat jasa-jasa yang sampai sekarang konsepnya masih dipergunakan pada praktek manajemen modern maka F.W. TAYLOR dijuluki sebagai “BAPAK MANAJEMEN ILMIAH”.

 

Empat kaidah Manajemen menurut Frederick W. Taylor:

  1. Menggantikan metode kerja dalam praktek dengan metode atas dasar ilmu pengetahuan.
  2. Mengadakan seleksi, latihan dan pengembangan karyawan
  3. Pengembangan ilmu tentang kerja, seleksi, latihan dan pengembangan secara ilmiah perlu intregasikan.
  4. Perlu dikembangkan semangat dan mental karyawan untuk mencapai manfaat manajemen ilmiah

 

 

 

 

 

 

  1. TEORI NEOKLASIK

Aliran yang berikutnya muncul adalah aliran Neoklasik disebut juga dengan “Teori Hubungan manusiawi”. Teori ini muncul akibat ketidakpuasan dengan teori klasik dan teori merupakan penyempurnaan teori klasik. Teori ini menekankan pada  “pentingnya aspek psikologis dan social karyawan sebagai individu ataupun kelompok kerja”.

 

HUGO MUNSTERBERG

Salah tokoh neoklasik pencetus “Psikologi Industri”. Hugo menulis sebuah buku “Psychology and Industrial Effeciency” tahun 1913. Buku tersebut merupakan jembatan antara manajemen ilmiah dan neoklasik. Inti dari pandangan Hugo adalah menekankan adanya perbedaan karekteristik individu dalam organisasi dan mengingatkan adannya pengaruh factor social dan budaya terhadap organisasi.

 

Munculnya teori neoklasik diawali dengan inspirasi percobaan yang dilakukan di Pabrik Howthorne tahun 1924 milik perusahaan Western Elektric di Cicero yang disponsori oleh Lembaga Riset Nasional Amerika. Percobaan yang dilakukan ELTON MAYO seorang riset dari Western Electric menyimpulkan bahwa pentingnya memperhatikan insentif upah dan Kondisi kerja karyawan dipandang sebagai factor penting peningkatan produktifitas.

 

Dalam pembagian kerja  Neoklasik memandang perlunya:

  1. Partisipasi
  2. Perluasan kerja
  3. Manajemen bottom_up

 

 

  1. TEORI MODERN

Teori ini muncul pada tahun 1950 sebagai akibat ketidakpuasan dua teori sebelumnya yaitu klasik dan neoklasik. Teori Modern sering disebut dengan teori “Analiasa Sistem” atau “Teori Terbuka” yang memadukan antara teori klasik dan neokalsi. Teori Organisasi Modern melihat bahwa semua unsure organisasi sebagai satu kesatuan  yang saling bergantung dan tidak bisa dipisahkan. Organisasi bukan system tertutup yang berkaitan dengan lingkungan yang stabil akan tetapi organisasi merupakan system terbuka yang berkaitan dengan lingkunngan dan apabila ingin survivel atau dapat bertahan hidup maka ia harus bisa beradaptasi dengan lingkungan.

 

TEORI MODERN vs TEORI KLASIK
  1. Teori Klasik memusatkan pandangan pada analisa dan deskripsi organisasi sedangkan Teori Modern menekankan pada perpaduan & perancangan sehingga terlihat lebih menyeluruh.
  2. Teori Klasik membicarakan konsep koordinasi, scalar, dan vertical sedangkan Teori Modern lebih dinamis, sangat komplek, multilevel, multidimensi dan banyak variable yang dipertimbangkan.